Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia merilis 49 daftar calon legislatif (caleg) bekas narapidana perkara korupsi. Caleg yang berlatarbelakang bekas narapidana perkara korupsi itu tersebar pada 12 partai politik.
Dalam hal ini, KPU menjalankan amanat undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Pasal 182 dan Pasal 240 untuk memberikan informasi kepada publik. Kebebasan hak politik warga negara menjadi landasan alumni jeruji tindak pidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Ada dua skenario menarik dibalik kepercayaan diri caleg eks narapidana korupsi dalam keinginannya menjadi wakil rakyat. Skenario pertama, caleg eks narapidana korupsi ini mengalami pembersihan diri karena telah menjalani masa hukuman dan hadir kembali dengan misi besar bagi hak-hak rakyat.
Sebaliknya, skenario kedua adalah caleg eks narapidana korupsi menjadikan arena politik sebagai sebuah karir. Tentu skenario kedua ini perlu menjadi perhatian publik dalam meninjau kredibel komitmen dari caleg yang erat kaitannya dengan dua karakter kampanye lain, yaitu integritas dan kredibilitas. Dalam kedua karakter itu lah tergambar sebuah sinkronasi antara cara kerja otak (kredibilitas) dan sistem kerja yang dimulai dari hati (integritas) sehingga mampu meciptakan kepercayaan (trust) masyarakat untuk menentukan pilihan politik.
Politik seyogiyanya merupakan panggilan hati yang berlandaskan keprihatinan dan kepedulian terhadap ragam problematika masyarakat. Melakoni peran sebagai wakil rakyat dijalani dengan penuh tanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyat dengan menanggalkan panji individualisme. Berbeda kemudian apabila politik menjadi karir.
Dalam pemahaman ini adalah sebuah kewajiban untuk mendapat balas jasa setimpal bahkan berlebih. Untuk mencapai proses itu pun dapat ditempuh dengan pusparagam cara, termasuk transaksional elektoral (electoral transactional). Mulai dari pencalonan hingga upaya pemenangan yang dipenuhi transaksi hanya akan melegitimasi karakter individualis mendapatkan yang seharusnya (balas jasa).
Perlu dipahami bahwa meskipun, pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan adil membuat pemantauan dan pemberian sanksi kepada politisi yang tidak menepati janjinya, pemilu bukan satu-satunya mekanisme pertanggungjawaban layanan publik dan pembangunan (Corduneanu-Huci, Hamilton, & Ferrer, 2013).
Berkaca pada sejumlah kasus misalnya, keajaiban pada tersangka kasus korupsi tergambar pada senyum sumringah saat diboyong oleh lembaga anti rasuah (KPK) yang berarti sanksi sosial belum mampu mengubah apa pun dari dalam diri napi koruptor. Bahkan, dalam tahanan pun tidak sedikit narapidana justru mengendalikan lembaga permasyarakatan yang dihuninya.
Ajaibnya lagi, setelah menjalani masa tahanan masih bisa mencalonkan diri kembali untuk menjadi wakil rakyat. Fenomena keajaiban narapidana tindak pidana korupsi seakan menjadi gambaran bahwa hukum yang disakralkan belum mampu bersifat revolutif pada personal. Namun ini bukan ingin mengatakan bahwa hukum tidak dapat dipercaya. Hanya saja, hukum bukanlah yang utama dalam memberikan sanksi bagi mereka yang telah menyalahgunakan kekuasaan.
Partai politik sebagai kendaraan para eks narapidana korupsi dapat berperan dalam memberikan sanksi. Dalam konteks ini yang dibutuhkan adalah komitmen untuk tidak memberikan kepercayaan kembali selayaknya masyarakat. Demi tidak terjatuh dalam kesalahan sama, partai politik dan masyarakat pemilih dapat menggunakan prinsip lex specialist degorat lex generalis, yakni hukum khusus diutamakan dari hukum umum.
Artinya, meskipun UU pemilu jelas memperbolehkan eks narapidana korupsi berkontestasi, hukuman moral dapat diberikan oleh partai politik dan calon masyarakat pemilih. Etika perlu diangkat sedikit melebihi kesakralan hukum. Sebab, masyarakat tentu bertanya bagaimana para eks koruptor kemudian bisa berkontestasi kembali.
Terlebih, pertanyaan besar timbul ketika mereka kemudian memenangi kontestasi dan duduk mewakili rakyat. Sederhananya, kedua pertanyaan besar ini sudah mampu untuk menyimpulkan transaksional yang terjadi dalam demokratisasi. Politik sebagai panggilan jiwa itu jelas akan semakin terdegradasi dari tahtanya yang disakralkan dalam memperjuangkan suara rakyat.