Minggu, Oktober 6, 2024

Menakar Pengaturan Kearifan Lokal

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bersama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melalui tim pengacanya telah mencabut permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 32/tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Salah satu materi yang dipersoalkan adalah Pasal 69 ayat 2 UU PPLH tentang pengecualian pidana pembakaran lahan oleh masyarakat adat berdasarkan kearifan lokal.

Seiring dengan itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan aturan pelaksana pengakuan dan perlindungan kearifan lokal melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017, (Permen LHK No.34/2017). Aturan ini lahir atas mandat Pasal 63 ayat 1 huruf t UU PPLH.

Tulisan ini dibuat dalam rangka menakar pengaturan kearifan lokal dalam UU PPLH dan Permen LHK No.34/2017 tersebut, untuk melihat proyeksi pelaksanaan hukumnya, terutama tentang persoalan perlindungan terhadap praktik pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kearifan lokal, khususnya perlindungan atas praktik membakar lahan oleh masyarakat adat.

Konsep Kearifan Lokal

Secara luas, kearifan lokal dimaknai sebagai sistem tatanan yang hidup dalam masyarakat (khususnya masyarakat adat), baik dalam bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup. Sedangkan secara khusus, Kearifan lokal merupakan strategi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapai berbagai permasalahan kehidupan (Wagiran 2011).

Selanjutnya, Keraf (2010) menjelaskan kearifan lokal dalam lima atribut, yaitu; pertama, kearifan lokal sebagai milik komunitas dari hasil relasinya dengan alam, kedua, kearifan lokal adalah pengetahuan praktis, ketiga, kearifan lokal bersifat holistik, keempat, kearifan lokal adalah standar moral komunitas, dan kelima kearifan lokal adalah pengetahuan lokal dan partikular.

Atribut kearifan lokal diatas menunjukan bahwa sumber daya alam memiliki peran vital bagi keberlangsungan kearifan lokal dan bahkan keberlangsungan suatu komunitas. Arti penting sumber daya alam bagi komunitas adat misalnya terlihat dalam nilai yang dipegang oleh orang Papua tentang “alam sebagai ibu.”

Demikianlah, masyarakat adat memang memiliki relasi sangat dekat dan tidak bisa dipisahkan dari sumber daya alamnya. Sumber daya alam bagi masyarakat adat merupakan ruang hidup, yang didalamnya mengandung makna sosial, magis-relijius, sekaligus hubungan hukum (hak) dengan sumber daya tersebut.

Pengaturan Kearifan Lokal

UU PPLH mengatur kearifan lokal dalam enam hal, yaitu, pertama, menjelaskan pengertian kearifan lokal (Pasal 1 ayat 30), Kedua, kearifan lokal adalah salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 2 huruf I), Ketiga, kearifan lokal menjadi unsur penting ekoregion (Pasal 7 ayat 2 huruf e dan g). Keempat, Kearifan Lokal menjadi unsur penting RPPLH (Pasal 10 ayat 2 huruf d), Kelima, kewajiban pemerintah untuk mengatur tata cara penetapan masyarakat adat dan kearifan lokalnya (Pasal 63 ayat 1 huruf t), dan Keenam, penjelasan pasal 69 ayat 1 tentang pengecualian pidana membakar hutan oleh masyarakat adat.

Pengaturan kearifan lokal dalam UU PPLH tersebut mengandung dua prinsip dasar, yaitu, pertama, Negara berkewajiban mengakui keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokalnya dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, dan kedua, Kearifan lokal menjadi asas dan unsur pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

Menakar Pelaksanaan Kearifan Lokal

Sebagai aturan pelaksana pengakuan dan perlindungan kearifan lokal, Permen LHK No.34/2017 memuat lima pokok pengaturan, yaitu ; pertama, menegaskan masyarakat adat sebagai pengampu kearifan lokal, kedua, mengatur jenis dan kriteria kearifan lokal, ketiga, ruang lingkup objek kearifan lokal berada di wilayah adat, keempat, pengaturan tentang akses “pihak ketiga” terhadap kearifan lokal, dan kelima; prosedur pengakuan masyarakat adat dan kearifan lokalnya.

Bila dilihat lebih dalam, muatan pengaturan kearifan lokal dalam Permen LHK No.34/2017 menjurus pada kearifan lokal sebagai hak kekayaan intelektual (property rights) komunitas. Hal ini terlihat dari dasar hukumnya yang juga merujuk Protokol Nagoya (ratifikasi UU No.11/2013) dan Pasal 2 yang menjelaskan maksud dan tujuan Permen tersebut untuk perlindungan hukum terhadap pengampu dan pengakses kearifan lokal, dan untuk menjamin pembagian keuntungan seimbang (adil) dari pemanfaatan kearifan lokal.

Kerangka pengaturan kearifan lokal dalam aturan ini bias pada pemanfaatan kearifan lokal sebagai “property rights”, terutama untuk kepentingan pengakses kearifan lokal (individu, badan usaha dan lain-lain). Konsekuensinya, kearifan lokal sebagai konsep holistik relasi masyarakat adat dengan alam, dan kearifan lokal sebagai pengetahuan praktis dalam mengatasi persoalan pengelolaan lingkungan hidup belum maksimal diatur.

Setidaknya hal tersebut terlihat dari; pertama, belum dijelaskannya kriteria lebih rinci dan teknis tentang batasan pembakaran lahan berdasarkan kearifan lokal. Permen ini nampaknya tidak berniat mengatur hal tersebut dengan tidak dirujuknya penjelasan Pasal 69 ayat (2) UU PPLH, walaupun pasal bersangkutan mengatur objek yang sama tentang kearifan lokal. Akibatnya, pengaturan kearifan lokal belum sepenuhnya menjangkau persoalan lebih teknis tentang praktik mengelola lahan dengan cara membakar oleh masyarakat adat.

Kedua, pengakuan kearifan lokal belum diletakkan dalam kerangka basis pengelolaan lingkungan hidup. Permen LHK No.34/2017 tidak mempertegas secara eksplisit kearifan lokal sebagai basis pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, baik dalam konsideran maupun dalam batang butuh pengaturannya.

Permen ini hanya menyebutkan dalam bagian menimbangnya bahwa masyarakat adat dan kearifan lokal berperan penting bagi kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dasar pertimbangan tersebut secara implisit memposisikan kearifan lokal sebagai elemen pendukung belaka.

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.