Jumat, April 19, 2024

Menakar Kebijakan Pembebasan Napi Masa Pandemi

Syukron Farawansa
Syukron Farawansa
Mahasiswa Hukum Administrasi & Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Isu kebijakan pembebasan narapidana di tengah gejolak Covid-19 sempat menjadi perbincangan yang memanas ditengah masyarakat. Pasalnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly membuat sebuah kebijakan yang menuai kontroversi yakni pembebasan narapidana di tengah pandemi Covid-19.

Hal ini menggambarkan wabah pandemi Covid-19 selain menjadi kegirangan bagi para narapidana di Indonesia, juga menjadi kepanikan bagi para pemangku kebijakan di negeri ini. Hal ini dapat terlihat dari kebijakan Menteri Hukum dan HAM membebaskan ribuan narapidana dari penjara, sedangkan di satu sisi kebijakan ini malah kontradiktif terhadap pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya pasal 93 yang sudah mengatur tentang aturan bagi pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Hal ini kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karenanya, saat Peraturan Pemerintah telah resmi dikeluarkan, maka pihak kepolisian sebagaimana amanat Presiden secara tegas melakukan tindakan upaya penegakan hukum bagi pelanggarnya.

Artinya, pencegahan wabah pandemi Covid-19 ini harus dilakukan dengan memberikan sanksi pidana bagi warga masyarakat yang melakukan pelanggaran. Dimana peraturan ini mengamanatkan dan mengharuskan masyarakat tidak banyak beraktivitas.

Kontroversi kebijakan Kemenkumham ini kian nyaring terdengar di beberapa media berita bahkan sudah menjadi perbincangan publik. Melalui program asimilasi dan integrasi dari Kemenkumham terkait upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), maka ribuan narapidana, khususnya anak mendapatkan pembebasan.

Kebijakan ini diambil melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19. Selain itu, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19.

Adapun ketentuan dalam Kepmen ini dijelaskan bahwa hanya bagi narapidana dan anak yang dapat dibebaskan setelah melalui asimilasi, yaitu narapidana yang dua pertiga masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020, dan narapidana yang setengah masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Argo Yuwonosecara menyatakan secara keseluruhan, per- 20 April 2020, ada 38.822 napi dan anak binaan yang dibebaskan dalam program asimilasi dan integrasi di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.

Perinciannya, 36.641 orang yang bebas lewat program asimilasi, yakni program membina napi dengan membaurkan mereka ke masyarakat.. Sebanyak 35.738 orang berstatus narapidana kasus umum dan 903 anak. Adapun 2.181 orang lainnya dibebaskan dalam program integrasi, yang diberikan kepada napi dan anak yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Jumlah ini terdiri atas 2.145 narapidana dan 36 anak.

Dr. Garnasih.,S.H.,M.H selaku Ketua Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (Mahupiki) dalam Webinar “Kebijakan Pembebasan Narapidana” mengatakan bahwa dengan mewabahnya pandemi Covid-19, hal ini menjadi momok menakutkan bagi para napi, karena peluang menular antar sesama napi akan menjadi sangat mudah hal ini disebabkan oleh kapasitas yang overload pada lembaga pemasyarakatan sehingga tidak dapat memberlakukan Physical Distancing untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Ketua Mahupiki, Menteri Hukum Dan Ham juga menjelaskan data dari kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia, Dengan 680 UPT yang terdiri dari 525 Lapas & Rutan dengan kapasitas 132.107 orang Namun saat ini dihuni oleh 229.431 orang atau overcrowded 74%. Dengan rincian penghuni 103.513 (Pidum), 4.371 (Tipikor), 527 (Teroris), 119.341 (Narkotika), 197 (Ilegal Logging), 161 (Pencucian Uang), 315 (Human Trafficking). Dengan Data Perbandingan Pertumbuhan Penghuni dengan Kapasitas serta Data Over Crowding Tahun 2015-2020 adalah 9 : 1. (Kementerian Hukum & HAM).

Selain itu diskursus menganai kebijakan pembebasan narapidana di Indonesia bukanlah yang satu-satunya dilakukan di Negara hukum, beberapa Negara yang sudah menerapkan kebijakan pembebasan napi ini diantaranya adalah Amerika Serikat (9.201 Orang) Iran (95.000 Orang) Polandia (20.000 Orang) Canada (1.000 Orang) Afghanistan (10.000 Orang) Jerman (10.000 Orang) Tunisia (1.420 Orang) Brazil (34.000 Orang).

Adapun pengalaman Negara lain yang tidak menerapkan kebijakan pembebasan narapidana dalam kondisi pandemi ini seperti Thailand (Lapas Buriram) Terjadi Kerusuhan, Beberapa Narapidana berhasil kabur, adapun Kerusuhan dipicu oleh provokasi tentang ancaman merebaknya wabah Covid-19. Italia Terjadi Kerusuhan dan Pembakaran, Beberapa Petugas disandera, 7 Narapidana meninggal. Kolombia 23 orang telah tewas di salah satu penjara terbesar di Bogota, Terjadi Kerusuhan. Sri Lanka Terjadi kerusuhan. Brazil Terjadi Pelarian.

Hal tersebut menjadi pertimbangan yang berdasarkan atas Human Rights dan usulan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasona Laoly terkait dengan kebijakan pembebasan narapidana guna meminimalisir resiko penularan Covid-19 ini. Namun sayangnya, terdapat isu adanya beberapa napi koruptor yang turut serta didalamnya dalam pembebasan ini. Memang sangat disayangkan, jika jumlah kapasatitas napi yang akan dibebaskan harus dikurangi dan dibagi dengan para napi koruptor, maka tentunya hal ini tidak akan menjadi bahan kritik dan kecurigaan masyarakat terhadap para pemimpin negeri ini.

Dapat disimpulkan bahwa kita sebagai warga negara hanya berharap kepada Menteri Hukum dan HAM sebagai tangan kanan nya masyarakat dalam menjalankan roda pemerintah dibidang hukum & ham untuk dapat mengeluarkan kebijakan hukumnya dengan pertimbangan yang matang.

Oleh sebab itu mari kita memaknai kebijakan tersebut sebagai Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam (Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun) namun disamping itu kita berharap aparat penegak hukum juga harus memperhatikan Culpue poena par esto (Jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan) dalam setiap kebijakannya.

Syukron Farawansa
Syukron Farawansa
Mahasiswa Hukum Administrasi & Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.