Selasa, Oktober 15, 2024

Menajamkan Mitigasi Bahaya Alam

Abraham Fanggidae
Abraham Fanggidae
Mantan Birokrat Negara, kini Pengamat Kebijakan Publik, Tinggal di Jakarta Selatan

Elisabeth Byrs dari kantor Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pernah mengatakan, Jepang adalah negara yang paling siap menghadapi bencana. Jepang salah satu negara terkaya di dunia, tetapi “Negeri Sakura” ini paling sering mengalami gempa bumi,bahkan gempa bumi dahsyat.

Itulah alasan, mengapa Jepang memerhatikan serius tindakan mitigasi bahaya alam. Istilah “bahaya alam”, bukan istilah yang amat populer di sini yaitu “bencana alam”. Istilah bahaya alam diintrodusir oleh Prof. Dr Jorg Szarzynski, pengajar di United Nation University, Institute for Environmentand Human Security (UNU-EHS) dan pakar mitigasi bencana yang memiliki hubungan erat dengan Indonesia terutama melalui riset dan kerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Jepang melakukan mitigasi bahaya alam dengan tujuan agar berbagai langkah persiapan menghadapi bencana, juga langkah penanggulangan telah disiapkan sebaik mungkin. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya alam pada saat normal, agar bagaimana masyarakat bersikap saat bencana, bagaimana pengelolalaan bencana (manajemen bencana) amat penting.

Hebat sekali Jepang dalam mitigasi bahaya alam. Mitigasi bahaya alam di antaranya dengan mengemukakan contoh konkret meningkatkan kesadaran bahaya alam telah diberikan kepada anak-anak Jepang sejak usia Taman Kanak-Kanak. Anak usia TK telah mengetahui dan menyadari bagaimana menolong diri sendiri saat bencana. Menyelamatkan diri sendiri, setelah itu baru bisa menolong orang lain.

Bersyukur, dalam rangka menajamkan mitigasi bahaya alam agar masyarakat secara dini menyadarinya, pun mengetahui bagaimana suatu proses penanggulangan bencana bekerja. Bencana yang bertubi-tubi sejak Juli 2018 saat Gunung Agung di Bali “batuk-batuk” hingga bencana banjir di Kabupaten Gowa pada Januari 2019 membawa dampak memrihatinkan.

Jumlah korban jiwa akibat bencana alam sepanjang tahun 2018 di Indonesia tertinggi di dunia. Dari total 10.373 korban jiwa di seluruh dunia, 4.535 orang di antaranya dari Indonesia.Laporan tersebut dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untukPengurangan Risiko Bencana (UNISDR). Data ini menunjukkan tingginya kerentanan bencana di Indonesia sekaligus masih lemahnya upaya mitigasi dan pengurangan risiko bencana (KOMPAS: 26/1/2019).

Penting Mitigasi Bahaya Alam

Mitigasi bahaya alam telah memperoleh perhatian dari Kepala Negara. Korban jiwa dan harta benda milik rakyat, kerusakan infrastruktur serta bangunan pemerintah dan lembaga masyarakat lainnya akibat bencana sangat besar. Kewajiban pemerintah dan seluruh masyarakat untuk mereduksi risiko bencana.

Sebelum tahun 2018, BNPB mengkalkulasi, kerugian bencana di Indonesia mencapai Rp 30 triliun setiap tahun. Kalkulasi BNPB tersebut bisa disandingkan dengan kerugian akibat gempa bumi dan tsunami di Palu, Sigi, Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2018 yang ditaksir mencapai di atas Rp 10 triliun.

Mitigasi bahaya alam pun untuk menyadarkan masyarakat agar jangan melakukan tindakan kriminal kepada penyintas dan pihak lain. Misalnya menjarah aset penyintas, menjarah toko, SPBU, truk pengangkut bantuan bagi penyintas. Di Jepang tidak pernah terjadi penjarahan barang pada saat bencana yang membuat lingkungan lokasi terdampak gelap-gulita.

Presiden Joko Widodo (Jokowi)  menginstruksikan kementerian terkait memasukan mitigasi bahaya alam ke dalam kurikulum sekolah. Jokowi memahami betapa besar dampak bencana alam karena Jokowi melakukan “blusukan” di lapangan secara langsung, melihat betapa menderita para penyintas (korban bencana) dan dampak destruktif fisik yang merusak dari gempa bumi dan tsunami. 

Jorg Szarzynski sangat menyambut baik inisiatif seperti ini dari presiden. Jika kita ingin meningkatkan kesiapsiagaan bencana di tingkat nasional, kita harus memulai sedini mungkin, jadi sejak bangku sekolah dasar atau bahkan TK.

Karena dengan melakukan itu, selain kita dapat mendidik dan menyiapkan anak-anak, kita juga dapat menggunakan mereka sebagai pembawa atau penyebar pesan, karena ketika anak-anak pulang sekolah, mereka membawa informasi ini ke rumah dan menyampaikannya kepada orang tua mereka. Jadi dengan dimulai kesadaran akan bahaya alam sejak anak-anak, kita dapat menyebarkan tingkat kesadaran akan kesiapsiagaan bencana ini ke seluruh masyarakat.

Kita berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan segera merespons instruksi presiden tersebut, dengan melakukan sinergisitas dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait: Kemendagri, Kemendikbud, Kemenkes, KemenESDM, Kemensos, Kemenag, TNi-Polri, BNPB, BMKG, Bulog, LIPI, LSM yang menangani bencana, pemerhati bencana, dan pihak lain, agar segera terwujud kurikulum yang memuat kisi-kisi mitigasi bahaya alam.

Lebih cepat lebih baik. Mungkinkah kegiatan penting ini bisa segera berjalan dalam waktu dekat? Mulailah diskusi, penyusunan kurikulum tentatif, ujicoba konsep kurikulum, dan penyusunan kurikulum secara final mengenai mitigasi bahaya alam. Syukur jika semua tahapan di atas selesai dalam tahun ajaran baru tahun 2019, sehingga implementasi pun dimulai tahun 2019, setidaknya tahun 2020.

Kurikulum Mitigasi Bahaya Alam 

Ahli kurikulum kita hebat-hebat. Mereka sanggup bekerja menyusun dan menghasilkan kurikulum berkualitas sesuai kebutuhan masyarakat dalam mitigasi bahaya alam. Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 15 triliun untuk berbagai K/L yang terlibat dalam penanganan bencana, mungkin juga dana dimaksud bisa digunakan untuk aneka kegiatan mitigasi bahaya alam, termasuk penyusunan kurikulum mitigasi bahaya alam.

Menarik yang dikatakan Jorg Szarzynski, perlu ada konsep didaktis, apa isi kurikulum itu, bagaimana cara memberi tahu anak-anak tentang potensi bahaya dari alam dan bahaya buatan manusia. Jika kita melihat negara seperti Indonesia, yang rentan terhadap berbagai bahaya alam seperti tsunami, letusan gunung berapi, banjir dan sebagainya, tentu berbagai bentuk bahaya dari alamini semua perlu dimasukkan. Dan tentu saja kurikulum perlu disesuaikan dengan usia anak sehingga transmisi dan distribusi pengetahuan yang efisien dapat terjamin.

Jepang tidak banyak berbeda dengan Indonesia, sama-sama mempunyai pengalaman berhadapan dengan bencana alam. Sejarah Indonesia tentang kejadian gempa bumi, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kecelakaan laut, kecelakaan udara, kebakaran hutan boleh dikatakan “seabrek”. Informasi tertulis dan lisan yang tersdia bisa ditulis. Bacaan kebencanaan sangat mahal, dan harus ditransfer juga kepada generasi Indonesia mendatang, agar generasi mendatang memiliki kepekaan lebih, dan lebih sadar bencana.

Penulis adalah Magister Kesejahteraan Sosial, pengalaman terlibat mitigasi dan penanggulangan bencana

Abraham Fanggidae
Abraham Fanggidae
Mantan Birokrat Negara, kini Pengamat Kebijakan Publik, Tinggal di Jakarta Selatan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.