Salah satu bentuk eksistensi dari hukum progresif ialah dapat mengikuti serta menyalaraskan terhadap peradaban zaman yang semakin maju. Salah satunya era disruptif sekarang di mana kita dihadapkan dengan produk teknologi yang sangat canggih.
Hasilnya, semua dapat berkomunikasi dan berinteraksi di dalam produk-produk modern tersebut. Secara yuridis adanya perwujuduan Undang-undang No 18 Tahun 2008 yang telah diubah menjadi Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) merupakan bentuk landasan jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Salah Arah
Siapa sangka tujuan yang dianggap baik oleh pemerintah dalam menyusun undang-undang tersebut dalam rangka mengisi kekosongan hukum menjadi tirani dan malapetaka bagi masyarakat. Kini, UU ITE tersebut menjadi alat serang bagi siapapun yang merasa dirinya merasa dirugikan walaupun faktanya tidak demikian. Alih-alih pejabat publik menggunakan instrumen tersebut sebagai bumerang dalam mengadili setiap perkara walaupun dalam tanda kutip “kritik”.
Data SAFEnet menampilkan bahwa sejak tahun 2008-2018 sebanyak (35,92) persen pelapor kasus UU ITE ialah pejabat negara seperti kepala daerah, kepala instansi, menteri, aparat kemanan bahkan presiden.
Berbanding terbalik, data SAFEnet juga mengungkapkan bahwa terlapor UU ITE tersebut mayoritas (29,4) persen berasal dari kalangan awam, (8,2) persen aktivis, (6,5) mahasiswa/ pelajar, (6,1) persen guru dan dosen, serta jurnalis sebanyak (5,3) persen. Ellen Kusuma (Aktivis SAFEnet) memaparkan bahwa mayoritas dari orang yang terjerat UU ITE itu di kasus pencemaran nama baik berangkat dari berbagai motif. Seperti balas dendam, shockteraphy, membungkam kritisisme dan juga melakukan persekusi.
Laporan di atas, bahwa UU ITE rentan bersinggungan dengan hak menyampaikan kebebasan berbicara (freedom of expression). Padahal, menyampaikan kebebasan berpendapat dalam suatu negara demokrasi adalah parameter utama. Perihal aktivis, mahasiswa, dan dosen memang condong terhadap kritisisme.
Bagaimana kebijakan regulatif selalu dikoneksikan terhadap kebutuhan empiris dengan menggunakan metodologi dan kajian yang sangat mendasar. Jadi sangat wajar jika adanya kritik yang pedas diarahakan kepada pemangku kebijakan oleh tiga kelompok itu.
Melihat diskursus yang berkelindan, memang faktanya UU ITE mengandung banyak pasal karet (multi-interpretasi) sehingga dimanfaatkan oleh kalangan kelompok yang berkepentingan. Dalam penegakan hukumnya (law enforcement) juga terdapat keterbatasan bagaimana majelis hakim dapat memberikan keadilan yang sepantasnya. Karena sekali lagi hakim dalam memutus suatu perkara harus kembali lagi melihat kepada undang-undang yang berlaku (civil law).
Hak ber-Sosial Media
Ciri fundamental dari era reformasi adanya keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat, serta menghargai hak asasi manusia. Dalam kehidupan di era yang super canggih ini secara langsung tiga hal tersebut pasti menjadi satu spektrum dengan segala kegiatan sosial.
Maka dari itu pejabat publik juga harus memahami dan menghormati dinamika status quo. Karena mayoritas kasus yang mengenai UU ITE tersebut ialah berawal dari unggahan konten di media sosial.
Sebagai kaum yang mengikuti peradaban (civilized society), di era yang serba internet (online) sangat wajar apabila adanya opini atau kritikan terhadap diskursus yang bergulir di tengah-tengah masyarakat dituangkan pada media sosial. Masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya bagaimana seharusnya pemerintah bersikap dalam menangani problem-problem yang terbilang cukup lamban.
Maka dari itulah pemerintah seharusnya melindungi hak-hak masyarakat dalam menggunakan dan mengelola media sosial sebaik mungkin. Sesuai yang termaktub dalam pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Jika ada penyelenggaraan pembatasan hak, maka harus juga diatur dalam undang-undang yang rigid dan jelas dalam rangka menjamin penghormatan serta perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Sebagai derivasi pembatasan tersebut harus dimanifestasikan dalam undang-undang yang jelas bukan sebatas peraturan menteri sehingga dapat menjadi acuan legal standing yang kuat.
Solusi, Reformasi UU ITE
Membincang pasal-pasal dalam UU ITE dalam konteks perkara yang sering terangkat dalam polemik publik sebenarnya telah termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti halnya dalam pasal 45 A ayat (2) UU ITE yang memiliki muatan ujaran kebencian telah diatur dalam pasal 154 KUHP.
Gejala semacam ini yang menjadi kegamangan dalam peraturan perundang-undangan kita karena seringkali banyak aturan mengatur suatu hal yang substansinya sama. Alhasil berujung pada disharmonisasi perundang-undangan.
Prof. Andi Hamzah mengatakan bahwa mengenai ujaran kebencian dalam KUHP digunakan oleh kolonial dalam rangka merepresi rakyat Indonesia yang membungkam saat masa penjajahan. Walaupun saat ini aturan tersebut sudah dihapus di negara-negara eropa bukan hanya Belanda. Namun, ironinya di Indonesia aturan tersebut malah ditambahkan ke dalam UU khusus.
Di sisi lain, UU ITE ini adalah Undang-undang administrasi. Secara universal, UU administrasi tidak boleh mengancam pidana berat. Paling tinggi satu tahun kurungan. Karena sanski pidana yang dimaksud ialah bukan menghukum orang melainkan untuk mempertahankan agar peraturan tersebut ditaati.
Sebagai solusi sudah saatnya pemerintah mereformasi UU ITE agar tidak semakin banyak memakan korban. Walaupun UU ITE tidak masuk dalam agenda prolegnas DPR. Tetapi sebagai obat untuk masyarakat, dengan segala legitimasi yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah harus segera memperbaiki kesesatan peraturan ini.
Pertama, menambahkan pasal pengecualian, seperti dalam delik pencemaran nama baik. Dalam ketentuan pasal 310 ayat (3) KUHP, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri maka dianggap bukan suatu tindak pidana. Kedua, penghapusan pidana penjara.
Hal tersebut dapat digantikan dengan pidana pengawasan (percobaan bersyarat), pidana denda, pidana kerja sosial, dan pidana angsuran. Keempat opsi tersebut dinilai lebih efektif dalam pemberian hukuman. Karena seorang terpidana masih dapat melakukan kewajibannya seperti memenuhi nafkah keluarga termasuk membayar pajak kepada negara.
KUHP juga membenarkan hal demikian sesuai pasal 14A sampai 14F. Selain itu Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) merekomendasikan bahwa semakin tahun jumlah tahanan penjara semakin meningkat (overcrowding). Sehingga negara juga harus menaikkan anggaran bagi penghuni penjara.
Ketiga, mengembalikan spirit terhadap tujuan awal (ratio-legis) dibentuknya UU ITE ini. Yakni sebagai agenda prioritas menghadapi permasalahan yang rawan terjadi atas kejatahan (cyber crime) dalam transaksi elektronik seperti pencurian, manipulasi, interferensi data dan sistem digital. Tidak melulu hanya kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.