Kita hanya tahu bahwa kita berbeda namun tetap satu dalam keanekaragaman, namun tidak mengubah sikap kita untuk menilai budaya lain dalam gambaran yang sebenarnya hanyalah stereotipe belaka. Seringkali, pelajar yang berasal dari luar jawa yakni daerah yang dianggap “timur” menjadi korban dari penilaian pelajar yang berasal dari Indonesia “barat”.
Melakukan generalisasi dalam menilai seseorang berdasar pengetahuan kita terhadap budayanya adalah sesuatu yang keliru. Sebab, meskipun seseorang berasal dari suatu budaya, tidak membuatnya otomatis identik dengan pengetauan kita tentang budaya masyarakatnya.
Bahkan, hal tersebut cenderung mengarahkan pada sikap stereotip terhadap seseorang yang berlainan budaya. Dan tentunya hal ini menganggu dalam pencarian jodoh, pertemanan, dan sebagainya.
Stereotipe
Ketika saya menjadi mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, saya terganggu dengan stereotip yang dilakukan oleh kawan-kawan saya terhadap saya berdasar pengetahuan mereka tentang budaya orang “timur”. Saya berasal dari Bima yang dikira NTT padahal NTB, dan Bima digolongkan sebagai orang “timur”. Yah, tidak terlalu bermasalah karena memang tidak ada pembatasan yang jelas antara timur dan barat. Begitu juga ketika kita berbicara timur dan barat pada lingkup internasional.
Salah satu yang lekat pada orang timur bagi kawan-kawan saya adalah bahwa orang timur wataknya kasar dan digambarkan tentang perang antar suku, hahaha. Tentu saja hal tersebut merupakan kesalahan dalam membaca kompleksitas manusia disana. Padahal di Bima, orang jawa di lekatkan dengan sifat-sifat baik seperti lemah lembut, pekerja keras, dan sebagainya.
Jadi di tempat saya, orang jawa di positifkan, sementara di jawa, orang timur di negatifkan. Kembali ke masalah stereotip. Melakukan generalisasi terhadap masyarakat timur sebagai masyarakat dengan watak yang keras apalagi kasar merupakan kekeliruan, sebab justru berdasarkan pengalaman saya yang memang hidup disana, mayarakat terdiri dari ragam watak yang berbeda-beda bahkan berkebalikan.
Tentu saja tidak semua orang berwatak keras dan kasar. Mereka manusia dan hidup seperti orang jawa, ada yang kasar, keras, egois, lembut, baik, suka menolong, rajin menabung, dan sebagainya.
Proses belajar tentu memiliki fungsi dalam menekan budaya yang dianggap negative di lingkungannya. Misal, seseorang yang hidup di lingkungan yang wataknya kasar dan seringkali menimblkan konflik fisik tidak serta merta tumbuh sebagai individu yang anarkis dan brutal. Seorang individu tentu diajarkan tentang sikap sabar dan menolak terjadinya konflik. Melalui proses belajar tersebut memungkinakan terinternalisasinya nilai-nilai yang memungkinkah individu dapat tumbuh menjadi individu yang berbeda dari lingkungannya.
Terkait gambaran tentang konflik, pandangan seperti ini sama halnya dengan pandangan kita tentang masyarakat Arab jahiliyah yang membunuh bayi perempuan mereka. jadi, kita menggeneralisasi semua masyarakat Arab membunuh setiap bayi perempuan yang lahir karena malu.
Lalu, anda tidak berpikir, ibu yang melahirkan ini datangnya darimana? Atau bagaimana orang Arab masih ada sampai sekarang jika semua bayi perempuan di bunuh? Tentu saja tidak semua orang Arab dan tidak semua suku waktu itu membunuh bayi perempuannya.
Begitu juga dengan koflik di daerah timur, tidak semua orang yang berada di daerah yang dianggap “timur” turut terlibat daam konflik. Konflik hanya terjadi pada saat tertentu dan itu tidak rutin apalagi sering. Sama halnya dengan konflik di daerah yang dianggap “barat”, konflik antar supporter bola tidak terjadi rutin tiap hari atau tiap minggu. Dan tentu saja banyak manusia yang menolak terjadinya konflik.
Selain itu, salah satu hal yang digeneralisir ialah logat. saya sering ditanya “kok logat kamu beda sama orang papua?” –padahal bahasanya saja beda-. Ya tentu saja. Di Indonesia tersebar banyak sekali bahasa daerah, dan setiap bahasa sangat mungkin terdiri dari lebih dari satu logat atau dialek.
Jadi, kuantitas keragaman logat justru lebih tinggi daripada keragaman bahasa. Khususnya di Bima, logat yang digunakan sangat bervariasi, hampir di setiap kecamatan memiliki logatnya masing-masing. Jadi, anda bisa meyakini bahwa logatnya Rigen (stand up comedy), Hamdan Zoelva (mantan ketua MK), dan Anwar Usman (ketua MK) itu berbeda.
Apalagi di abad 21 dan di era revolusi Industri, kita seringkali menonton televisi, youtube dan sebagainya. Dan tidak menutup kemungkinan, logat kita justru tepengaruhi oleh logat orang yang sering kita dengarkan suaranya. Di kampus saja, anda bisa menemukan orang jawa yang justru berlogat Medan karena ia berteman dekat dengan orang Medan.
Adapula kawan-kawan yang menghubung-hubungkan saya dengan Abdur (stand up comedy), tentu saja wajah, logat, dan lucunya saya tidak sama seperti Abdur. Oh ya Bima itu Rigen, kemudian mulai mereka menghubungkan saya dengan Rigen (stand up comedy). Dan tentu saja pandangan tersebut keliru. Logat saya dengan Rigen yang berasal dari daerah yang sama itu saja berbeda, termasuk intonasinya. Apalagi dengan Abdur. Dan saya kasih tahu, logatnya orang-orang NTT pun tidak semuanya sama dengan Abdur.
Pada tataran non verbal intonasi dapat mengakibatkan kesalahpahaman seseorang. Celakanya bagi yang terbiasa dengan intonasi tinggi, seringkali disalahpahami bahwa dia sedang marah atau ngamuk yang dalam bahasa sekarang disebut “ngegas”. Hal tersebut memang perlu ditanggulangi dengan kesadaran pendengar tentang intonasi suaranya, dan bagi pengguna intonasi tinggi diharapkan untuk hati-hati dan menyesuaikan keadaan agar tidak disalahpahami pendengar.
Hal-hal diatas perlu disadari untuk memahat generalisasi terhadap budaya lain. sebab, manusia merupakan makhluk yang unik, berbeda dengan yang lainnya. Faktor lingkungan tidak serta merta mempengaruhi individu secara sempurna. Faktor lain dapat mempengaruhi seseorang. Apalagi dengan watak kosmopolitan yang ditawarkan di dunia maya, akan semakin mengurangi pengaruh lingkungan sekitar.