Does anybody know what we are looking for? Another hero, another mindless crime, Behind the curtain, in the pantomim, Hold the line, Does anybody want to take it anymore? – Queen –
The Show Must Go On! dinyanyikan Queen pada konser-konser mereka yang pasti dipadati ratusan ribu penonton. Dengan suara Freddie Mercury yang melengking dan cabikan gitar Brian May membuat lagu The Show Must Go On! menghipnotis publik dan sukses menggambarkan imajinasi akan seorang artis yang laju terus tak peduli apapun yang terjadi terlepas dari intrik dan drama yang ada.
Kata kunci kita berawal dari diksi kalimat pembuka awal yaitu “menghipnotis publik” karena bukan hanya dalam hal seni musik, menghipnotis publik juga adalah hal yang penting dalam dunia politik khususnya bagi para aktor politik praktis. Menghipnotis publik memang dalam teori politik Machiavelli dalam buku il Principe melalui intrik dan drama adalah hal yang lumrah demi meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan.
Dan dari sekian banyak instrumen yang digunakan untuk menghipnotis massa seperti pendidikan, media dan hukum sebagaimana Marcuse sebutkan bagi pihak yang berkuasa ada instrumen yang kemudian bisa digunakan bagi para aktor politik pada era modern ini yaitu survey politik yang marak dibuat oleh lembaga survey baik yang berasal dari pemerintah dan yang bersifat profesional.
Lalu bagaimana kemudian survey politik menjadi instrumen penting dalam menghipnotis massa pada era politik modern? Menarik untuk dibahas kali ini secara singkat. Dari mana kita mulai?
Mengambil konstruksi berpikir kaum Marxis misalnya dalam melihat paradigama berpikir dimana selalu ada proses dialektika tesis-anti tesis dan seterusnya tentu pemakaian surve politik bukan datang dengan sendirinya namun ada prasarat lain yang datang.
Russel G dkk dalam jurnal berjduul Public Opinion In The 21st Century menjelaskan bahwa salah satu cara bagi aktor politik untuk belajar mengetahui persepsi publik adalah dengan cara pemilihan langsung.
Dengan pemilihan maka data empiris tentang opini publik bisa didapatkan, namun sebagai aktor politik tentu mendapatkan data dari pemilihan umum adalah hal yang sangat bodoh, bayangkan bagaimana bisa partai sekelas Demokrat atau Republik di Amerika Serikat kemudian harus menunggu pemilihan terlebih dahulu untuk mendapatkan persepsi masyarakat tentang mereka lain daripada itu dalam konstestasi politik dengan berpegang pada prinsip kompetisi dalam merebut kursi apakah cara ini pasif seperti ini akan dipilih? Tentu tidak!
Maka dibutuhkan sebuah metode dalam mendekonstruksi opini publik sebelum sebuah proses pemilihan dimulai. Maka selain media salah satu caranya adalah dengan menggunakan legitimasi lembaga-lembaga yang dianggap kompeten dalam merebut opini masyarakat dengan menghipnotis melalui survey-survey yang ada.
Hal ini bukan sebuah hal yang tabu mengingat Max Horkheimer sendiri menganggap sebuah pengetahuan adalah sebuah variabel turunan dari rasionalisasi dimana rasionalisasi adalah milik mereka yang memiliki kekuasaan dan kepentingan yang ada, jadi survey yang sesuai pesanan kenapa harus tabu untuk dipilih?
Sehingga konklusi awalnya adalah sebuah survey lembaga atau konsultan politik bahkan pemerintah tentu merupakan salah satu bagian dari bagaimana pengetahuan dilegetimasikan demi kepentingan tertentu dengan dasar rasionalisasi pihak yang memiliki kepentingan.
Hal ini bahkan terjadi di Amerika Serikat melihat bagaimana Donal Trump menmggunakan lembaga survey tertentu dalam membentuk opini masyarakat yang ada. Kata tertentu kemudian dipertanyakan kenapa Trump tidak melihat bagaimana Washington Post, Wall Street Journal dan New York Times dalam melakukan survey juga?
Jawabnnya adalah ini salah satu trik marketing dalam politik, dalam marketing tentu bukan hal yang baru dalam membentuk opini publik untuk sebuah brand tertentu, dengan posisi yang sama maka marketing dalam politik adalah bagaimana mempengaruhi masyarakat terhadap tokoh yang mereka bawa, jika sebuah produk marketing menggunakan iklan maka dalam politik iklan saja tidak cukup dibutuhkan cara lain untuk menghipnotis publik dalam membuat citra tokoh mereka sebagai sosok yang dibutuhkan masyarakat. Dan boom! Cara ini sukses di Amerika Serikat.
Fake news, hoax dan survey adalah alat-alat yang lumrah juga dipakai di Amerika Serikat tentu juga bukan hal asing untuk Indonesia. Apalagi politik semuanya sah saja dipakai, melihat bagaimana paradigma atau bahkan fakta yang berkembang dimana masyarakat dipusingkan dalam banyak hasil survey yang digelar semua lembaga baik media, konsultan hingga pemerintah maka pertanyaanya sejauh apa legitimasi survey tersebut, apakah benar-benar berlegitimasi sebagai sebuah produk research yang akaedemis atau hanya untuk membranding salah satu pihak saja?
Tapi bagi saya hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan adalah kata-kata Nietzche bahwa di dunia saja tidak ada yang objektif apalagi dalam dunia politik? Lantas jika instrumen dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan saja terus berkembang maka apakah anda masih percaya dengan legitimasi hasil survey politik yang ada pada hari ini?
Bukannya lembaga survey hanya seperti suara Freddie Mercury dan melodi gitar Brian May dalam lagu The Show Must Go On yang menghipnotis massa dengan sosok artis yang tahan banting padahal didalamnya terdapat kelamahan dan konflik batin? Karena semua yang terlihat didepan panggung selalu ada kalimat Behind the curtain, there is a pantomime.
Sumber Tulisan
- Russel G Brooker and Todd Schafer, Public Opinion In The 21st Century, Alverno Collage and Central Washington University.
- https://www.jacksonsun.com/story/opinion/columnists/2018/07/22/rnc-trumps-media-accountability-survey/804210002/ diakses pada tanggal 18 November 2018.
Sumber Gambar
- https://www.google.co.id/search?