Minggu, Desember 8, 2024

Mempertanyakan Keberadaan

jackz.riyan
jackz.riyan
Fislafat adalah jalan menuju kebenaran melalui logika dan menghasilkan pengetahuan reflektif definitif sedangkan tasawuf adalah jalan menuju kebenaran sejatinya kebenaran melalui intuitif pengetahuan yang hadir dari sang Ilahi. Maka sempurnalah keduanya jika dielaborasi menjadi tasawuf falsafi (filsafat iluminasi).
- Advertisement -

http://www.chrisakins.com/wp-content/uploads/2014/12/self-reflection.jpg

Sebuah ungkapan kegelisahan yang terus-menerus muncul dalam sebuah pikiran yang meragukan segala sesuatu. Itulah dasar di mana Descartes mempertanyakan keadaan “Co geto Ergo Sum” (Aku berfikir maka aku ada). Tentunya Descartes mendapatkan sebuah statmen tentang “Aku berfikir maka aku ada” tidaklah semudah memikirkan “aku selfi maka aku ada”. Keberadaan seperti apa yang dibangun oleh manusia-manusia selfis? Bagaimana ruang dan waktu yang melingkupi adanya sang selfis? Kemudian manfaat apa dari sang selfis baik bagi diri sendiri dan tentunya bagi masyarakat secara umum?

Di sini yang perlu digaris bawahi bahwa keberadaan yang diragukan oleh Descartes ialah di mana dia melihat segala sesuatunya berubah, bahkan dirinya sendiri secara jasmani berubah. Lalu, dalam proses pencarian dalam perubahan-perubahan itulah dia menyadari secara filosofis bahwa dia sadar dia berfikir. Dengan kata lain dia sadar bahwa dia berfikir itulah dia ada. Sehingga yang menjadikan pembeda antara manusia dan binatang ialah fikiran. Manusia sebagai Homo Humanus, sedangkan Hewan sebagai Homo Animalis.[1] (literatur dapat di baca dalam sejarah dan pemikiran filsafat barat).

 

Jika merefleksikan dari sejarah peradaban dunia dari zaman ke zaman yang mana kini manusia memasuki era milenium tiga. Secara epistemologis manusia tidak dapat dipisahkan dari yang namanya teknologi dan informasi. Artinya bangunan-bangunan epistemologi konvensional harus melakukan dekonstruksi secara struktural. Yaitu bagaimna proses manusia berpengetahuan untuk menjadikan manusia bijaksana atau manusia arif, yaitu melalui proses indrawi dan rasio kini perlu dibongkar dan di rekonstruksi ulang dengan hadirnya teknologi dan informasi yang tumbuh dan berkembang di dalam dunia Cyberspace “Dunia Maya”. Akan tetapi tidak menutup kemunginan epistemologi konvensional tersebut tidak berlaku bagi manusia yang secra langsung mengalami proses pengetahuan tanpa memalui Cyberspace. Sebagai contoh bagaimana rasa sakit, rasa kemanusiaan, dominasi-dominasi kekuasaan di dalam sebuah lingkungan disekitarnya.

 

Yasraf Amir Piliang yang dalam hal pemikirannya terpengaruh oleh Embreco Eco, Jean Baudriliard, Guattari dan Cristeva dengan sangat fundamental membongkar bagaimana media berperan sebagai alat konstruksi pengetahuan dan moral masyarakat  yaitu terbukti dengan adanya masyarakat konsumerisme dan hedonisme. Kedua perilaku ini tidak lain dari pada tidak adalah sebuah paham materialistik dan sekuleristik. Yaitu bagaimana memaknai hidup yang pada dasarnya apa-apa adalah materi baik entitas itu sendiri maupun finansial dan sebuah kesenangan-kesenangan tanpa batas akibat konsumsi simbol-simbol yang ditawarkan oleh media sebagai karakteristik Cyberspace.

 

Kembali pada permasalahan “aku berfikir maka aku ada” yang secara tidak langsung sudah diturunkan pada statmen “aku selfi maka aku ada” adalah sebuah permasalahan tentang eksistensi manusia yang hidup di dalam warna-warni kehidupan itu sendiri. Setidaknya harus ada fomulasi filosofis bagaimana proses “Aku selfi maka aku ada” ini dapat menjadikan dia ada dalam sebuah sejatinya hidup?

 

- Advertisement -

Di sini jika dapat diberi kesempatan untuk menganalisis proses “Aku berfikir maka aku ada” aku pernah mengalami sebuah proses kegalauan yang sangat panjang, tentang keberadaanku sendiri. Hingga di suatu titik aku pernah bermuara pada sebuah arena eksistensialisme ateis yang secara filosofis nilai-nilai ke Tuhanan tidak ku temukan di dalamnya Ialah jean paul sarte. Sungguh ironis jika melihat sejarahku dulu. Namun kini aku dalam proses penemuan definisi-definisi itu bermuara pada wahana eksistensialisme estetis yang tak terbatas oleh Yasraf Amir Piliang.

 

Bagaimana dari statmen yang sangat dasar “Aku berfikir maka aku ada” ada proses dalam diri sendiri yaitu proses “eksternalisasi” sebagai wujud materi (Objek, Produk dan teknologi) kemudian proses “internalisasi” sebagai proses menyerap, merefleksikan, menghayati nilai-nilai dari hasil ciptaan itu. Di sini tentunya Yasraf terpengaruh oleh Hegel yaitu sebagai proses Ganda-Sirkuler. Dalam proses inilah yang mebedakan manusia dan binatang, manusia yang memiliki akal sebagai Homo Humanus dan Hewan Sebagai Homo Animalis yang hanya hidup sekedar hidup.

 

Dari proses ganda-sirkuler itulah Yasraf memformulasikan sebuah bangunan eksistensi manusia yaitu manusia yang sejatinya manusia yang membedakan dengan hewan ialah pertama Seni yaitu sebagai peluapan ekspresi untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran tanpa manipulasi lewat simulasi dan tanpa mementingkan pasar seperti seni yang terkapitalisasi pada era sekarang. Seni dalam hal ini haruslah jujur dan mengandungn unsur-unsur filosofis dan bermakna. Kedua Sains adalah aktivitas dan prosedur sistematis dalam hal menyelidiki untuk mendapatkan pengetahuan objektif atau kebenaran ilmiah. Ketiga politik adalah kapasitas membangun hidup baik melalui berbagai bentuk aktivitas yang politis sebagai maifestasi kebenaran dan keutamaan di dalam medan kontestasi ideologi dan perdebatan politik.

 

Keempat Cinta adalah kapasitas manusia paling sublim dalam membangun kehidupan yang baik. Cinta bagi Yasraf adalah “perjumpaan yang sepasang” dalam mengkonstruksi dan merangkai dunia yang bermakna melalui peristiwa-peristiwa perjumpaan dan di atas fondasi relasi mutual kebaikan bersama dan pengorbanan. Cinta dalam pengertian di sini dapat diartikan sebagai peristiwa-peristiwa terdalam di dalam diri manusia, tergantung bagaimana kita memaknainya. Apakah cinta yang sifatnya temporal yang tidak jauh beda dari nafsu ataupun cinta yang sejatinya cinta. Dalam perjumaan cinta itulah kita dapat mengetahui sebuah kebenaran-kebenaran sejatinya hidup.

 

Sehingga dari pada itulah dapat merumuskan ulang bahwa proses ganda-sirkuler melupakan proses internalisasi terlebih dahulu. Karena secara tidak langsung dalam proses eksternalisasi manusia pasti merefleksikan siapakah aku? Bagaimanakah aku hidup? Kontribusi apakah yang dapat aku tuangkan kedalam masyarakat? Apakah sejatinya semua yang ada dalam diriku? Maka formula yang dapat dituliskan yaitu melaui tiga tahap pertama internalisasi, kedua eksternalisasi, dan ketiga internalisasi. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam proses-proses tersebut terdapat yang namanya proses transisi, dengan menimbang-nimbang segala hal yang di dapat oleh manusia. Itulah manusia yang beradab dan berbudaya, manusia sebagai Homo Humanus bukan manusia Homo animalis yang hanya sekedar hidup untuk hidup tanpa kesadaran-kesadaran yang menghadirkan makna.

 

 

 

[1] Istilah Homo Humanus dan Homo Animalis dapat ditemukan pada Ebook orasi ilmiah oleh Yasrof Amir Piliang pada Pertemuan Guru-guru Besar ITB.

 

 

 

jackz.riyan
jackz.riyan
Fislafat adalah jalan menuju kebenaran melalui logika dan menghasilkan pengetahuan reflektif definitif sedangkan tasawuf adalah jalan menuju kebenaran sejatinya kebenaran melalui intuitif pengetahuan yang hadir dari sang Ilahi. Maka sempurnalah keduanya jika dielaborasi menjadi tasawuf falsafi (filsafat iluminasi).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.