Harbolnas (Hari Belanja Online) 2018 telah usai. Hari-hari yang cukup berat, bagi mereka para pelaku belanja online. Berat di ongkos, berat di data, karena semuanya serasa ingin di beli.
Di sinilah lantas kita harus mencermati dengan sesungguhnya mana kebutuhan, mana keinginan, mana yang mendesak, mana yang dapat kita tunda. Inilah yang mesti kita renungkan, karena ada yang biasa terjadi pada para konsumen yang telah tenggelam dalam dunia yang konsumeristik, yakni kegagalan membedakan mana kebutuhan dan keinginan.
Setiap muncul produk jenis baru, tak sabar rasanya untuk melihat apa yang baru yang ada di dalamnya, dan kemudian segera kita membelinya. Apalagi produk tertentu yang bonafide menambah serem dengan iklannya yang berbunyi: edisi spesial dan jumlah produk terbatas, maka dipastikan para fans beratnya pasti berebut untuk mendapatkannya. Tapi jika keluarga kita ada yang bertanya “benarkah kita harus segera mebutuhkannya?”, jawaban kita kadang-kadang “Ih, kebanyakan mikir, ada kesempatan, ada uang, ya di beli dong…”
Misalnya jenis smartphone merk tertentu, tiap mengeluarkan produk baru, banyak yang sudah kepo dan bahkan berebutan memborongnya. Begitu pula mobil berbagai jenis terbaru, rupanya setiapkan jenis baru keluar rupanya, banyak orang yang tak sabar, memastikan dirinya menjadi pembeli perdana. “Kalau ada produk sepedah motor baru, apalagi stylenya gaul kok selalu ngebet mau beli, meskipun kredit. Ini godaan setan apa?” Berikut ini hasil pembicaraan khusus dengan Mbah Dedy, kawan yang saya selalu menjadi teman mendiskusikan pertanyaan dalam soal-soal rumit yang tidak penting semacam ini.
Memenuhi kebutuhan itu lumayan gampang. Kalau anda lagi haus, minum seteguk air putih selesai sudah. Tapi jika melayani keinginan tentu lain cerita. Kalau sudah biasa ngopi di restaurant mewah, saat keinginan itu datang kembali, ya kita harus mengeluarkan biaya berpuluh kali lipat di banding bikin kopi sekedar untuk penghilang kantuk. Jadi benar-benar susah membedakan kebutuhan atau keinginan. Bedanya setipis kulit ari. Keinginan itu tak terbatas, tak mengikat, dan tidak bersifat darurat untuk segera mendapat pemenuhan. Sementara kebutuhan tak lepas dari kehidupan sehari-hari, dan pemenuhannya dapat dilakukan secara lebih sederhana.
Era ini disebut era dimana hasrat, keinginan dan kebutuhan itu tidak dapat dibedakan dengan jelas. Yang sering terjadi adalah ‘keinginan yang menyamar menjadi kebutuhan’. Makan misalnya, memang kebutuhan untuk menyelamatkan kita dari rasa lapar. Tapi hobby makan sambil nongkrong di mall, tentu bukan ini kan keinginan yang menyamar menjadi kebutuhan. Belum lagi di masa kini, hasrat dan keinginan itu di pompa sedemikian rupa dengan banyak rayuan iklan yang bertebaran dimana-mana, dan menjadikan penyamaran ‘keinginan’ menjadi sempurna.
Coba sekarang kita cermati lebih dalam. Kebutuhan menurut sifatnya terbagi menjadi kebutuhan jasmani dan rohani. Makan, misalnya adalah pemenuhan kebutuhan fisik. Berapa kalori di butuhkan, ya dipenuhi secara seimbang dengan makanan secukupnya. Sementara kebutuhan rohani, dapat dipenuhi dengan beribadah sesuai kepercayaannya. Tidak ada persyaratan makanan itu harus dengan cita rasa tertentu. Kalau sudah membincang perkara cita rasa, tempat makan yang berkelas, maka soal ini bukan lagi soal kebutuhan, tapi keinginan.
Kebutuhan itu hadir jelas waktunya. Saat ini, esok hari atau kelak dihari tua. Saat sakit misalnya, maka kebutuhan kita adalah mencarikan obat untuk itu. Misalnya saat ini anak pertama kita saatnya masuk sekolah. Maka pasti anak kita memerlukan perlengkapan sekolah, mulai buku, seragam sepatu dan sejenisnya. Kalau sudah soal merk berkelas, desain yang sporty dan sejenisnya, pastilah itu kebutuhan yang sedang menyamar. Saat ini istri kita sedang hamil, beberapa bulan ke depan harus melahirkan, maka kebutuhan melahirkan tentu tak bisa di tawar.
Kebutuhan juga terkait posisi seseorang. Misalnya seorang pimpinan perusahaan, membutuhkan sekretaris untuk mengatur administrasi kantornya, itu kebutuhan. Tapi jika pimpinan perusahaan tersebut mulai memasang memiliki kualifikasi yang kurang masuk akal, misalnya harus cewek usia 22-25, tinggi badan 165 keatas, harus cantik, tinggi semampai, kuning langsat, maka curigailah: barangkali itu keinginan yang sedang menyamar. Waspada, segera pakai obat mata, ehm. Seorang sopir Bus Antar Kota, membutuhkan seorang kernet. Tapi kalau kernetnya harus cewek seksi, itu pasti keinginan, bukan kebutuhan.
Keinginan sangat ditentukan kepuasan seseorang, dan itu sangat bersifat individual. Tak bisa diukur umum. Keinginan sangat tergantung oleh ukuran masing-masing orang, tak ada kaitannya dengan kelangsungan hidup, kelangsungan usaha atau bisnis yang sedang dijalani seseorang.
Jadi kita sedang tersandera oleh ‘keinginan’ banyak orang, pastilah kita akan menghadapi situasi yang tidak mudah untuk memuaskan keinginan semua orang. Jadi, misalnya kita melayani para pembaca dengan tulisan tertentu, gagasan tertentu, selow saja kalau tulisanmu belum dapat memuaskan semua orang. Memangnya penulis itu pemuas semua golongan. Jelas bukan….
Jadi, penting bagi kita untuk dapat memetakan dengan jelas mana gejala biasa yang disebut kebutuhan, dan mana hasrat nyleneh yang berbentuk keinginan. Kita tak perlu khawatir berlebihan oleh kurangnya pemenuhan keinginan, karena paling banter efeknya cuman ngambek. Bagi para suami istri, jika istri lagi pengen nonton, dan anda sedang bokek, paling resikonya cuman ngambek. Tapi kalau istri anda sedang sakit, dan anda harus berada disampingnya, anda harus memenuhinya.
Tulisan ini diciptakan untuk memenuhi kebutuhan kekinian, yakni kebutuhan dasar yakni hiburan melalui bacaan yang ringan, agar kita dapat menertawakan diri sendiri. Menertawakan diri sendiri itu suatu kebutuhan? Karena tertawa adalah obat paling manjur bagi berbagai tekanan persoalan yang sedang kita hadapi. Dengan tulisan ini, penulis pada dasarnya berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasar dari pembaca, yakni mendapatkan bacaan secara ringan dan menghibur.
Namun jika anda para pembaca sudah mulai meminta lebih, misalnya melampiri tulisan ini dengan content vlog komedi, maka mulailah curiga: jangan-jangan para pembaca sudah terjebak pada keinginan yang menyamar menjadi kebutuhan untuk ngakak. Waspadalah….