Jumat, Mei 3, 2024

Memindahkan Ketimpangan

Andi Suryadi
Andi Suryadi
Investment Alchemist

Pemerintah tampaknya serius dengan wacana pemindahan ibu kota negara dalam waktu dekat. Alasan utama pemindahan ibu kota diyakini sebagai upaya mengubah pola pikir pembangunan Jawa sentris agar tercipta pemerataan.

Pemindahan ibu kota dinilai mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi daerah-daerah di luar pulau Jawa dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Harapannya, kebijakan tersebut mampu menciptakan pemerataan pembangunan yang kecenderungan terpusat di Jawa.

Wacana yang telah mengemuka sejak era presiden Soekarno itu diklaim sebagai semata pemindahan pusat pemerintahan. Seperti halnya yang telah dilakukan Amerika Serikat, Malaysia atau Brasil.

Namun demikian, tidak sedikit pula yang meyakini bahwa banyak hal yang akan turut dibawa serta oleh pemindahan pusat pemerintahan itu terhadap calon ibu kota baru. Rencana besar pemerintah menuntut konsistensi dan kesinambungan serta diskusi mendalam bersama para pelaku usaha dan masyarakat lokal.

Pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap rakyat karena mendapatkan kekuasaan dari rakyat, sedangkan pelaku usaha memiliki kekuasaan yang tidak mengharuskan tanggung jawab terhadap rakyat karena bersumber dari kekayaan pribadi.

Paradoks Ketimpangan

Pertanyaan besar terkait pemindahan ibu kota negara ini bukan semata tepat atau tidaknya, melainkan juga seberapa esensial dan signifikan manfaatnya. Selama ini, pemerintahan pusat di pulau Jawa terkait erat dengan industri dan pembangunan yang terpusat pula.

Selain sebagai surga produktivitas, pusat pemerintahan juga bercorak tempat menciptakan sumberdaya sarana produktivitas. Mulai dari akses infrastruktur, kesehatan hingga layanan pendidikan begitu menjamur. Rumah sakit ternama, markas korporasi besar dan lembaga pendidikan terbaik ada di pulau Jawa.

Konsep pembangunan ibaratkan dua sisi koin, dibalik narasi indahnya pasti menyiratkan cerita lain. Sentral industri dan pemerintahan mendominasi peringkat teratas dalam hal ketimpangan. Logika sederhananya, limpahan sumber daya manusia dan gelar menjadi sentral pembangunan bukan lah jaminan terjadinya pemerataan. Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah, apakah pemindahan ibu kota akan menciptakan pemerataan atau sebaliknya menciptakan ketimpangan dan memperluasnya?

Bukan Salah Kekayaan

Argumen semacam sarkasme terhadap orang kaya akan dimentahkan oleh kaum konservatif. Tingkat kemiskinan global dan nasional nyatanya mengalami penurunan. Artinya, jumlah orang miskin semakin sedikit sehingga kalau ada pengklasifikasian orang kaya dan orang miskin itu manifestasi kerja keras yang seharusnya diterima, tanpa perlu dipersoalkan.

Thomas Piketty yang pernah mengguncang dunia dengan bukunya yang berjudul “Capital in the Twenty-First Century” tahun 2013 membuatnya mendapat julukan bernada sarkasme dari majalah The Economist sebagai “the modern Marx”. 

Orang-orang semacam Piketty dianggap bagian left-wing thinker yang identik dengan cara pikir sosialisme. Tentu pernyataan konservatif mengemuka, yakni tidak salah sebagian kecil orang menjadi sangat kaya sementara sebagian besar menjadi sangat miskin. Pernyataan itu menjadi skakmat untuk yang berlagak sosialis dan memiliki kecenderungan iri terhadap kekayaan orang lain.

Akumulasi kapital terjadi karena bekerja keras. Jadi, salah mereka yang tidak bekerja keras sehingga mereka miskin. Hal semacam itu lah yang tidak dipercaya oleh Karl Marx dengan mengatakan bahwa kekayaan itu bukan lah hasil kerja keras, melainkan akumulasi primitif.

Kondisi pernyataan Marx itu tidak terbantahkan melihat kenyataan warisan sejarah sistem politik dan ekonomi negara ini. Di sisi lain, bahwa kekayaan merupakan property rights yang tidak bisa dipaksakan penggunaannya oleh orang lain juga tidak bisa dibantah. Dengan cara apapun memaksa keputusan atas property rights orang lain tidak dibenarkan, bahkan oleh negara sekalipun.

Masalah serius ketimpangan antar-provinsi di Indonesia sekiranya menjadi cermin dalam memparipurnakan kebijakan pemindahan ibu kota. Apabila alasannya karena ingin mengurangi beban Jakarta dan jabodetabek, maka maknanya memberi daerah lain yang belum siap beban itu.

Apabila alasannya karena ingin menciptakan pemerataan, daerah yang menjadi kandidat ibu kota itu mengalami redistribusi yang relatif lebih merata daripada sentral industri dan pemerintahan saat ini. Perlu disadari, meskipun lembaga-lembaga ekonomi yang menentukan miskin atau makmurnya suatu wilayah, percaturan politik dan lembaga-lembaga politik lebih menentukan dan menentukan watak lembaga ekonomi yang ada (Acemoglu and Robinson 2012, 50).

Wilayah calon ibu kota mungkin siap, yang lebih penting dari itu adalah kesiapan sumber daya manusia menghadapi dinamika dan problematika selama proses hingga pasca pemindahan itu. Transisi masif yang dihadapi masyarakat jangan sampai menciptakan teritori disparitas baru atau yang semakin luas.

Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) secara gamblang membatah bahwa masalah kemiskinan (sejalan ketimpangan) bukan lah karena faktor geografis, latarbelakang kultur atau para pemimpin tidak mengenal kebijakan kemakmuran, melainkan peran institusi. Institusi-institusi politik-ekonomi menentukan kemakmuran dan kemerataan redistribusi dalam suatu konteks masyarakat. Jelas, ini bukan perkara sederhana karena seringkali resep barat sangat kaku beradaptasi dengan lokalitas masyarakat.

Andi Suryadi
Andi Suryadi
Investment Alchemist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.