Kamis, April 25, 2024

Memikirkan Sejarah Sekali Lagi

Aris Munandar
Aris Munandar
Penulis Lepas

Sebentar lagi bulan Agustus. Agaknya bulan Agustus agaknya dapat menjadi bulan sejarah bagi Indonesia. Pasalnya, pada bulan ini orang-orang banyak diingatkan tentang proses berdirinya bangsa. Lalu banyak yang membicarakannya lagi. Mulai dari dibentuknya Dikuritsu Junbi Inkai, menyerahnya Jepang kepada Sekutu, setelah dijatuhi Litle Boy dan Fat Man oleh Amerika Serikat, peristiwa Rengasdengklok, sampai pada puncaknya saat Latief, Suhud, dan SK Trimurti mengibarkan bendera merah putih dan Soekarno membacakan narasi dari kertas hasil ketikan Sayuti Melik.

Di tengah itu, kita perlu bertanya lagi tentang sejarah. Apa makna sejarah bagi kita? Apa hanya sekedar identitas yang menunjukkan siapa kita sebenarnya. Lalu apa sejarah bagi pemerintah? Apakah sekedar alat untuk meningkatkan nasionalisme rakyat sekaligus legitimasi negara.

Di masa Orde Baru, penguasa tampil hipokrit dan manipulatif di depan sejarah. Soeharto dan kroninya hanya membesarkan narasi sejarah yang dapat melegitimasi kekuasaannya. Sedangkan sejarah yang dapat merongrong kewibawaan dan diramalkan akan menandingi sejarah versi pemerintah, segera dibungkam.

Lalu setelah 22 tahun Soeharto tumbang, bagaimana kondisi kesadaran sejarah kita sekarang? Kita akan melacaknya melalui dua hal. Pertama, kebebasan menafsirkan sejarah dengan pedoman ilmiah. Kedua, pengambilan kebijakan berdasarkan pada prinsip-prinsip sejarah perjalanan bangsa.

Pada indikator pertama, nampaknya kebiasaan yang dibangun Orde Baru belum mampu dihilangkan seluruhnya. Narasi tunggal yang dibangun dan dipaksakan menjadi konsensus di tengah masyarakat. Serta represi yang dilakukan membuat tafsir-tafsir baru sejarah enggan muncul ke permukaan. Narasi tunggal itu lalu digunakan untuk menciptakan rasa takut di tengah masyarakat.

Sebagai contoh, narasi yang dibangun oleh Orde Baru tentang tragedi 65. “Kebenaran” tafsir pemerintah seakan tak boleh diganggu oleh tafsir-tafsir baru sejarah, meski fajar kebebasan menyingsing setelah tumbangnya Orde Baru. Buku-buku yang berbicara kembali soal G30S, PKI, Komunisme dan Marxisme disita. Toko-toko buku di sweeping. Lapak-lapak baca dibubarkan dan pemuda penggagasnya dikriminalisasi. Penulis-penulisnya dituduh dirasuki hantu PKI.

Kita seakan dipaksa untuk lupa bahwa tafsir pemerintah tentang G30S dengan PKI sebagai dalang, menjadi pembenar akan pembantaian setengah juta masyarakat Indonesia (versi John Roosa). Komnas HAM bahkan membawa angka yang lebih fantastis. Tiga juta orang.

Narasi PKI dan Komunis dengan narasi tunggal Orde Baru, digunakan untuk menyebar ketakutan. Seperti seorang ibu yang menakuti anaknya dengan hantu agar tak berkeliaran keluar rumah. Tak hanya itu, hampir di setiap hajatan besar politik, isu yang ada namun tidak tiada dan kerap diselipi narasi bahaya laten ini memang kerap dilekatkan kepada salah satu partai dan digunakan untuk menyerang partai bersangkutan.

Ada dikotomi intelektual masa Orde Baru menunjukkan arah keberpihakan. Namun tak masalah ada intelektual pemerintah atau intelektual publik. Namun di sini negara harusnya bijak. Karena, bukankah membiarkan terjadinya pertarungan ide dan diskursus akan melahirkan situasi yang menyenangkan bagi kehidupan keilmuan di Indonesia. Selanjutnya, akan menciptakan suasana yang demokratis karena banyak ide baru yang tercipta untuk memperbaiki sebuah negara.

Di tengah represi yang dilakukan oleh aparat dan ormas terhadap tafsir sejarah yang mengganggu konsensus lama yang telah dibangun Orde Baru, kita tetap perlu menjaga optimisme. Media-media mainsteam sudah banyak menampilkan artikel-artikel sejarah. Penulis artikel yang berasal dari berbagai latar belakang memperkaya khasanah kesejarahan. Gaya tulisan yang tidak kaku dan tidak harus mengikuti metodologi sejarah menjadi nilai lebih. Hanya menampilkan kutipan buku atau wawancara dengan sejarawan. Karena akan lebih mudah diterima awam.

Peristiwa sejarah ditulis dengan gaya jurnalistik dengan pendekatan aktualitas kalender dan peristiwa. Aktualitas kalender menampilkan artikel yang berisi tulisan sejarah tentang apa yang terjadi hari ini di masa lalu. Sedangkan pendekatan peristiwa berisi tentang apakah peristiwa yang terjadi di masa sekarang pernah terjadi di masa lalu. Aktualitas kalender ditulis untuk mengingatkan kita bahwa pernah ada sosok atau kejadian di dalam sejarah. Sedangkan aktualitas peristiwa harusnya berguna untuk mengambil pelajaran dari sejarah.

Kedua, sudahkah kebijakan yang diambil pemerintah memperhatikan prinsip-prinsip sejarah? Karena terkadang produk kebijakan yang diambil berdampak buruk pada kehidupan berbangsa. Padahal ada kebijakan yang bisa diramalkan dampak ke depannya dengan melihat sejarah, karena hal serupa pernah terjadi di masa lalu. Seperti kata bijak lama dari Prancis, Le Histoire se Repete. Sejarah akan berulang.

Lihat saja pandemi Covid-19. Pandemi bukan baru kali ini menghampiri Nusantara. Namun harusnya kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda saat menghadapi pandemi. Pemerintah Hindia Belanda yang meremehkan dan berupaya memelihara ketenangan penduduknya atas nama kestabilan ekonomi membuat banyaknya korban jatuh lewat penularan oleh beras yang diimpor dari Burma.

Bagaimana kebijakan yang kita terhadap korupsi? Sudahkah kita belajar pada runtuhnya kekuatan besar ekonomi seperti VOC. Atau tak cukupkah kita melihat Snouck Hurgronje memecah belah Aceh hingga akhirnya dapat ditaklukkan oleh Belanda. Masihkah kita mengikuti pemimpin yang menggunakan agama untuk menjaring suara hingga menciptakan fragmentasi di masyarakat. Tak cukupkah masalah mayoritas dan minoritas yang selalu diributkan dan tak kunjung usai.

Kita harus banyak belajar dari sejarah. Bukankah Bernhard Lowe, tokoh rekaan dari serial sci-fi berjudul Westworld produksi HBO pernah berkata,”how can you learn for your mistakes, if you cant remember?” Masihkah kita mengubur sejarah dan terus mengulangi kesalahan yang sama? Karena, seperti kata Yuval Noah Harari, keunggulan Sapien di antara makhluk lain adalah karena ada pewarisan ilmu. Generasi selanjutnya tidak benar-benar memulai hidup dari nol. Jadi mari belajar dari sejarah.

Aris Munandar
Aris Munandar
Penulis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.