Kampus telah menjadi lahan subur bagi perkembangan gerakan radikalisme. Fenomena ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Setidaknya sejak dekade 1990an ketika pertama kali gerakan ini mulai menanamkan pengaruhnya di banyak Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia. Menurut Martin van Bruinessen (2013), hal ini ditandai oleh menjamurnya halaqah-halaqah dan usroh-usroh di berbagai kampus.
Pada periode itu, usroh-usroh bukanlah gerakan yang terorganisir dengan baik. Sebagaimana diidentifikasi oleh van Bruinessen, fenomena usroh lebih merupakan tren yang merebak pesat karena mewakili semangat sebagian besar masyarakat yang menghendaki perubahan sosial, ekonomi dan politik. Di bawah rezim Orde Baru, tren ini berkembang karena menjanjikan perubahan berbasis pada kesalehan pribadi.
Sudah bisa ditebak, gerakan fundamentalisme yang merebak di kampus-kampus tersebut ditandai oleh tata pikir literalis dalam memahami pesan-pesan suci agama. Umumnya gerakan ini berkembang di perkotaan, sebagian besar bersarang di kampus. Ide fundamentalisme diterima secara luas karena menawarkan identitas baru bagi mayoritas orang yang mengalami peminggiran sistematis oleh rezim Orde Baru. Melalui usroh-usroh, agama disajikan secara tertutup, hitam-putih, dan menyimpan libido yang sangat besar untuk bertindak intoleran.
Harga Mahal
Sesudah berlangsung selama 30 tahun lebih, gerakan ini telah menjelma menjadi kekuatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Arus demokratisasi sesudah jatuhnya Orde Baru, menjadi faktor yang mempercepat bertumbuhnya sel-sel gerakan tersebut. Proses kaderisasi yang panjang, memungkinkan usroh-usroh bukan hanya berhasil mendistribusikan kader-kader terbaik mereka ke dalam sistem Perguruan Tinggi, tetapi juga di pos-pos penting lintas Kementerian dan lembaga-lembaga eksekutif.
Saat ini, hampir seluruh lapisan kehidupan berbangsa dan bernegara, telah dikepung oleh gerakan ini. Bahkan tidak ada satupun institusi sosial, ekonomi, dan politik yang imun oleh arus radikalisme. Negara seperti telah dikepung dari luar, juga ‘dibajak’ dari dalam oleh gerakan yang mendambakan berdirinya kekhalifahan Islam tersebut. Di dalam kampus sendiri, gerakan ini makin terang-terangan mengekspresikan sikapnya yang anti-sistem, menolak Pancasila dan dasar kebangsaan bhinneka tunggal ika.
Fenomena deklarasi khilafah Islamiah di kampus Negeri ternama di Jawa Barat beberapa waktu yang lalu, hanyalah contoh paling permukaan yang menggambarkan betapa gerakan radikalisme telah menguasai sebagaian besar sistem dan birokrasi kampus. Tentu saja radikalisme bukanlah gerakan homogen dengan agenda politik tunggal. Gerakan ini telah mengalami pembelahan dari dalam, ada banyak faksi, dan setiap faksi memiliki agenda politik yang berbeda-beda. Meski begitu, secara umum watak mereka cenderung sama.
Gerakan ini hanya tumbuh dengan ideologi tertutup dan anti-dialog. Karena itu, tata pikir keagamaan pengikutnya dijaga tetap bersifat literalis dan tekstual. Memahami agama secara kaku, seakan-akan yang ada hanyalah hukum halal-haram, iman-kafir. Berpijak pada ideologi seperti ini, gerakan radikalisme lalu hadir dengan mengumbar kebencian atas nama agama, gemar mengafirkan (takfiri), menetapkan kelompok-kelompok agama/keyakinan lain sebagai bid’ah, sesat, munafik, thoghut dan seterusnya.
Hanya butuh satu tahap lagi, watak dasar seperti ini menjadi dasar bagi para penyokongnya untuk membenarkan semua tindakan kekerasan—termasuk teror, dalam rangka mencapai agenda-agenda politiknya. Gerakan yang keras dan disokong oleh militansi yang tinggi sebagaimana digambarkan di atas, telah banyak mengubah wajah Perguruan Tinggi di Indonesia. Kampus tidak lagi menjadi lembaga ilmiah yang berwibawa. Kebebasan akademik telah diinjak-injak oleh nalar agama yang menghendaki penyeragaman (Suhadi, 2017).
Mengembalikan Kewibawaan Ilmu
Tentu tidak mudah membersihkan kampus dari gerakan radikalisme yang sudah terlanjur mengerak seperti saat ini. Meski begitu, mengambil sikap permisif atas pergerakan tersebut di kampus, sama artinya dengan menyerahkan masa depan Indonesia pada generasi yang telah dicuci otaknya untuk bersikap makar terhadap negara. Atas dasar keprihatinan ini, kampus harus diambil-alih kembali dan dipulihkan martabatnya sebagai lembaga keilmuan.
Kabar baiknya, keprihatinan dan kesadaran tersebut telah tumbuh dan di-endorsement oleh negara. Melalui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan, negara terus mendorong agar kampus menjadi garda paling depan deradikalisasi. Perguruan Tinggi sudah seharusnya menyuarakan ide-ide moderasi yang telah lama tenggelam.
Keprihatinan seperti inilah yang mendorong seluruh pimpinan Perguruan Tinggi di Indonesia, termasuk 400 Rektor Perguruan Tinggi Islam, menyatakan komitmennya untuk menjadikan kampus sebagai basis perlawanan terhadap gerakan radikalisme. Komitmen tersebut dinyatakan dalam Aksi Kebangsaan, di Bali, 25-26 September yang lalu.
Beberapa agenda yang harus dipikirkan mengikuti aksi tersebut adalah: Pertama, harus ada upaya serius mentransfomasikan Pancasila sebagai ilmu, sekaligus menjadi kesadaran baru bagi kebangsaan Indonesia. Kedua, mentransformasikan pendidikan agama dari paradigma kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial dan bangsa. Ketiga, menjaga supremasi ilmu di hadapan fatwa-fatwa keagamaan yang bersifat intoleran. Wallahua’lam.
Penulis adalah Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR), IAIN Tulungagung