Pemilihan umum atau pemilu adalah salah satu momen penting dalam kehidupan bermasyarakat yang menjunjung nilai demokrasi. Pada saat inilah seluruh lapisan masyarakat dapat menyumbangkan suaranya untuk memilih dan menentukan seorang pemimpin yang dianggap layak.
Satu suara saja dapat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap nasib negara di masa mendatang. Namun, era informasi digital yang berkembang pesan membawa tantangan baru dalam pelaksanaan pemilu. Tantangan yang paling rentan memengaruhi proses demokrasi ini adalah penyebaran hoaks.
Menjelang pelaksanaan pemilu seperti masa kampanye, hoaks bisa dengan begitu cepatnya menyerbu masyarakat hingga tersebar luas. Media sosial dan platform daring menjadi sarana utama penyebaran hoaks. Informasi palsu dapat dengan cepat menyebar melalui berbagai saluran seperti pesan berantai di WhatsApp, kabar palsu di Facebook, dan teks provokatif di Twitter.
Dampak hoaks pada masyarakat merupakan masalah serius yang dapat menggoyahkan fondasi demokrasi. Hoaks mampu merusak persepsi masyarakat terhadap calon kandidat dan partai politik, memutarbalikkan fakta, dan memanipulasi realitas politik.
Ketika informasi palsu tersebar secara luas, hal itu dapat mengganggu proses pemilihan dan membingungkan masyarakat sebagai pemilih. Pemilih yang tidak kritis terhadap informasi yang diterima dapat mudah terpengaruh oleh hoaks yang dirancang dengan cermat untuk mendukung agenda tertentu.
Oleh sebab itu, hasil keputusan suara rakyat dapat dipengaruhi oleh disinformasi, bukan oleh pemahaman yang mendalam tentang isu-isu yang sebenarnya. Hoaks juga dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap seluruh proses demokrasi. Ketika masyarakat merasa bahwa pemilihan dan proses politik umumnya dicemari oleh informasi palsu, masyarakat cenderung meragukan integritas institusi demokratis. Ketidakpercayaan ini bisa memicu ketegangan sosial dan memengaruhi stabilitas politik.
Salah satu contoh kasus hoaks yang muncul menjelang pemilu adalah berupa penyebaran video oleh seorang pengguna Facebook bernama Jovanka Lovata. Video tersebut menunjukkan sejumlah orang yang tengah berdebat mengenai pemasangan spanduk, dan dalam video tersebut juga terdapat gambar Anies Baswedan. Narasi yang disertakan dalam video tersebut menuduh bahwa peristiwa tersebut adalah pencurian formulir C1.
Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata peristiwa ini sudah pernah dilaporkan oleh beberapa media daring pada tahun 2019. Salah satunya adalah artikel dari iNewsJabar.id yang berjudul “Sebar Hoaks Polisi Menyamar saat Pemilu di Kuningan, Pria Ini Ditangkap” yang dipublikasikan pada tanggal 7 Mei 2019.
Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa seorang pria bernama Abdul Jalil asal Cilacap, Jawa Tengah, telah ditangkap oleh Kepolisian Resor (Polres) Kuningan, Jawa Barat. Abdul dituduh telah menyebarkan video tersebut ke media sosial dengan narasi yang menyesatkan, yang mengklaim bahwa polisi menyamar sedang mengangkut formulir C1 plano selama Pemilu tahun 2019.
Mengutip dari cekfakta.com, kejadian yang sebenarnya dalam video tersebut adalah dua petugas dari Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) yang sedang mengurus berkas C1 plano di GOR Ewangga dan berniat untuk mengantarkannya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kuningan. Namun, yang mencolok dari aksi mereka adalah keduanya tidak mengenakan tanda pengenal resmi dan mengenakan seragam polisi. Karena tampilan mereka yang mencurigakan, sekelompok relawan dari salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden mendekati mereka untuk menyelidiki kejadian tersebut.
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa isu politik terutama pemilihan umum menjadi isu yang sensitif di kalangan masyarakat. Hanya dengan sepotong video dengan tambahan narasi yang menyesatkan dapat membuat persepsi masyarakat terhadap salah satu kandidat capres berubah. Padahal ketika ditelusuri lebih lanjut, itu hanyalah sebuah video lawas yang sengaja dipotong pada bagian tertentu. Dampaknya, masyarakat yang termakan hoaks ini bisa saja malah menyumbangkan suaranya dan menjatuhkan pada pilihan yang kurang tepat.
Perlu adanya beberapa upaya untuk menjaga integritas proses pemilu dan menjauhkan masyarakat dari dampak negatifnya. Platform media sosial dan penyedia konten daring harus memainkan peran aktif dalam mengidentifikasi dan menghentikan penyebaran hoaks. Penggunaan teknologi kecerdasan buatan juga dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi informasi palsu dan membatasi jangkauan hoaks secepat mungkin. Kolaborasi dengan organisasi yang dapat memantau penyebaran hoaks seperti cekfakta.com dan pakar dalam berbagai bidang juga bisa membantu mengidentifikasi hoaks.
Pendidikan tentang literasi digital juga menjadi bagian penting. Masyarakat harus memiliki kemampuan berpikir kritis untuk memilah informasi yang benar atau tidak. Mereka perlu memahami cara memverifikasi sumber informasi, menilai keabsahan sebuah berita, dan mengenali tanda-tanda hoaks sehingga tidak asal menyebarkan informasi yang didapatkan.
Selain itu, pemerintah harus berperan aktif dalam mengatur dan mengawasi penyebaran hoaks. Jika perlu, undang-undang dapat diberlakukan agar lebih efektif menghukum pelaku penyebaran hoaks dengan sanksi yang tegas. Transparansi dalam pembiayaan kampanye politik juga harus ditingkatkan untuk menghindari penggunaan dana ilegal dalam menyebarluaskan hoaks.
Dengan mengimplementasikan langkah-langkah ini, masyarakat dapat terhindar dari pengaruh negatif hoaks selama pemilihan umum. Ini bukan hanya tanggung jawab individu atau pemerintah, melainkan sebuah upaya bersama yang melibatkan seluruh masyarakat dan pihak terkait. Dalam menjaga integritas proses demokrasi, pencegahan penyebaran hoaks adalah suatu keharusan.