Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menanamkan kesadaran: kesadaran menuntut ilmu. Begitu juga dalam beragama. Hal ini dipertegas dengan firman Allah SWT: “Tak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (Terj. QS Al-Baqarah: 256).
Kesadaran memeluk agama tidak cukup apabila tidak dibarengi dengan pengamalan beragama yang baik dan benar. Bagaimana agama yang baik dan benar? Tentu dikembalikan kepada sang pembawanya. Dalam konteks Islam, pengamalan agama yang baik dan benar adalah yang spiritnya sesuai dengan apa yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Saya mendapat beberapa pesan berantai (broadcast) yang isinya sangat kontradiktif. Yang pertama mengenai hujatan kepada Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang dianggap menghalang-halangi majlis ilmu karena menolak kehadiran ustad Felix Siaw, salah satu ustad beken di kalangan anak muda, di Bangil, Pasuruan. Yang kedua mengenai hujatan kepada si ustad karena dianggap melakukan playing victim, memosisikan dirinya seolah-olah korban dalam peristiwa Bangil tersebut. Sayangnya, pembelaan dan hujatan kepada sang Ustad dibarengi dengan hoaks dan makian. Saya coba membela Ustad Felix Siaw dengan santun karena beberapa alasan.
Pertama, Felix Siaw adalah warga negara Indonesia, (mungkin) ber-KTP Indonesia, dan menganut agama yang diakui di Indonesia. Walau pun pandangan politiknya bersebrangan dengan apa yang semestinya dianut warga negara ini, tetapi tetaplah Felix adalah WNI yang punya jaminan konstitusi. Maka pembubaran pengajian ustad tersebut adalah pelanggaran hak konstitusi (jika kenyataannya dibubarkan. Jika tidak, ya tidak).
Kedua, Felix Siaw sudah dewasa. Usianya lebih dari 17 tahun. Tidak semestinya usia yang sudah dewasa itu masih dibebani dengan paksaan, intervensi, dan semacamnya. Apalagi menandatangani sudah keluar dari HTI dan menerima asas Pancasila seutuhnya. Lha wong kalau orang pacaran kemudian putus saja move on-nya lama, lha ini baru beberapa hari dibubarkan apa bisa langsung menyatakan keluar dari partai yang membesarkan namanya?
Ketiga, adalah hak pribadi ustad Felix jika dia menyebut negara ini sebagai negara kufur. Yang jelas, sekufur-kufurnya negara ini, ia masih sangat cinta. Buktinya ia tidak pindah ke negara lain. Ibaratkan saja seperti lagu Nella Kharisma berjudul ‘Bojoku Galak’. Segalak-galaknya bojo ya tetap cinta. Mungkin ini yang dirasakan sang ustad ketika merasakan negara ini begitu runyam dan kejam di matanya, tetapi ia tak mau terpisah darinya. Kuat yo dilakoni, yen rak kuat ditinggal ngaji.
Keempat, Felix Siaw masih belajar, baik belajar dalam hal agama atau pun mencintai negara. Namanya orang belajar, wajar kalau ada yang salah. Apalagi tingkatan dalam beragama itu ada tiga: Iman, Islam, dan Ihsan. Iman adalah tingkat keyakinan dasar, sementara Islam sudah mulai mengamalkan ajaran-ajaran, dan Ihsan adalah tingkatan di mana seseorang melakukan sesuatu atas dasar ruh Islam yang rahmatan lil’alamin. Orang yang tidak mempersoalkan bentuk negara, pemimpin, dan lain sebagainya adalah orang yang sudah berada di tahapan Islam menuju ke Ihsan.
Maka, jika kita cermati, tokoh-tokoh agama yang ilmunya sangat luas tidak pernah menyoal bentuk negara. Mau kerajaan, demokrasi, kekhalifahan dll, semua bisa dijadikan jalan menuju ke inti dari ajaran agama, yakni keadilan, kesejahreraan, dan kemanusiaan. Bagi orang yang kebetulan menganut tokoh yang tak lagi bingung soal negara, selamat, Anda beruntung! Apalagi jika yang kita anut adalah Nabi Muhammad SAW, beliau tidak pernah menyuruh umatnya membentuk sebuah negara Islam. Lha wong negara Madinah yang dipimpin Nabi saja menggunakan Piagam Madinah sebagai konstitusi. Sementara Piagam Madinah disusun bersama para tokoh lintas suku dan agama. Indonesia sudah kayak Madinah, tho?
Spirit berkeadilan inilah yang sering dilupakan para aktivis negara Islam. Mereka menganggap apa yang terjadi di zaman old bisa diterapkan di zaman now. Padahal setiap masa punya karakteristik berbeda. Untuk itulah mengapa model kepemimpinan selalu berubah-ubah.
Dalam mencintai negara, Ustad Felix Siaw tidak seberuntung anak-anak muda NU atau Muhammadiyah yang belajar bernegara dari para sesepuh yang menjadi pelaku sejarah melawan penjajah. Ustad Felix mengenal Islam dari partai politik yang lahir dari konflik Timur Tengah, yang sama sekali tidak memiliki ikatan emosional dengan gerakan perjuangan di negeri ini. Maka sangat wajar framing bernegara yang dibangunnya adalah bernegara a la konflik Timteng, memunculkan istilah kawan dan musuh. Celakanya kawan dan musuh hanya diidentifikasi melalui agama yang dianut. Tapi ndak juga, sih. Lha NU dan Muhammadiyah saja masih kerap disebut musuh, kok.
Soal Ustad Felix yang dikhawatirkan menyebarkan ideologi khilafah dan menjaring kader partai HTI, salah satu solusinya adalah dengan menyimak isi ceramah si ustad sampai tuntas. Barangkali keengganan Ustad Felix menandatangani pernyataan keluar dari HTI dan menerima Pancasila hanya kesungkanannya pada teman-temannya. Bagaimana pun, teman adalah pasar lho bray.
Eh, ini kalau ternyata Ustad Felix diusir lho, ya. Tapi kalau ceritanya sudah pergi sebelum dimediasi, ya mau bagaimana lagi? Wong kedewasaan berpikir dan bertindak itu soal pengalaman, bukan terkait usia. Yang jelas, sebagaimana pendidikan dan agama, bernegara juga tidak perlu dipaksa. Sesuatu yang buruk tercipta agar hal yang baik terlihat. Bukan kah begitu, Pak Haji? Eta terangkanlah…