Demikian pula jika hanya manut pada tafsir ulama terdahulu yang mungkin tidak bisa menjawab persoalan kekinian yang sering di hadapi masyarakat modern, seperti kasus HAM, gender, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Hal ini dikarenakan penafsiran yang diproduksi pada periode klasik memang menjawab problem yang di hadapi saat itu. Misalanya ayat arrijalu qowwamun ala an-nisa’ pada saat itu ditafsirkan seakan-akan diskriminatif.
Padahal sebenarnya memang tradisi pada saat itu patriarkhal. Sehingga al-Qur’an tidak secara langsung menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Karena jika demikian, maka kemungkinan besar al-Qur’an langsung ditolak oleh masyarakat Arab pada saat itu.
Sementara adanya penafsiran modern yang menggunakan pendekatan gender misalnya, ini sudah cocok untuk diterapakan pada zaman sekarang ini. Sebab masyarakat kekinian sudah mulai menyadari dan terbuka akan ajaran Islam yang sebenarnya menjunjung tinggi persamaan.
Lagi pula jika melihat redaksi lanjutan ayat secara utuh, maka sebenanya yang membuat laki-laki itu dianggap menjadi pemimpin bagi perempuan adalah usaha dan kemampuannya dalam menafkahi keluarga. Sehingga ketika perempuan memiliki kelebihan yang lebih dari laki-laki, maka perempuan juga bisa menjadi kepala keluarga. Meskipun demikian, soal pembagian kerja keduanya tetap sejajar.
Contoh lain adalah penggunaan teknologi yang semakin urgen di era milenial ini. Medsos misalnya. Beragam situs web menyediakan kajian keislaman termasuk tafsir. Sementara sumbernya sendiri terkadang tidak jelas. Oleh karenanya, bagi mereka yang kompeten dalam bidang tafsir hendaknya juga menyentuh dunia teknologi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya soal penafsiran yang berbeda, baik karena periode maupun kecenderungannya, bukan berarti yang satu salah dan yang satu benar. Karena kebenaran tafsir itu sendiri merupakan kebenaran yang relatif. Sehingga tidak etis jika saling menyalahkan antara satu tafsir dengan tafsir yang lain.
Mengkritisi boleh, namun juga harus diiringi dengan argumen yang logis. Bahkan alangkah lebih baik jika kedua model penafsiran diatas dipadukan. Sisi spritual dan prinsip dasar penafsirannya dapat, solusi atas problem yang sedang ingin dicari pun juga dapat.
Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam satu ungkapan, “al muhafadzah ala al-qodim ash-sholih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik dan mengadopsi sesuatu yang baru yang lebih baik)”. Benar bahwa ini tidaklah mudah. Namun tetap semangat dan selamat berjuang!