Dua tayangan dokumenter yang saya tonton cukup berdampak untuk kesadaran saya. Pertama, tayangan dokumenter dari Indonesia Baru yang berjudul ‘Jalan-jalan yuk’ yang menampilkan dinamika proyek kebijakan nasional pariwisata premium di Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur yang berdampak terhadap penghidupan petani dan warga tempatan.
Kedua, tayangan dokumenter dari ABC News yang berjudul ‘The hidden cost of you electric vehicle: Indonesia`s nickel nightmare’ mengenai dinamika industri ekstraktif nikel di Morowali, Sulawesi tenggara yang berdampak terhadap penghidupan warga tempatan.
Menggali makna dari dua karya dokumenter tersebut membuat saya melakukan identifikasi mengenai isu penting yaitu pangan dan air. Keduanya vital untuk keberlangsungan umat manusia, akan tetapi intervensi kepentingan ekonomi politik menyebabkan akses pangan dan air menjadi begitu kompleks dan menimbulkan kerentanan. Dua karya dokumenter tersebut memberikan gambaran bagaimana industri pariwisata dan industri ekstraktif atau penambangan memberikan resiko sosial dan lingkungan hidup yang serius.
Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa industri pariwisata terbukti rakus air dan merampas lahan pertanian menjadi lahan komersial. Penelitian mengenai pariwisata di Bali berpengaruh terhadap penurunan lahan pertanian menyebabkan krisis agraria di Bali.
Kemudian, debit air untuk pertanian pun mengalami krisis. Industri pariwisata di Bali yang hendak direplikasi di daerah lainnya di Indonesia berdasarkan kebijakan pemerintah telah memberikan alarm resiko mengenai potensi krisis yang akan mempengaruhi produksi pangan. Selain itu, kegiatan ekstraktif telah menyebabkan nelayan kesulitan mencari ikan dan petani pun kesulitan mengairi sawahnya baik karena sumber air yang tercemar maupun penurunan debit air. Maka, alarm resiko ketahanan pangan pun menjadi semakin nyaring.
Sistem pangan nasional mengalami berbagai tantangan. Pertama, aktor pertanian yaitu petani maupun buruh tani menjadi kisah klasik yang tidak mengalami perubahan kesejahteraan sepanjang negara ini merdeka.
Bahkan kian hari, profesi bertani merupakan profesi yang paling berisiko baik menghadapi relasi kuasa yang menyebabkan petani menyerahkan lahan penghidupannya karena himpitan tekanan ekonomi di tengah menguatnya kuasa pemilik modal. Aktor pertanian yang tidak sejahtera, maka menyebabkan lahan pertanian pun kian menyusut. Kedua, perubahan iklim yang ditandai kejadian kekeringan yang semakin ekstrem maupun variabilitas iklim menyebabkan produksi pertanian kian rentan mengalami penurunan panen hingga gagal panen.
Ketiga, daya dukung lingkungan yang menyebabkan lahan pertanian berkurang kesuburannya baik karena pencemaran input pertanian kimiawi yang mencemari tanah, air hingga pencemaran akibat sampah plastik yang kian masif menyebar baik di lahan pertanian maupun di lautan. Keempat, kebijakan mengenai industri pariwisata dan industri ekstraktif yang berpotensi menyebabkan tambahan kerentanan terhadap pelaku pertanian (baik nelayan maupun petani) yang terancam penghidupannya dan kerentanan terhadap ekosistem.
Kelima, diversifikasi pangan secara struktural belum diberlakukan sementara itu produksi pangan beras tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya pangan pokok di tengah kejadian perubahan iklim yang terus berlangsung. Data beras nasional tahun 2023 mencapai sekitar 31 juta ton yang menurun sebesar sekitar 10 juta ton apabila dibandingkan dengan produksi beras tahun 2022.
Isu pangan ini menjadi isu yang serius karena dari berbagai temuan penelitian bahwa masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan menengah ke bawah memiliki pola pangan yang memprioritaskan karbohidrat dibandingkan protein. Dalam hal ini, sumber karbohidrat warga bertumpu pada beras.
Sementara itu, beras merupakan komoditas yang kerapkali mengalami inflasi. BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan pada September 2023 inflasi beras mencapai 5,61% dan pada Februari 2024 mencapai 5,32%. Dalam kondisi perekonomian yang stabil, inflasi tersebut dapat memberatkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun bagaimana apabila terjadi krisis ekonomi? Belajar dari krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka tahun 2019 yang berdampak hingga saat ini adalah bagaimana krisis ekonomi berdampak pada inflasi pangan yang menyebabkan pangan dalam hal ini karbohidrat dan protein berharga mahal sehingga tidak terjangkau bagi warga.
Berbagai potensi krisis terhadap kondisi pangan yang telah teridentifikasi bukan menjadi alat untuk menakut-nakuti pembuat kebijakan atau pun warga. Melainkan, membuka kesempatan untuk mengembangkan pangan berbasis lokalitas. Artinya membangun sistem pangan lokal menjadi prioritas dalam menghadapi berbagai tantangan. Mendorong kembali lumbung-lumbung pangan berbasis komunitas dengan mendorong jenis karbohidrat lainnya yang sesuai dengan kondisi tempatan, misalnya ubi, singkong, gembili, sorgum atau pun sukun.
Mengapa kembali ke lokalitas? Dampak globalisasi seperti krisis keuangan atau pun krisis ekonomi yang menjadi rutin terjadi di berbagai negara hingga kejadian pandemic covid-19 menunjukkan bahwa sistem global telah menunjukkan kerapuhannya. Indonesia pun telah menghadapi berbagai krisis-krisis tersebut, maka pembelajaran penting dari krisis tersebut untuk konteks pangan adalah lokalitas berbasis komunitas pertanian dapat diupayakan untuk kembali membangun dan melestarikan pangan lokal.
Tidak hanya itu, akses pasar dan infrastruktur pendukung pun menjadi kewajiban negara sehingga norma sistem pangan lokal dapat segera terbangun. Pada masa covid-19, laju kegiatan industri terhenti, namun sektor pertanian terbukti tangguh. Bahkan tidak hanya itu, produk pangan yang terjangkau pun terbukti berasal dari petani skala kecil. Berbagai penelitian di berbagai negara pun menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa yang memberikan kecukupan pangan kepada warga adalah petani skala kecil, bukan korporasi!