Hari raya idul fitri adalah puncak pengalaman hidup sosial keagamaan rakyat indonesia. dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan rakyat selama satu tahuan diarahkan untuk dapat merayakan hari besar itu dengan sebaik baiknya. Mereka bekerja dan banyak yang menabung untuk kelak mereka nikmati pada saat tiba idul fitri.
Sebagai hari raya keagamaan, idul fitri mengandung makna keruhanian karena menang masyarakat telah melewati tahap demi tahap ibadah puasa hingga mencapai puncaknya yaitu merayakan ibadah idul fitri. Juga idul fitri mengandung makna sosial karena setiap masyarakat indonesia khususnya umat Islam dapat saling memberi maaf, menjalin kasih sayang dan silaturahim, kebersamaan dan persaudaraan antar sesama.
Makna keruhanian idul fitri dapat dipahami dengan baik jika kita dapat melihatnya dari sudut pandangan keagamaan yang melatarbelakanginya, seperti halnya dengan pranata keagamaan, idul fitri bersangkutan langsung dengan berbagai ajaran dasar Islam. Karena itu makna idul fitri merupakan rangkuman nilai-nilai islam dalam sebuah kapsul kecil (in a nutshell), dengan muatan simbolik yang sangat sakral.
Idul fitri terdiri dari dua suku kata yaitu idul dan fitri. Id adalah dari akar yang sama dengan kata kata awdah atau awdataun atau adat-un dan istiadat-un. Semua kata itu mengandung makna yaitu kembali atau terulang.
Atau dalam bahasa indonesia, adat istiadat yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang, atau datang kembali berulang ulang secara periodik dalam daur waktu satu tahun.
Sedangkan kata fitri seakar dengan kata fitrah yang berarti secara harfiah adalah asal kejadian yang suci atau kesucian asal. Secara kebahasaan, fithrah mempunyai pengertian yang sama dengan khilqah, yaitu ciptaan atau penciptaan. Artinya bahwa pada dasarnya Allah swt mencipatakan segala sesuatu yang suci atau sesuai ciptaannya.
Oleh karena itu, walaupun bulan Suci Ramadhan telah meninggalkan kita, dengan berbagai kesan dan kenangan yang mungkin tidak akan dapat kita lupakan. Sebulan bersama bulan Ramadhan bukanlah waktu yang sedikit. Peragulan, pendidikan, dan latihan diri yang kita lakukan selama bulan Ramadhan harus menanamkan kecintaan yang lebih tinggi dan lebih besar terhadap ibadah.
Cinta kita terhadap bulan Ramadhan tentu harus bertambah dan kecintaan kita untuk melakukan ibadah-ibadah selama bulan Ramadhan tidak boleh terputus dengan kepergian bulan Ramadhan. Kecintaan untuk beramal itu harus ditingkatkan dan dikembangkan terus-menerus, tidak hanya pada diri kita sendiri tetapi juga kepada orang lain.
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita, tetapi pergi untuk kembali. Pada saat dia kembali, dan dia pasti akan kembali, dia akan bertemu dengan kita, kalau kita masih diberi umur panjang oleh Allah.
Kedatangannya nanti pada tahun depan akan menguji dan mengevaluasi kembali hasil yang telah kita lakukan selama 11 bulan mendatang. Kebiasaan-kebiasaan ibadah yang dilakukan selama Ramadhan harus ditularkan kepada keluarga kita, isteri, anak-anak kita, kerabat kita, dan sesama kita.
Syahadat, zikir, istigfar yang biasa kita lakukan setiap saat pada bulan Ramadhan, harus kita tingkatkan lagi sesudah bulan Ramadhan. Semua ini akan menjadikan hati kita tenang, tenteram, dan nyaman, tidak pernah gelisah dan keluh kesah.
Islam membentuk suatu peradaban yang unik dan gampang dikenali meskipun ia melintasi batas-batas ras, suku bangsa, bahasa dan geografi. Masyarakatnya dijiwai oleh semangat yang memberinya corak tersendiri pada pelbagai lembaga politik, hukum, kesenian, dan arsitektur, kesusasteraan, sains dan kesarjaan.
Pada inti peradaban ini terdapat sikap berserah diri arti harfiah dari kata “islam” kepada realitas ilahiah, asal sejati dari seluruh manifestasi peradaban ini. Ideal ini tetap utuh sejak kelahiran agama ini. Hal inilah yang menjadi benteng pertahanan dari leburnya islam ke dalam modernitas.
Lebih lanjut, Ali.A.Allawi mengatakan bahwa, “Peradaban islam tidaklah erbicara tentang dimensi politik atau bakan dimensi keagaaman dari islam. Ia berbicara tentang apakah kaum muslim bisa tetap memeluk ideal transendental itu dan bagaimana komitmen ini akan memengaruhi perilaku mereka pada tingkat individual maupun sosial”.
Inti peradaban islam berbeda dari peradaban-peradaban lainnya, khususnya dari tatanan dunia yang mengglobal dan dominan, jawabannya ialah bahwa peradaban islam nyaris sebagai definisinya, harus mengakui dari yang transenden (atau yang suci, nilai luhur dan tuhan) dalam jati dirinya.
Jika unsur ini tiada, islam tak bisa dipaksa memasuki dinamika modernitas tanpa merusak integritasnya (Ali.A.Allawi. Krisis Peradaban Islam, Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total, Hal:19-20).
Tiap perdaban memiliki sisi luar dan sisi dalam; sisi dalam berupa rangkaian keyakinan, dan nilai nilai yang mewarnai sisi luarnya yang berupa aneka lembaga, hukum, pemerintah dan kebudayaan. Dimensi internal islam kini tak lagi memiliki peranan penting atau kekuatan untuk mewarnai sisi luar dimana sebagian besar kaum muslim hidup (Hal:22).
Jika umat muslin ingin menjalani kehidupan lahiriah yang merupakan ekspresi dari keimanan terdalam mereka, mereka harus kembali bagian bagian dalam ruang publik yang telah diserahkan pada pandangan dunia lain selama berapa abad.
Jika umat muslim tidak dapat menghimpun sumber daya batiniah dari agama mereka untuk mencipatakan kehadiran lahiriah yang berkekuatan peradaban, maka islam sebagai sebuah peradaban mungkin akan hilang.
Masa depan mungkin akan dipengaruhi oleh pemberontakan pemberontakan yang terserak oleh orang oirang mulsim yang tak puas, tetapi lamam kelamaan intensitas serta cakupannya akan melemah.
Seiring perjalanan waktu, berbagai penyesuain, kompromi, dan pengorbanan yang telah menandai pertemuan setiap generasi muslim dengan dunia yang didominasi pertama tama oleh barat dan kini, secra semakin meningkat, oleh kekuatan kekuatan teknologi dan pasar impersonal yang akan mengikis habis kemungkinan regenerasi peradaban islam.