Minggu, November 24, 2024

Membangun Narasi Perempuan

Atih Ardiansyah
Atih Ardiansyah
Direktur Eksekutif Rafe'i Ali Institute (RAI), dosen FISIP UNMA Banten
- Advertisement -

Pro dan kontra mengenai mahasiswi bercadar di kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,  seolah menjadi pucuk peringatan Hari Perempuan Sedunia (8 Mei) tahun ini. Itu menjadi semacam renungan tentang narasi perempuan hari ini yang tak lebih tentang persoalan tubuhnya semata-mata.

Dr. Muhammad al Habasy dalam bukunya Al Mar’ah Baina al Syari’ah wa al Hayah menyebut bahwa pergeseran narasi tentang perempuan yang melulu soal domestik didasarkan pada argumen prinsip Sadd al Dzariah (menutup pintu kerusakan). Keterlibatan perempuan di ruang-ruang publik dapat menimbulkan “fitnah” dan penyimpangan moral. Jargonnya maut sekali: “Demi melindungi” dan atau “Menjaga kesucian moral”. Padahal, ada perbedaan yang sangat tebal tentang “melindungi” dan “membatasi”.

Tulisan ini secara rendah hati ingin mengajak kita semua untuk membaca bentangan sejarah yang demikian panjang tentang perempuan. Bahwa ketika perempuan mendapatkan ruang yang lega untuk bernafas, mereka nyatanya mampu membangun narasi yang besar. Bahkan sejarah kita hari ini, tak lain karena sumbangsih mereka.

Mari kita sapa ibunda kita, Aisyah binti Abu Bakar. Beliau adalah istri kesayangan Rasulullah Saw., yang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang. Menurut Al Dzahabi dalam Siyar A’lam al Nubala (Riwayat Hidup Ulama-ulama Cerdas), lebih dari 160 sahabat laki-laki belajar kepada Aisyah. Secara persis, sebagian ahli hadits lain menyebut bahwa murid-murid Aisyah berjumlah 299 orang, yang terdiri atas 67 orang perempuan dan 232 laki-laki.

Beberapa lagi misalnya Umm Salamah binti Abi Umayyah, mengajar 101 orang yang terdiri atas 23 orang perempuan dan 78 orang laki-laki. Hafshah binti Umar memiliki 20 orang murid, 3 di antaranya perempuan dan 17 orang sisanya laki-laki. Hujaimiah al Washabiyyah memiliki 22 orang murid yang semuanya laki-laki. Ramlaha binti Abi Sufyan memiliki 21 orang murid, 3 perempuan dan 18 murid laki-laki. Fatimah binti Qais mempunyai 11 orang murid laki-laki. (al Habasy, Al Mar’ah Baina al Syari’ah wa al Hayah, hlm.16, dari Makalah “Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah”, Husein Muhammad, 2017).

Dua imam besar yang ritus keagamaannya hari ini banyak diikuti pun rupanya berguru pada perempuan. Imam al Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal rupanya berguru pada cicit Nabi Muhammad Saw, Sayyidah Nafisah (wafat 208 H). Sayyidah Nafisah adalah seorang perempuan yang cerdas dan sebagai sumber pengetahuan keislaman, pemberani dan dikenal sebagai yang tekun menjalani ritual dan asketis. Sebagian orang menyebutnya Waliyullah yang memiliki sejumlah keramat.

Sufi terbesar sepanjang zaman, Ibn Arabi, rupanya juga memiliki guru perempuan. Sekurang-kurangnya ada dua orang perempuan yang menjadi guru Ibn Arabi. Pertama Fakhr al Nisa, seorang sufi terkemuka yang menjadi idola para ulama laki-laki dan perempuan pada masanya. Ibn Arabi belajar kitab hadits Sunan al Tirmidziy kepadanya.

Kedua, Lady Nizham. “Da adalah matahari di antara dua ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya jelita, tutur bahasanya lembut, otaknya sangat cemerlang, kata-katanya bagai untaian kalung yang gemerlap cahaya penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun. Jika ia bicara semua yang ada menjadi bisu.” Demikian komentar Ibn Arabi terhadap guru yang dikaguminya itu.

Sejarawan Damaskus yang terkemuka bergelar “Hafidz al Ummah”, Ibnu Asakir, memiliki banyak guru yang delapan puluh orang di antaranya adalah perempuan. Kemudian ahli hadis terkemuka, Ibn al Jauzi dan Ibn Qudamah al Hanbali merupakan murid dari seorang perempuan cendekia, Syuhdah bin al Abri. Al Hafidz Ibn Mundzir berguru kepada Ummu Habibah al Ashbhani. Bahkan Ibn Hazm, seorang tokoh cemerlang dalam keilmuan Islam dan mujtahid besar yang berasal dari Andalusia, pengetahuannya diperoleh dari kaum perempuan.

Perdebatan hari ini tentang pro dan kontra mahasiswi bercadar atau yang sejenisnya telah dengan benderang menunjukkan bahwa kita semua belum memanusiakan perempuan. Jika esok lusa perdebatan kita masih berpusing di sekitar itu, bukan tentang ide-ide dan pemikiran dari kaum perempuan, maka kemunduran peradaban itu telah benar-benar nyata di depan mata kita.

Atih Ardiansyah
Atih Ardiansyah
Direktur Eksekutif Rafe'i Ali Institute (RAI), dosen FISIP UNMA Banten
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.