Sebagai pengurus RT di salah satu desa di Klaten, saya begitu antusias mengikuti rapat formal maupun informal untuk mengimplementasikan program bantuan dana desa sebesar 10 juta/ RT. Infonya, program tersebut dimaksudkan untuk pencapaian ketahanan pangan dan hewani. Menunggu pencairan dana atas proposal yang sudah diajukan, saya mulai mencari informasi mengenai anggaran, tujuan, dan manfaat program tersebut.
Sejak pandemi, pemangkasan dana desa cukup signifikan untuk dialihkan ke Bantuan Langsung Tunai sebesar 40% dari total anggaran. Kemudian 8% untuk mendukung kegiatan penanganan Covid-19, 32% untuk program prioritas hasil Musyawarah Desa, dan 20% untuk ketahanan pangan dan hewani. Fokus kebijakan dana desa untuk peningkatan ekonomi dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).
Pagu Dana Desa tahun 2022 sebesar 68 triliun rupiah akan dialokasikan kepada 74.961 desa di 434 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Secara keseluruhan, Dana Desa sudah memotong APBN sebesar 400,1 triliun rupiah sejak tahun 2015. Namun, besaran anggaran dana desa lebih terfokus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan desa, irigasi, jembatan, pasar desa, drainase, sumur, dan lain sebagainya.
Belum ada tujuan terstruktur penggunaan dana desa untuk ketahanan pangan desa dan peningkatan kualitas SDM. Beberapa desa masih terlihat sama seperti sebelum adanya kebijakan dana desa. Bahkan ada indikasi distribusi anggaran dana desa dijadikan lahan basah para koruptor. Berdasarkan data ICW, sejak 2015 hingga 2020, terdapat 676 terdakwa kasus korupsi yang dilakukan perangkat desa dengan perkiraan kerugian mencapai total 111 miliar rupiah.
Dalam Pasal 11 PP No 60/2014, formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten cukup transparan, yakni dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel. Namun, pada PP No 22/2015 pasal 11, 90 persen anggaran dialokasikan merata ke semua desa. Sisanya, dibagikan menggunakan formula berdasarkan variabel jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
Pemerintah masih berharap banyak kebijakan dana desa mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat dan negara. Evaluasi sering dilakukan untuk perbaikan formulasi perhitungan klaster alokasi dasar, percepatan proses penyaluran langsung dari RKUN ke RKDes, dan penguatan fokus dan prioritas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat pandemi Covid-19. Semuanya merupakan bagian dari peningkatan kualitas taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.
Budaya Masyarakat Desa
Desa bukanlah kumpulan masyarakat yang “berpendidikan”. Ada budaya erat gotong royong di lingkup tetangga tanpa ikut pusing memikirkan anggaran dan program pemerintah pusat maupun daerah. Mereka diberi bantuan pemerintah bersyukur, tidak pun sudah biasa. Masayarakat desa masih kurang kritis terkait program yang melibatkan hajat hidupnya.
Proses pemilihan kepala desa (kades) juga atas dasar pertimbangan kemasyarakatan (tokoh terpandang). Tidak ada debat terbuka mengenai program ketika akan dilakukan pemilu. Apalagi politik uang di desa sudah dianggap keniscayaan menjelang pencoblosan. Demokrasi yang usang masih membelenggu paradigma masyarakat desa untuk tumbuh secara moral dan pemikiran.
Dampaknya roduk yang dihasilkan atas pemilihan kepala desa tidak seberkualitas pemilihan bupati, gubernur, atau bahkan presiden. Kades dipilih bukan berlandaskan kapabilitas dan integritas sebagai seorang pemimpin. Ketika dana desa disalurkan, banyak aparatur desa yang kesulitan memanajemen anggaran hingga tersendatknya pembangunan infrastruktur dan SDM unggul. Bahkan beberapa di antaranya memanfaatkan untuk menumpuk kekayaan pribadi (korupsi).
Sistem demokrasi yang berbeda di tingkat desa dan di atasnya menjadikan permasalahan tersendatnya pembanguan desa. Berbeda dengan kelurahan yang status pemimpin (lurah) dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan ditunjuk langsung oleh bupati/ walikota, kepala desa merupakan tokoh non-ASN yang dipilih melalui pemilu. Tidak ada jaminan kualitas manajemen kepemimpinan dan anggaran.
Masyarakat pada akhirnya yang dirugikan sebab macetnya pencairan dana desa, ketidakefektifan pembangunan infrastruktur, dan kurang akuratnya pemerataan bantuan pemerintah. Fenomena seperti ini seharusnya dijadikan pertimbangan pemerintah menentukan kebijakan yang menguras kantong APBN. Mempercayakan desa mengelola anggaran secara mandiri, malah dijadikan lahan korupsi.
Namun demikian, program dana desa sedikit-banyak mampu menekan angka kemiskinan di Indonesia. Evaluasi selanjutnya tinggal bagaimana pemerintah mampu membimbing kades dengan memberikan sosialisasi untuk lebih bijak mengatur dana desa agar tepat sasaran. Isu yang beredar dari diskusi masyarakat, dana desa akan tiada seiring bergantinya kepemerintahan. Sehingga bantuan ketahanan pangan dan hewani yang dialokasikan tiap RT bisa dijadikan usaha mandiri warga jika nanti tidak ada lagi dana desa.
Namun ada yang lebih penting dari hanya pencapaian ketahanan pangan dan pembangunan infrastruktur, yakni peningkatan SDM. Pemerintah harus gencar memberikan arahan tentang pentingnya ruang literasi, pendidikan informal, dan kegiatan lain yang bisa dijadikan modal untuk menghadapi ancaman dunia digital. Menjadikan masyarakat yang melek internet, bijak memilah informasi, dan kreaktif menyusun ide untuk pembangunan desa di masa mendatang.