Indonesia adalah negara yang sedang berkembang dan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam yang beragam dan plural. Ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang besar dengan beragam suku, ras, etnis, dan tradisi yang berbeda, serta kaya akan nilai-nilai toleransi.
Meskipun bangsa Indonesia menghadapi banyak masalah pada saat ini, seperti isu politik dan sosial keagamaan, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam mendewasakan kehidupan berbangsa kita. Timbulnya radikalisme di tengah masyarakat menambah sedikit lagi tantangan bagi negara dalam menciptakan masyarakat madani (berkeadaban).
Munculnya gerakan radikal yang mengarah pada ekstremisme ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran agama apapun, tidak terkecuali Islam. Pada dasarnya, Islam telah mengajarkan pentingnya toleransi dalam beragama, tanpa melihat perbedaan agama dan warna kulit pemeluknya. Al-Qur’an menyebutkan, “Tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Al-Imron: 107).
Terjadinya gerakan radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme, tidak hanya terjadi pada kalangan umat Islam sendiri. Radikalisme agama bisa terjadi dalam setiap agama, karena sensitivitas yang tinggi terhadap agama dapat dipicu oleh provokasi dan intimidasi yang bermacam-macam.
Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia banyak disebabkan karena sikap radikal dan pemahaman agama mereka yang dangkal. Belakangan kita tahu ada seorang anak remaja berusia 19 tahun di Batu, Jawa Timur ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 Anti-Teror (Densus 88) karena akan melakukan aksi “bom bunuh diri” (31/07/2024).
Sebagaimana dilansir Tempo.co (05/08/2024) dalam konferensi pers, Brigjen Aswin Siregar menjelaskan, pelaku terpapar paham radikal melalui platform media sosial. Lebih lanjut, pihak kepolisian mengungkapkan bahwa pelaku “termotivasi melakukan bom bunuh diri, semuanya hanya dalam kurun waktu kurang lebih 6-7 bulan saja”.
Kasus ini cukup menarik perhatian, sebab tindakan teror tersebut telah mengincar anak yang masih remaja. Dalam tulisan ini, penulis akan mengkajinya dalam sudut pandang Martin Heidegger untuk memahami konteks radikalisme agama di Indonesia.
Pandangan Heidegger
Martin Heidegger atau biasa dikenal Heidegger, adalah seorang filsuf asal Jerman yang lahir pada tanggal 26 September 1889. Dia mulai belajar tentang teologi Katolik sebelum pindah ke ilmu filsafat di Universitas Freiburg, di bawah bimbingan Edmund Husserl. Karya utamanya berjudul Being and Time (1927), membuatnya menjadi seorang filsuf terkemuka pada abad ke-20.
Konsep Dasein Heideger yang berarti “berada di dunia” penting untuk ditanamkan dalam setiap agama di Indonesia. Tujuannya adalah membentuk dan membina subjek beragama yang mengambil bagian dalam dialog inter-religius yang dinamis dalam mendukung moderasi beragama di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, radikalisme dapat dipahami sebagai usaha untuk mengganti kestabilan nilai-nilai persatuan. Dengan kata lain, radikalisme adalah keyakinan yang ingin adanya perubahan terhadap keadaan saat ini dalam suatu negara (Faozan, 2022).
Moderasi agama sebenarnya pernah direncanakan oleh pemerintah Joko Widodo pada tahun 2019 sebagai respons terhadap gerakan radikalisme, intoleransi, dan politik identitas. Fokus utama dalam usaha tersebut adalah tentang pentingnya sikap inklusif dan harmonisasi dalam menghadapi realitas keberagaman masyarakat Indonesia.
Konsep Heidegger berkaitan dengan ke-beradaan manusia (dasein) di dunia. Dunia menurut Heidegger merupakan dimensi dimana manusia keluar dari fitrahnya dan mengambil tempat baginya untuk dapat hidup bersama sebagai wujud eksistensinya selama di dunia. Manusia harus sadar atas realitas kehidupannya yang beragam dan tidak akan pernah lepas darinya. Dalam hal ini, manusia dituntut untuk mampu menginternalisasikan nilai-nilai keagamaannya untuk dapat menemukan tujuan hidup yang “autentik” tanpa saling membedakan.
Heidegger juga menjelaskan, dasein sebagai keberadaan manusia yang selalu berada dalam konteks keterlemparan (geworfenheit). Dalam perkembangan masyarakat industri, individu mungkin merasa terlempar ke situasi yang tidak adil atau tertindas, sehingga mereka mencari makna dan tujuan hidup melalui ideologi radikal.
Sejalan dengan itu, dasein membantu cara pandang umat muslim dalam menjawab tantangan modernisasi dan globalisasi. Caranya, dengan menjadikan ajaran Islam sebagai bagian integral dari solusi terhadap masalah-masalah global seperti keadilan sosial, perdamaian, dan pembangunan berkelanjutan tanpa terjebak pada romantisisme sejarah Islam.
Sumbangan konsep dasein Heidegger bisa menjadi alternatif pilihan terhadap indoktrinasi paham radikal. Dassein menawarkan manusia sadar akan realitas hidupnya sebagai masyarakat Indonesia yang majemuk. Konsep ini tentu tidak kontradiktif dengan kandungan pokok ajaran Islam seperti terdapat pada QS. Al-Hujurat ayat 13 yang mengandung pesan baik bagi manusia untuk saling mengenal.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”.
Mitigasi Radikalisme Pada Anak Sejak Dini
Apa yang bisa dilakukan kita sebagai warga negara untuk mencegah radikalisme pada anak (remaja) kembali terjadi adalah meningkatkan kewaspadaan terhadap informasi di media sosial dan kurikulum pembelajaran. Semua kini bergantung pada diri kita, karena peran hukum formal negara bukan satu-satunya upaya preventif dalam menangani radikalisme.
Radikalisme tidak bisa dihentikan dengan sebuah peraturan perundang-undangan. Memang aturan itu penting, tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana usaha kita dalam menangani pemahaman radikal sebagai sebuah paham yang harus dilawan dengan pemahaman tandingannya.
Salah satunya adalah melalui kampanye digital untuk menyebarkan pesan-pesan toleransi dan melawan narasi ekstremis. Misalnya, membuat video pendek yang menjelaskan bahaya radikalisme dan ekstremisme, serta mempromosikan nilai toleransi dan perdamaian. Menulis dan publikasi artikel tentang radikalisme, faktor penyebabnya, dan solusi untuk mengatasinya di blog maupun di situs berita.
Cara berikutnya, adalah terus menjaga akal anak dan orang di sekitar supaya tidak terpapar paham radikalisme lewat kurikulum pendidikan. Paham radikal di kalangan pelajar mudah diterima dan gampang untuk dilakukan brain washing. Hal itu tentu akan dapat mengancam integrasi nasional dan akal sehat anak. Solusinya hanya bisa dilakukan dengan cara memberikan pelatihan pada guru untuk mengenali tanda-tanda radikalisasi dan menerapkan metode pengajaran yang mendorong pada pemikiran kritis dan mempromosikan dialog dan memiliki sikap inklusif.
Akhirnya, dalam perspektif Heidegger, umat muslim dituntut untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai Islam dan melakukan tindakannya secara lebih realistis. Melalui keberagamaan kita, tanpa sadar telah mengesampingkan egoisme parsial dengan anggapan, puncak ibadah tertinggi adalah dengan melakukan “aksi bunuh diri” (mati syahid).