Sabtu, April 27, 2024

Membaca Kembali Surat-Surat Para Peziarah Pengembara

Letak Shantiniketan sekitar 200 kilometer dari Kalkuta. Perjalanan dengan mobil yang saya sewa lebih kurang tiga jam. Di Kalkuta sebelumnya saya mengunjungi Jorosanko, rumah keluarga besar Rabindranath Tagore dan tempat Tagore di masa kecil yang kini menjadi museum. Dari sana saya ke luar kota, menuju Shantiniketan. Suasana pedesaan masih terasa tatkala memasuki kawasan Shantiniketan – lembaga pendidikan yang didirikan Rabindranath Tagore itu.

Selain universitas, pengunjung yang singgah di Shantiniketan dapat mengunjungi mansion atau rumah-rumah yang pernah ditinggali Rabindranath Tagore, di areal yang disebut Uttarayana, Tagore membangun lima rumah peristirahatan bersuasana meditatif di situ dengan taman yang luas. Ia mendesain sendiri bangunan tersebut. Semuanya bergaya campuran arsitektur kolonial dan India. Rumah-rumah berwarna putih dengan veranda-veranda lapang itu jaraknya berdekatan. Dan memiliki fungsi sendiri-sendiri.

Mansion terbesar diberi nama Udayana Bari (Udayana House). Menurut Samit Das – penulis buku: Architecture of Shantiniketan, Tagore’s Concept of Space, di sinilah Tagore dahulu sering mempegelarkan drama-drama dan komposisi musik yang dikarangnya untuk tamu-tamu khusus. Sebuah mobil kuno dengan dua lampu besar di depan milik Tagore, berplat WBA 8689, saya lihat tetap diletakkan di garasi samping rumah ini.

Mansion terbesar kedua bernama Konark. Memasuki rumah ini ada plakat yang menerangkan bahwa di sinilah sering Tagore membacakan sajak-sajaknya. Dan rumah ketiga disebut Shyamali. Di Shyamali inilah, Tagore pernah menjamu Gandhi. Gandhi menginap di rumah ini dan melakukan dialog-dialog dengan Tagore. Rumah   keempat   bernama Pusnascha. Dan rumah kelima yang memiliki banyak jendela disebut Udichi.

Sebelum memasuki kawasan rumah-rumah Tagore, di areal Uttarayana itu kita bisa lebih dahulu mengunjungi sebuah museum bernama Rabindra Bhavan Museum. Didesain oleh Rathindranath, putra Tagore, museum ini menyajikan manuskrip-manuskrip yang dimiliki Tagore, foto-foto Tagore, cindera-cindera mata dari hasil perjalanan Tagore keliling dunia, sampai surat-surat tulisan tangan Tagore sendiri, termasuk replika dari medali Nobel Sastra yang diperolehnya di tahun 1913. Mengelilingi museum ini dari sudut ke sudut kita seperti dibawa perjalanan dan pengembaraan rohani Tagore.

Karena waktu berkunjung yang sempit, saya bergegas melihat dari satu barang pameran ke barang lain. Tapi di sebuah sudut langkah, saya terhenti cukup lama. Saya terpekur memandang sebuah foto hitam putih yang dicantelkan di tembok. Foto itu, foto Rabindranath Tagore bersama Mangkunegoro VII. Foto itu diambil tatkala   Tagore berkunjung di Surakarta tahun 1927. Tiba-tiba ada rasa haru dan bangga menyeruak dalam diri saya.

BWCF 2018 mengambil tema Traveling & Diary: Membaca Ulang Kitab-Kitab Pelawat Asing ke Nusantara. Rabindranath Tagore hanyalah sekian dari ratusan atau mungkin ribuan musafir yang dalam sejarah pernah singgah ke nusantara dan menuliskan kesannya tentang apa yang memikat mata dan hati mereka dalam sebuah buku harian, surat-surat bahkan catatan-catatan ilmiah.

Ratusan tahun sebelum Tagore sudah banyak para pengembara Buddhis, peziarah-peziarah Hindu, pengelana Muslim sampai petualang-petualang Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda yang melintasi kota-kota Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon sampai Papua dan menorehkan pengamatannya. Ada yang ditulis secara subyektif, impresif, ada yang berdasar data obyektif dan cukup komprehensif.

Membaca kembali beberapa catatan harian dan surat-surat itu tapi tetap kita bisa menemukan sesuatu cara pandang yang lain dan tak terduga tentang diri kita sendiri. Kerap kita menemukan dari diary-diary itu sesuatu informasi dari arah yang tak disangka-sangka bahkan untuk ukuran masa kini.

Sejarah kita belum sepenuhnya terkuak. Masih banyak celah-celah, wilayah-wilayah dan potongan-potongan “terra incognita”. Catatan-catatan para pelawat asing  itu  tak  pernah  usang  karena  mampu melentikkan imajinasi tentang kemungkinan-kemungkinan saling silang yang terjadi di masa lalu dan pengaruhnya yang menjadikan kita seperti sekarang ini.

Dari kumpulan surat-surat I Tsing (Yi Jing) di abad 7 berjudul: Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan), misalnya, kita diberi kesempatan membayangkan bagaimana situasi Shili Foshi (diperkirakan Jambi) di tahun 671 tatkala I Tsing di usia 37 tahun singgah untuk belajar Sabdavidya (tata bahasa Sansekerta) selama 6 bulan, sebelum berangkat ke Nalanda, India.

Dan bagaimana setelah belajar di Nalanda selama 10 tahun, ia membawa pulang teks-teks Tripitaka sejumlah 500.000 seloka dari India dan kembali berdiam di Shili Foshi, menerjemahkan dan mengirimkannya ke China (Maka dari itu bukunya diberi judul Kiriman catatan dari Laut Selatan. Laut Selatan dalam hal ini menunjuk Kepulauan Melayu).

Dari surat I Tsing kota Foshi dinformasikan berbenteng dengan ribuan biksu Buddhis di dalamnya. Para biksu ini mempelajari semua mata pelajaran, persis seperti yang disaksikan I Tsing di kerajaan tengah Madhyadesa, India atau Nalanda. Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda. Dari catatan I Tsing ini paling tidak kita bisa membayangkan bahwa di kota Foshi pernah terdapat sebuah pusat studi kesarjanaan Buddhis yang memiliki relasi internasional dengan pusat studi Buddhis di Nalanda, India. Kesaksian I Tsing memberikan kita pemahaman bahwa di abad ke-7 itu sebuah kota kita di Sumatra berperan aktif dalam globalisme studi Buddhisme di Asia.

Yang juga menarik dari keterangan I Tsing adalah mengenai transportasi jalur laut yang ia gunakan. Dalam catatannya, tidak pernah disebut, baik dalam keberangkatan maupun kepulangannya dari India, ia melakukan perjalanan dengan kapal-kapal China. Tatkala pada tahun 671, ia berangkat dari Guangdong ke Shili Foshi. Ia menyebut, bahwa dirinya menumpang kapal Persia. Dan dari Shili Foshi ke India, ia menggunakan kapal yang dikirim penguasa Shili Foshi.

Sejarawan O.W Wolters, mengatakan   di zaman Tang dan Song – kurang lebih 200 tahun sebelum I Tsing, perdagangan laut yang teratur antara  Persia (Po-ssu), Arab (Ta-Shih) dan China telah terjadi. Ada jalur laut tua yang menghubungkan perdagangan Persia ke China melewati Selat Malaka.   Barang-barang dari Asia Barat dibawa oleh kapal-kapal Persia menuju Cina. Menurut O.W Wolters, pada abad 5 dan 6, China lebih banyak menarik pelayaran asing ketimbang mengirim kapal-kapal sendiri. Para pelaut  Muslim yang mendirikan pemukiman-pemukiman di pelabuhan Guangdong itulah yang merupakan  cikal bakal komunitas Muslim di Cina yang kemudian tumbuh membesar di zaman Yuan (Mongol) dan Ming.

Kita bisa membayangkan jalur perdagangan laut ratusan tahun, Persia-Guuangdong, itulah yang kemudian juga digunakan oleh kasim muslim Laksamana Cheng Ho, di zaman Ming memimpin ratusan kapal untuk melakukan muhibah ke Asia Tenggara. Disertasi Prof. Dr. Tan Ta Sen memberikan kita gambaran bahwa Cheng Ho lah yang kemungkinan besar mengislamkan Malaka, yang didirikan oleh  Paresmawara,  pelarian  Sriwijaya yang diburu Majapahit. Dan menumbuhkan Malaka menjadi   sentral perdagangan yang strategis. Dari catatan harian  Ma Huan, seorang muslim asal Zhejiang yang fasih berbahasa Persia dan Arab dan direkrtut Cheng Ho untuk menjadi juru tulis selama perjalananya, kita mendapat laporan pandangan mata mengenai Malaka di awal kedatangan Cheng Ho.

Sementara, membaca catatan harian Tomi Pires: Suma Oriental kita bisa mendapat gambaran mengenai situasi Malaka, setahun setelah kota itu pada 1511 ditaklukan Portugis, dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Tomi Pires tinggal di Malaka dan menulis catatannya antara tahun1512-1515.

Dari Malaka ia mengunjungi Sumatera, Jawa, Banda, Seram sampai Ambon dan Maluku. Dari laporan pandangan matanya yang menyusuri kota-kota pesisir Jawa, kita juga mendapatkan informasi  bahwa setelah kegagalan Pati Unus menyerang Malaka seluruh industri perkapalan Jawa yang tadinya unggul, merosot jauh.

Akan halnya membaca catatan harian Antonio Pigafetta (The Voyage of Magellan – The Journal of Antonio Pigafetta) yang menyertai perjalanan ekspedisi kapal Spanyol yang dipimpin Magellan, kita akan mendapat catatan mengenai   Tidore dan Maluku. Beberapa waktu lalu bersama para kurator BWCF, saya mengunjungi Museum sejarah Malaka, Malaysia. Adalah menarik di Museum Sejarah Malaka, ada diorama yang mendeskripsikan sesungguhnya terdapat seorang pelaut asli Melayu yang sangat membantu Magellan menunjukkan arah bagi perjalanan kapalnya.

Pelaut itu berjuluk Panglima Awang. Magellan mendapatkan Panglima Awal saat remaja sebagai budak tatkala Malaka runtuh. Ia membelinya dan membawanya ke Spanyol. Panglima Awang inilah yang menurut diorama itu sangat  penting  bagi  navigasi kapal Magellan saat mengarungi kepulauan nusantara. Dalam catatan harian Pigafetta, tanggal 28 Maret 1521, disebut ada seorang awak bernama Henrique of Mallaca. Henrique of Mallaca inilah yang diperkirakan pelaut asli Melayu tersebut.

Sementara jika kita  membaca catatan harian Ibnu Batuta, seorang ahli geografi dari Afrika Utara, kita bisa mendapat gambaran bahwa jauh sebelum kebangkitan dan keruntuhan Malaka, di pertengahan abad 14, tepatnya pada tahun 1345 dan akhir tahun 1346, terdapat sebuah kerajaan cukup kuat bernama Samudra Pasai, di Sumatera Utara yang banyak dikunjungi ulama-ulama dari Persia.

Catatan harian bukan hanya surat-surat, buku atau manuskrip-manuskrip. Tapi juga bisa berupa sktesa-sketsa.Tatkala pada tahun 1906 secara brutal tentara Belanda menghancurkan Kerajaan Badung dan Tabanan. Seorang penulis, pelukis   pejalan bernama W.O.J Nieuwenkamp, misalnya, membuat sketsa-sketsa reruntuhan kota Denpasar. Sketsa itu ditampilkan dalam bukunya Bali and Lombok Eyewitness Travel.

Selalu terus ditemukan catatan-catatan baru tentang sejarah kota-kota kita. Kolega saya, Romo Adolph Heuken SJ, yang aktif meneliti sejarah Batavia, misalnya, menemukan drawing-drawing dan sketsa-sketsa langka bangunan-bangunan dan suasana Kota Batavia di tahun 1744, yang dilukis seorang tentara berkebangsaan Jerman, bernama Johann Wolffgang Heydt. Drawing itu penting karena dibuat hanya empat tahun sesudah di Batavia terjadi peristiwa mengerikan yaitu pembantaian habis-habisan warga Cina.

Kita tahu pada tahun 1740 terjadi pembunuhan masal warga Tionghoa oleh kolonial Belanda yang angkanya diperkirakan sampai  10 ribu jiwa. Dari disertasi Johannes Thedorus Vermeuten: Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 kita mendapat informasi penyebabnya mula-mula adalah peraturan Belanda yang memutuskan untuk memulangkan semua Tionghoa di Batavia yang tidak memiliki surat izin tinggal meski mereka telah menetap lama. Keputusan ini mendapat perlawanan.

Melalui drawing-drawing yang dibuat oleh Johann Wolffgang Heydt, kita jadi tahu suasana bangunan kolonial Belanda saat itu. Buku Romo Heuken berjudul: Paintings and Description of Batavia in Heydt’s Book of 1744 tersebut akan dilaunching  di BWCF.

***

Menatap  lama  foto Mangkunegoro VII di Shantiniketan,  saya  tercenung. Dari beberapa  tulisan  yang dibuat oleh para penulis biografinya dapat dibaca Tagore begitu bergairah  saat  mengunjungi Mangkunegaran. Tatkala  berkunjung ke Indonesia, Tagore tidak diperkenankan bicara soal politik. Namun mata batinnya menangkap di mana-mana; di Bali, Solo dan Jogja, ia merasa ada sesuatu getar halus yang tidak kelihatan. Suatu getar bernuansa kebudayaan dan spiritualitas India tapi terasa lebih purba.

Surat-surat Tagore di Jawa diberi judul: Java-Jatir Patra (Letter From Traveler to Java). Ditulis pertengahan Juli dan awal Oktober 1927. Selama 2 minggu, tahun itu ia berada di Bali dan 3 minggu di Jawa. Bagi Tagore perjalanannya ke Bali dan Jawa adalah perjalanan ziarah. Tagore meyakini terdapat suatu kesinambungan artistik antara tradisi dan agama di India dengan Jawa dan Bali.  Menyaksikan  upacara-upacara dan  tari-tarian di Bali, Tagore mengungkapkan bahwa dirinya merasakan semua itu adalah suatu  kebudayaan India yang telah hilang lama.

Khrisna   Duta   dan   Andrew   Robinson   penulis  buku  Tagore:  The Myriad-Minded Man menceritakan begitu Tagore  sampai di Bali, ia diantar mobil bersama seorang pendamping tapi tanpa penerjemah. Keduanya saling diam, karena  tidak mampu memahami bahasa masing-masing. Namun tatkala melewati pinggir lautan, orang Bali yang mendampingi Tagore secara spontan, seraya menunjuk ke arah laut mengatakan kepada Tagore; Samudera! Tagore terhenyak dan kaget. Karena samudera adalah kata Sansekerta untuk laut.

Tagore  terkesima  mengetahui  bahwa  di  Jawa  bukunya;  Gitanjali  sudah  dikenal melalui  terjemahan  penyair,  Noto  Soeroto, yang pernah tinggal di Belanda dan bertemu dengannya di Belanda. Tatkala Tagore menonton cuplikan tari Ramayana dan Mahabrata di Solo dan  Yogya, ia mengalami suatu hal menggetarkan.

Saat mengunjungi Prambanan ia kaget mendapatkan relief Ramayana terpahat lengkap di Prambanan, sesuatu yang tak ada dalam candi-candi di India. Tagore menulis bahwa Siwa sudah menjadi guru besar di Jawa. Surat-surat Tagore pada dasarnya mengetengahkan kepada kita bahwa dirinya di Jawa dan Bali melakukan pencarian dan  penemuan kembali  kebudayaan dan spiritualitas India yang hilang.

Akhirnya menutup pidato pengantar Borobudur Writer and Cultural Festival 2018, izinkan saya membacakan dua bait terakhir puisi Tagore berjudul: Borobudur yang ditulisnya di Batavia, 23 September 1927 sebagaimana diterjemahkan buku: Indonesia di Mata India (Kala Tagore Melawat ke Nusantara) yang juga akan dilaunching sore ini:

Manusia di zaman ini tak punya kedamaian Hatinya gersang – disebabkan kesombongan Dia menuntut dengan heboh, meminta kecepatan, terus menerus berlari namun tak pernah meraih sebentuk arti Dan pada akhirnya, Sekarang saatnya kita mesti datang mencari demi keheningan yang sakral

Yang tegak senantiasa di tengah abad-abad bergerak bising Sampai dia merasa yakin bahwa di dalam cinta yang tak terukur Bersemayam arti penghabisan dari kemerdekaan Yang doanya adalah:

“Biarkan Buddha menjadi pelindungku”

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.