Postulat penting diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), tidak lain adanya konsensus untuk mengatur Hak Asasi Manusia (HAM) secara komprehensif. Karenanya, kemudian bab mengenai hak asasi dirumuskan secara khusus dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Spirit pengaturan itu mengandung makna, bahwa penguasa dengan dalih apapun tidak boleh semena-mena memperlakukan rakyat dan entitas tertentu. Sayangnya, dalil suci penghormatan atas hak asasi nampak mulai tercerabut dengan sikap di lingkup pusaran kekuasaan, yang cenderung curiga terhadap gerak-gerik massa yang rajin memanfaatkan hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Padahal, pemegang kekuasaan itu lahir melalui proses demokrasi yang meniscayakan adanya jaminan untuk berpendapat dan rela dikritik. Tampilan penguasa demikian, kiranya dapat disebut sebagai gejala kekuasaan demoriter, yaitu bentuk kekuasaan yang diraih secara demokratis namun dijalankan dengan cara-cara otoriter.
Gejala demoriter perlahan-lahan mulai menampakkan wajahnya hampir di semua lini kekuasaan. Di level eksekutif, kiranya terlihat dengan adanya sejumlah kebijakan yang diambil dengan cara politik demokrasi, bukan policy demokratisasi. Bagi Sendjaya (2010), politik demokrasi lebih menonjolkan sisi formalitas dalam pengambilan kebijakan namun terselip kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan anti-kritik.
Sementara, policy demokratisasi merupakan mekanisme pengambilan kebijakkan yang diambil atas dasar sensibilitas dan kebutuhan publik. Lahirnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang kini telah menjadi undang-undang, dapat menjadi salah satu bukti demoriter mulai dipraktekkan. Eksekutif nantinya, berpotensi dengan mudah memberikan stempel anti-Pancasila dan tuduhan makar bagi individu dan entitas tertentu yang bersikap oposan terhadapnya.
Pada level legislatif, visualisasi demoriter terlihat dari hasil revisi UU tentang MPR, DPR, DPRD, DPD dengan memasukan Pasal 122 huruf (K). Inti pasal tersebut, memberikan kewenangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk mengambil langkah hukum atau lainnya terhadap orang/kelompok yang merendahkan anggota DPR. Keberadaan pasal tersebut, berpotensi mengekang kebebasan berpendapat seseorang yang mengkritik DPR. Model regulasi tersebut, kembali meneguhkan adanya doktrin anti-kritik yang tidak dikenal dalam alam demokrasi.
Dianutnya demokrasi, sejatinya meniscayakan bagi negara dan aparatusnya dituntut selalu siap mengakomodir tuntutan transparansi dan partisipasi publik yang dahsyat dan terkadang begitu liar. Itu semua merupakan ekses natural dalam penyelenggaraan demokrasi, sehingga mengakomodirnya menjadi keharusan ketimbang memberangusnya dengan tuduhan fitnah dan penyebar hoaks.
Kehadiran kritikus dan oposan dalam demokrasi, harusnya dijadikan modal sosial untuk bersama membangun visi-misi kebangsaan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Karena itu, kemitraan lah yang seharusnya dibangun, bukan malah permusuhan.
Gejala demoriter, juga nampak pada lapisan aparatus penegak hukum. Hal ini misalnya dapat dilihat fenomena penyingkap kebenaran yang malah dituduh sebagai penyebar fitnah atau hoaks, sehingga penyelidikan dilakukan ketimbang menyelidiki dibalik fakta yang diungkap sang penyingkap.
Hal itu menandakan, kritik tidak lagi dimaknai sebagai jalan untuk mengoreksi kesalahan, melainkan sebagai ancaman akan terungkapnya kebusukan. Hal itu tentu menjadi tabiat anakronis dalam panorama demokrasi, sehingga jika dibiarkan akan menimbulkan fragilitas atau kerapuhan dalam demokrasi.
Demoriter yang merupakan wajah baru dari otoriter, tentu bukan wujud kekuasaan yang baik. Terlebih pada penghujung 80-an, di berbagai belahan dunia satu demi satu rezim otoriter dan para diktatornya harus paksa berakhir kekuasaannya. Sejak saat itu pula, menjadi tanda otoritarianisme tak kuasa merayu masyarakat sipil untuk tidak menagih hak dan kedaulatannya.
Pun demikian, munculnya gejala otoritarianisme dengan wajah baru berbalut demokrasi, sesungguhnya merupakan fase anakronis yang pasti tidak akan berumur panjang. Cepat atau lambat, kekuatan sipil akan dengan mudah melakukan koreksi melalui variasi cara terhadap pelakunya.
Praktek demokrasi di Indonesia memang belum seutuhnya ideal, karena itu membantu mewujudkan idealitas berdemokrasi lebih bijak ketimbang membajaknya. Dalil itu pula yang wajib dijadikan pedoman bagi penguasa dan aparatusnya.
Di lain hal, penguasa dan aparatusnya harus sadar bahwa praktek otoritarianisme, sentralisme, dan monopoli kuasa telah dipaksa batal oleh sejarah sehingga memunculkan ulang akan menjadi langkah muspro. Justru langkah yang harus dilakukan, ialah dengan menjadikan spirit demokrasi sebagai pedoman dan instrumen dalam pengambilan kebijakan sehingga melahirkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Semoga.