Sabtu, April 20, 2024

Membaca Garis Tangan Ilmu Sosial Era 4.0

Basrowi
Basrowi
Dr. Dr. Basrowi, M.Pd. M.E.sy. Pemerhati Kebijakan Publik, Alumni S3 Ilmu Sosial Unair Surabaya, alumni S3 MSDM UPI YAI Jakarta, dan alumi PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Perdebatan dalam WhatsApp Group (WAG) Asosiasi Dosen Ilmu-Ilmu Sosial tentang Quo Vadis dan nasib ilmu-ilmu sosial di era Mendikbud Nadiem Makarim yang menekankan roadmap pendidikan era revolusi industri 4.0, yang ruh intinya ada empat pilar yaitu Bahasa Inggris, coding, statistika (big data), dan psikologi, membuat para anggota group merasa psimis akan kesempatan, dukungan dan kehadiran negara dalam pengembangan ilmu sosial ke depan.

Betapa tidak, setidaknya ada empat program prioritas yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kemendikbud 2020-2024, yaitu pembelajaran anak yang merdeka, struktur kelembagaan yang kaya fungsi, revolusi mental melalui pendidikan karakter, dan pengembangan teknologi.

Dalam perdebatan WAG tersebut salah satu anggota WAG menanyakan, bagaimana kontribusi ilmu sosial dalam berkiprah membantu mewujudkan 4 pilar tersebut dalam kerangka perkembangan teknologi era 4.0?

Banyak yang menjawab bahwa ilmu sosial harus berkontribusi besar bahkan harus mampu menjadi leader bukan menjadi pengekor, dengan mengibarkan berbagai dalil-dalil yang bisa diikuti dan mampu menyetir perkembangan teknologi. Selama ini, para ilmuwan sosial hanya berperan sebagai user dan pengkritik akan berbagai kelemahan teknologi.

Ilmu sosial yang saat ini telah terdisrupsi oleh teknologi harus mampu bersinergi dan berkolaborasi dengan perkembangan teknologi. Para ahli ilmu sosial tidak boleh mandeg dalam berinovasi, meskipun pekerjaan ilmu sosial sudah banyak sekali yang tergantikan mesin. Banyak sekali pekerja di bidang ilmu ekonomi, komunikasi, sosial, hukum, dan ilmu sosial lainnya yang terkena tsunami PHK. Jaringan komunikasi (Jarkom) Serikat Pekerja Perbankan mencatat, lebih dari 50.000 karyawan bank sudah di PHK karena perkembangan teknologi.

Orkestra berbagai bidang teknologi telah mengubah cara hidup, bekerja, berinteraksi, dan budaya semua manusia. Oh..iya? iya lah. Sebagaimana dikatakan Klaus Schwat sebagai pendiri dan ketua eksekutif The world economic forum (WEF), yang juga sebagai pengarang buku Revolusi Industri Keempat (2016), telah berkeyakinan bahwa, saat ini, revolusi Industri 4.0 sedang berlangsung yang akan kampu mengaburkan batas antara bidang fisik, digital dengan biologis.

Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang telah diprogram melebihi kecepatan dan kecerdasan pembuatnya, termasuk kendaraan otonom tanpa supir dan internet bergabung di dalamnya, tentu akan mengubah kehidupan fisik manusia.

Teori perilaku manusia, teori ekonomi, teori komunikasi, teori pendidikan dan pembelajaran, dan seluruh teori sosial diporak-porandakan oleh perkembangan teknologi. Seolah-olah ilmu sosial kembali pada titik nadir ya? Bisa iya bisa tidak, yang jelas teori-teori ilmu sosial sudah menjejakkan secara kokoh pada bangunan masyarakat yang belum ter-desrupsi perkembangan teknologi 4.0. Namun, ketika ilmu sosial terusik dengan kehadiran perkembangan teknologi yang maha dahsyat, tentu ilmu sosial perlu melakukan repositioning kembali.

Ilmu sosial yang awalnya sudah dalam posisi beyond di antara ilmu-ilmu lainnya, kini kembali terperosok dalam posisi termarginal versus teknologi. Namun, sebenarnya ilmu sosial akan mampu mengambil posisi penting berikutnya. Ilmu sosial harus mampu lagi melakukan negosiasi dan resistensi positif terhadap teknologi. Cara berfikir esensialistik yang selalu dipakai oleh ilmu sosial juga sepertinya menjadi Ambyar (terporak-porandakan) oleh kecanggihan teknologi yang telah mengubah seluruh tatanan masyarakat.

Di bidang pendidikan, selama ini banyak guru yang merasa sangat berhasil dalam melakukan pendidikan, karena selalu berpegang pada kecenderungan parenialisme dan sebagian ke essensialisme, tetapi pada akhirnya mereka akan sangat tergantung pada konsensus dengan teknologi yang berkembang pesat.

Dan semua bidang pekerjaan, baik kedokteran, hukum, pertanian, dan semua bidang lainnya harus berkonsensus dengan teknologi. Semua bidang itu, harus melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas semua langkah yang sudah ditempuh, dengan tunduk dan bernegosiasi dengan perkembangan teknologi kekinian.

Esensialime yang selalu menekankan pada isi pesan, isi kegiatan, isi pekerjaan, harus digantii pada konstruktivisme baru. Dia adalah Anthony Giddens (1991) yang telah merumuskan dengan gamblang bahwa identitas seluruh bidang pekerjaan harus sebagai project yang selalu dinamik berelasi dengan teknologi. Begitu juga pendapat Hall (1989) yang menekankan dinamic relational dalam kasus perkembangan teknologi 4.0 sangat pas untuk diterapkan pada semua bidang.

Lalu bagaimana, Gurr Theory (1970) tentang anti identitas, apakah harus dikonstruksi ulang untuk membaca era revolusi industri 4.0 ini? Jawabnya tentu “Ya” manakala seluruh pekerjaan sudah teridentifikasi secara sendirinya melalui “Cloud Technology” maka seluruhnya tidak ada yang tidak teridentifikasi. Mesin teknologi cloud akan dengan sendirinya men-deteck seluruh realitas sosial-ekonomi-budaya-politik dan semua bidang yang terpapar teknologi.

Begitu juga transformasi masyarakat di era 4.0 menjadi sebuah keniscayaan. Betapa tidak, penemuan teknologi spesifik telah mampu mengubah masyarakat secara fundamental. Proses manufaktur dalam bentuk penciptaan pabrik telah tergulung habis oleh tsunami teknologi. Produksi massal seluruh kebutuhan manusia menjadi suatu hal yang spele.

Seluruh bidang pekerjaan termasuk pekerjaan di bidang ilmu sosial harus disusupi teknologi manakala menghendaki hasil yang signifikan. Termasuk kebijakan pemerintah tidak boleh mengabaikan teknologi karena bila tidak, akan menjadi bulan-bulanan, apalagi BUMN, ketika kebijakan yang ditempuh tidak melibatkan teknologi akan tercabik-cabik dengan kebangkrutan nyata.

Kembali pada Pendapat Klaus Schwab (2016) yang menyatakan bahwa pada era 4.0 kehadiran Internet of Things (IoT), AI, 3d printing technology, big data, robotic, rekayasa genetika, global positioning system, penciptaan material baru (nano) dan sensor technology menjadi garis luruh yang harus diikuti, menabrak seluruh pola dan sendi kehidupan sosial. Pola pikir yang sudah mapan pun harus merapatkan posisinya dan naik ke garis lurus tadi manakala tidak ingin terdisrupsi.

Pergeseran peradaban telah membuat ilmu sosial melakukan reposisi ulang. Ketimpangan yang sedang dihimpitkan stereotifnya oleh ilmu sosial, kini kembali menganga di saat ilmu sosial diobrak-abrik oleh perkembangan teknologi dalam posisi di-”geber gas-pol”.

Mudah-mudahan, seiring dengan deret ukur pertambahan jumlah penduduk bumi, kasus kelaparan, pengungsi, kesehatan, penyakit menular, pendidikan, kerusakan lingkungan hidup, dapat dipecepat proses mengatasinya melalui revolusi industri 4.0. Oleh karena itu, para ahli ilmu sosial tidak punya banyak pilihan kecuali harus sigap menghadapinya dengan penuh keyakinan, tanpa mengabaikan kebenaran, keunggulan, dan kemanusiaan.

Basrowi
Basrowi
Dr. Dr. Basrowi, M.Pd. M.E.sy. Pemerhati Kebijakan Publik, Alumni S3 Ilmu Sosial Unair Surabaya, alumni S3 MSDM UPI YAI Jakarta, dan alumi PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.