Kasus positif Covid-19 sudah mencapai lebih dari 20 ribu. Lima ribuan di antaranya berhasil sembuh dan hampir seribu empat ratusan lainnya meninggal dunia.
Angka itu barangkali menjadi tren penilaian tersendiri karena jumlah penderita yang berhasil sembuh menyusul jumlah penderita yang meninggal dunia, namun, angka-angka ini tidak lagi dianggap penting oleh, misalnya, penjual angkringan, jamu gendong, nasi pecel, nasi goreng tengah malam. Itu karena, mereka mengalami penurunan pendapatan drastis. Mungkin, mereka bebas dari Covid-19, namun bisa saja mati karena kemiskinan. Hal ini, logis ketika kita mau secara terbuka membuka mata, dalam arti, mana yang lebih mematikan dari virus yang bersifat “pandemik” atau kemiskinan yang bersifat “pandemik.”?
Tunggu dulu, tulisan ini tidak akan membahas kemiskinan sebagai latar belakang masalah, namun melihat jerih-payah masyarakat melawan kemiskinan di tengah kedunguan khalayak banyak.
“Sudah jatuh tertimpa tangga,” sudah bertahan melawan minimnya pendapatan di tengah pandemik, tetapi justru di penghujung bulan Ramadhan terjadi gelombang kedunguan di tengah-tengah pandemik.
Pusat-pusat perbelanjaan, khususnya, yang menjual pakaian ramai dikunjungi pengunjung. Hal ini, bisa dilihat dari membludaknya tempat parkiran yang biasanya, dalam beberapa bulan terakhir cenderung sepi.
Dari beberapa keramaian ini, ada beberapa yang paling menyedot perhatian, yakni di Payakumbuh, para pengunjung vis a vis dengan aparat keamanan karena mereka diingatkan untuk tidak membuat keramaian pada salah satu pusat keramaian, meskipun pada akhirnya ada seorang ibu-ibu yang berani membuka blokade dan disebut sebagai provokator perlawanan memberikan klarifikasi (permohonan maaf) setelahnya.
Kasus dalam setting yang hampir serupa juga terjadi di pusat perbelanjaan yang tidak terlalu besar di Kelurahan Banyumanik, Kecamatan Sumurboto, Semarang, bedanya para pengunjung tidak melakukan hal-hal perlawanan justru “berdamai” karena masing-masing diuntungkan.
Pengunjung mendapatkan barang belanjaan kebutuhannya, aparat keamanan mendapatkan jatah uang keamanan dari individu maupun kelompok kekerasan yang mengamankan daerah tersebut.
Lain halnya dengan penjual angkringan, yang tendanya tidak jauh didirikan dari lokasi tersebut, alih-alih sudah membayar uang keamanan, yang katanya kepada pihak kelurahan sekaligus Satpol PP, meskipun jumlah pembeli yang “ngangkring” tidak terlalu banyak, tetapi justru sering diingatkan untuk tidak terlalu mengundang keramaian. Maksudnya begini, sejak kapan term keramaian itu ditentukan dari banyaknya uang keamanan yang masuk bukan dari banyaknya populasi pada suatu tempat atau wilayah? Hal ini, menjadi kedunguan pertama.
Pada kenyataannya, meramaikan pusat-pusat perbelanjaan memang sudah menjadi budaya di negeri ini di setiap penghujung bulan Ramadhan, sebagai aktivitas mempersiapkan apa-apa yang dibutuhkan untuk menyambut “Hari Kemenangan” dengan lebih percaya diri (pd).
Membeli kue kering, camilan, sirup, pernak-pernik, baju baru dan sebagainya. Baju baru, di antara yang lainnya, barangkali menjadi hal yang paling penting untuk disiapkan. Hal ini, karena baju baru yang paling sering dikaitkan dengan “Hari Kemenang,” menang melawan sumber datangnya dosa dan kembali suci, seperti baru.
Barangkali, karena ada kesamaan term “baru” keduanya dicocokologikan sebagai hal yang sama. Cocokologi dalan memaknai term “baru” dengan baju baru sebagai bagian yang paling melekat dengan “Hari Kemenangan” di masa pandemik seperti sekarang ini, yang menjadi kedunguan kedua.
Hal ini, selain karena korelatif dengan maraknya praktik predatoris ekonomi-politik, seperti yang terjadi di Kelurahan Banyumanik, Kecamatan Sumurboto, Semarang, juga rentan sekali meningkatkan penularan Covid-19. Meskipun belum jelas secara ilmiah dijelaskan penyebab terjadinya jumlah peningkatan kasus positif, yang terjadi beberapa hari lalu yang dalam sehari mencapai hampir seribu, tetapi bisa jadi diasumsikan karena mendadak ramainya pusat-pusat perbelanjaan.
Padahal, pada pertengahan penerapan kebijakan terkait Covid-19, banyak masyarakat yang mengeluh secara ekonomi, tetapi buktinya mampu menyisihkan uang untuk membeli satu-dua-tiga pasang baju, yang misalnya, jika dibandingan harga satu baju (110 ribu) sama dengan 10 kilogram beras.
Bagi mereka yang ikut dalam hiruk-pikuk memaknai “Hari Kemenangan” dengan berebut baju baru, mungkin bisa mencurahkan egoistis yang terpendam selama berbulan-bulan lamanya. Namun, setali tiga uang, bukankah itu memperpanjang masa perjuangan melawan kemiskinan, misalnya, yang lazim menimpa penjual angkringan, jamu gendong, nasi pecel, nasi goreng tengah malam karena mengalami penurunan pendapatan drastis?
Dan, jika seperti ini terus entah kapan mata rantai pandemik ini akan berakhir ini di negeri ini, yakin akan berakhir pada minggu pertama atau kedua bulan Juni, seperti yang diramalkan banyak pihak? Menurutku, tidak usah banyak meramal, sudah ada paramater yang konkret, cukup benamkan kedunguan khalayak banyak.