Kamis, April 25, 2024

Memakan “nasionalisme”

Sardjito Ibnuqoyyim
Sardjito Ibnuqoyyim
Penulis Misantropis

Semua manusia di muka bumi ini pasti memiliki makanan kesukaannya. Misalnya gado-gado, orang tertentu mempunyai alasan pribadi mengenai makanan ini. Dari segi kerenyahannya sebagai contoh, bisa dikatakan tergantung dari matangnya setelah digoreng atau memiliki resep rahasia tertentu dalam membuatnya.

Makanan pada umumnya, pastilah enak kalau kita memikirkan yang menjadi kesukaan kita. Begitu juga pada saat kita menonton pertandingan sepak bola. Setiap penggemar sepak bola pasti memiliki tim yang menjadi andalannya, entah itu berasal dari liga inggris atau liga Italia. Begitu pula dengan persoalan drama serial. Mungkin kebanyakan dari kita menyukai drama Korea, atau mungkin drama Barat, bahkan drama India juga termasuk salah satu yang paling mengetop.

Itu semua bergantung pada rasa. Rasalah yang membuat kita menyukai hal tersebut. Dan rasa itulah yang menjadi dominan dalam diri kita. Bukan berarti kita tak memiliki nilai objektif dalam menilai. Melainkan sulit untuk menjadi objektif tanpa seseorang yang menilai. Jadi selain objektif, kita juga membutuhkan subjektif dalam menilai. Dan itu semua tergantung pribadi kita.

Namun, apakah begitu juga dengan nasionalisme?

Nasionalisme bagi sebagian orang atau bahkan kebanyakan dari kita banyak belajar melalui mata pelajaran PKN atau pendidikan kewarganegaraan. Isinya tentang Pancasila, dan banyak lagi yang berbau moral dan sejarah. Apakah hasil dasar pelajaran tersebut itu membuahkan hasil saat ini?

Pertanyaan itu perlu kita pertanyakan kepada diri kita masing-masing. Apakah itu memang menjadi hasil atau ke arah sebaliknya di mana kita malah membencinya? Sebagai orang yang membenci nasionalisme, marilah kita sebut salah seorang profesor yang berfokus pada kajian internasional, Benedict Anderson. Beliau menelisik lebih dalam tentang nasionalisme, dan apakah yang nanti menjadi dampaknya.

Dampak yang dihasilkan nasionalisme salah satunya adalah pengorbanan. Pengorbanan tentunya berkaitan dengan istilah “tumbal”, namun itu terlalu kasar untuk menyebut kata tersebut. Marilah kita melakukan sebuah analogi mengenai hal ini.

Apakah kita pernah menonton sepak bola secara langsung baik di stadium maupun di televisi? Apa perbedaan yang kita rasakan saat menyaksikan pertandingan tersebut? Namun, apa yang berbeda dengan kita pada saat kita yang menjadi pemain?

Semuanya pasti menjawab alasanlah yang menjadikan kita berbeda. Mungkin sebagai penonton kita tak perlu repot-repot bermain, dan kita hanya perlu berteriak dan menyaksikan pertandingan tersebut. Namun, bukan berarti itu hal yang buruk. Yang buruk itu ketika kita tak mendukung tim andalan kita. Semangat mendukung inilah mirip dengan nasionalisme. Kita pada awalnya tak begitu tertarik pada saat kita menonton sepak bola tersebut, namun, pada saat tertentu kita merasa ada sesuatu yang menjelaskan kita pada saat kita menonton mereka yang sedang bermain.

Pengorbanan sudah pasti juga dirasakan baik itu berasal dari penonton maupun pemain. Yang membuat beda adalah yang satunya tak ingin dirugikan jika kalah, dan yang satunya lagi tak ingin dikalah karena alasan “perut”.

Para pemain awal mulanya menyukai sepak bola, dan pasti mengalami juga sebuah problem dilematik ketika menjalani sebuah ujian, yaitu kerja. Karena pada saat itu, kerja bukanlah sekedar hobi, melainkan melebih hobi sendiri. Dan ini menjadi ujian tertentu sejauh mana ia mencintai hobinya tersebut.

Jika kita mengaitkan judul di atas, para pemain sepak bola sudah pasti mencintai negara kita. Nah, begitu juga para pendidik, mereka juga mengalami nasib yang sama. Yang membuat dilematik lagi itu bukan hanya pada pekerjaan, tapi alasan mengapa kita bekerja.

Benedict Anderson mengungkapkan lagi bahwa yang menjadi dampak kedua adalah masalah perut itu. Tidak heran jika kita memosisikan diri kita sebagai penonton tak merasakan apa-apa kecuali semangat pemersatu, sedangkan jika kita seorang pemain hal itu berbeda. Mungkin nasionalisme bisa menghibur perut kita agar tetap bersemangat. Namun realitasnya berbeda, kadang kita lupa hal ini.

Yang menjadi pantas di pusat perhatian kita adalah perbedaan besar antara para siswa dan para pendidik. Para pendidik sebelum memasuki sekolah dan itu sudah memasuki sekolah harus menjadi seorang guru honorer. Jika kita menyukai mengajar, mungkin itu tak masalah bagi kita, tapi itu naif jika kita mengandalkan satu hal dan sedikit hasil untuk hidup sendiri.

http://cdn2.tstatic.net/bangka/foto/bank/images/

Berbeda pandangan sebagai seorang siswa, yang mungkin masih memikirkan individunya tersendiri. Namun, sulitnya lagi, jika siswa sendiri tak memiliki kesadaran akan nasionalisme. Semuanya menjadi serba salah, dan itu sangat dilematik bagi para pendidik. Ada yang bahkan bekerja dalam dua institusi, nasional dan privat, dan ada juga yang tetap setia untuk nasional.

Industri (privat itu) memang memperburuk sistem pendidikan kita. Hal yang umum seharusnya merakyat sekarang berubah, dan diperuntukkan untuk kalangan yang berkantong “kecil”. Namun, sebaiknya kita berterima kasih pada industri. Itu disebabkan telah memberi semangat baru untuk para pendidik, dan menjadikannya sebagai penyedot dari yang berkantong “besar”.

Jika kita membandingkan dari dua pendidik baik itu dari industri dan dari jalur umum, kita akan melihat jauh berbeda. Dari industri, mereka lebih memiliki banyak kemampuan yang mengajar, dan bahkan sudah sangat maju dibandingkan dari jalur umum itu sendiri. Namun, dari segi jiwa, jiwa yang di jalur umum ini lebih negarawan dibandingkan yang industri.

Sebelum menutup tulisan yang tak berakhir ini, penulis ingin menyadarkan kita kembali agar sebelum memakan nasionalisme, ada langkah tertentu yang bisa diambil dari seorang pemikir Timur ini, Aamin Maalouf, dari ungkapannya:

“Ekonomi makin lama makin cenderung menjunjung kompetisi tak terkendali, sementara ekologi peduli dengan proteksi. Yang pertama jelas merupakan sebagian dari semangat zaman, tapi yang belakangan senantiasa punya hak untuk didengar. Bahkan negara-negara yang paling doyan perdagangan bebas tak terbatas pun meloloskan undang-undang yang ditujukan untuk, misalnya saja, mencegah developer merusak situs-situs alamiah. Kita kadang perlu mengambil langkah yang serupa sehubungan dengan budaya untuk memagari fenomena yang terancam dan mencegah kerusakan yang terelakkan.”

Kita perlu merasa hal yang industri inilah terlalu lues dalam mengambil hak yang umum, mungkin dari ungkapan di atas adalah sebuah kode, yang di mana orang yang paling penting di dalam bidang ekonomi dalam negara patut memerhatikan nasionalisme, yang umum ini di dalam negeri ini. Sehingga, bumbunya tak kehilangan rasanya.

Sardjito Ibnuqoyyim
Sardjito Ibnuqoyyim
Penulis Misantropis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.