Jumat, Maret 29, 2024

Memahami Kisah Pembajakan Pembangunan

Azhar Syahida
Azhar Syahida
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Mari kita perjelas di awal tulisan ini bahwa pembangunan kita sedang tidak sehat, baik itu pembangunan manusia maupun pembangunan sarana publik. Keduanya seolah berjalan serampangan, tidak jelas, tidak ada perencanaan yang matang. Pembangunan hanya dijalankan sebagai tuntutan program kerja—selesai, selebihnya tidak bervisi sama sekali.

Malahan, di beberapa kasus, pembangunan justru menjadi ceruk proyek besar untuk meraup keuntungan pribadi. Cukong-cukong pembangunan leluasa mempolitisasi pembangunan tanpa ada rasa malu. Bahkan, orang-orang yang dipercaya sebagai ahli pembangunan, malah menikam bangsanya sendiri.

Mari kita lihat contoh di sekitar kita. Musim hujan yang mulai menyapa beberapa hari ini, cukup apik menggambarkan bagaimana pembangunan fasilitas publik belum beres. Menampakkan kegagalan pada aspek perencanaan.

Bagaimana ruas-ruas jalan yang baru saja diaspal, langsung mengelupas setelah baru beberapa hari diguyur hujan. Di pojok-pojok kota, air deras menyeruak keluar dari gorong-gorong yang dibangun di pinggiran jalan raya. Ada juga, jalan yang dibangun lebih rendah dari lubang gorong-gorong, sehingga air justru mengalir melewati lubang itu dan menggenang di sisi ruas jalan lain. Sungguh kesalahan yang nyata.

Dalam kasus ini, saya kok tidak yakin jika kontraktor pembangunan tidak paham ilmu sipil untuk menghitung detail pembangunan—bagaimana seharusnya material ditempatkan dan jumlahnya berapa, bagaimana jumlah komposisinya dengan bahan lain, termasuk ketebalan dan tinggi rendahnya sebuah konstruksi.

Saya yakin, semuanya mahir dan menguasai. Cuman, pertanyaan, apakah kemampuan itu betul-betul digunakan dengan baik? Jangan-jangan, pembangunan kita justru dibajak oleh orang-orang yang memiliki kemampuan hebat tersebut?

Tentu saja para pembajak pembangunan ini tidak sedirian. Mereka jelas sudah berjejaring dengan sangat kuat, like a spider web. Mereka bisa jadi digerakkan oleh kemampuan tak terlihat—invisible hand—yang mengatur jalannya drama pembangunan.

Entah melalui pengurangan komposisi bahan material ataupun perhitungan konstruksi yang tidak sungguh-sungguh. Intinya, semua berjalan rapi. Tujuannya pun jelas, yakni pengharapan proyek pembangunan yang sama di tahun depan demi kelancaran aliran pundi-pundi materiil ke kantong pembajak pembangunan.

Sementara itu, pembangunan manusia juga mengalami hal yang senada. Para pembajak pembangunan manusia umumnya berwujud pendidik-pendidik dan pengatur pedagogi yang punya otoritas kuat. Mereka bersekutu, bersekongkol, persis seperti yang dilakukan pembajak pembangunan fisik, meraup untung pribadi.

Wujudnya juga sederhana, mulai dari ketidakseriusan dalam mengatur program pendidikan—yang penting asal jalan dan dapat uang hingga politisasi dan komersialisasi pendidikan.

Di beberapa kasus, misalnya, para pendidik tidak begitu serius mengarahkan dan memberikan pemahaman yang baik pada peserta didik, bagaimana mengembangkan potensi yang ada di dalam diri dan membangun kerangka berfikir untuk memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitar.

Lebih detail, para perancang pendidikan, justru berfikir pragmatis. Mereka berfikir bagaimana sekolah tempatnya mengajar selalu terlihat baik—melalui bermain drama kebohongan. Mereka mengerek nilai siswa agar terlihat bagus hasil ujiannya. Mengatur persengkokolan siswa yang unggul di kelas dengan siswa yang kurang menguasai mata pelajaran tertentu, sehingga semua siswa bisa (harus) lulus.

Jelas, persekutuan yang demikian jauh panggang dari api dari tujuan pendidikan itu sendiri. Jangankan aspek afektif, konteks kognitif saja jelas tidak tersentuh. Sebab, bagaimanapun, yang ada hanyalah pragmatisme yang kawin dengan komersialisasi pendidikan yang ironisnya dikuasai oleh ahli pedagogi.

Ini artinya, para aktor pembangunan manusia justru sibuk membuat pekuburan masa depan manusia Indonesia. Politisasi pendidikan adalah tambahan eviden nyata. Banyak kampanye pemilu 2019 yang dilakukan di sekolah-sekolah. Sahabat saya sendiri yang seorang guru Sekolah Dasar menuturkan hal itu.

Juga, akal bulus pemrogram pendidikan yang justru menggunakan lahan pendidikan sebagai ladang bisnis. Kasus jual beli ijazah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia School of Management (STIE ISM) adalah contohnya. Bahkan, kasus ini kabarnya juga melibatkan pejabat tinggi di Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Padahal, kalau menilik secara normatif tujuan pendidikan, aspek emansipasi dan peka terhadap kejadian-kejadian sosial seharusnya menjadi bahan utama para pendidik untuk didialogkan dengan para peserta didik, bukan malah mencari keuntungan dari wadah pembangunan yang mulia ini.

Pun juga, sebagaimana Ajib Rosidi (2009) mengusulkan, dalam pendidikan, peserta didik harus diajarkan mengerti konteks budaya yang ada disekitarnya, sehingga konflik-konflik sosial yang kini liar bertebaran bisa diredam dengan baik.

Namun begitu, hal demikian rasanya hanya menjadi mimpi di siang bolong. Karena mayoritas materi pendidikan kita sudah didesain jauh dari apa yang ada di sekitar kita, sehingga banyak alumnus perguruan tinggi yang merasa ilmunya tidak nyambung dengan dunia kerja. Mereka harus belajar dari nol untuk masuk ke dunia kerja.

Maka, Kalau begini ceritanya, ketulusan dalam pembangunan jelas sudah hilang. Lenyap dalam kegelapan, tertelan oleh rakusnya nafsu pribadi. Ironisnya lagi, kejadian-kejadian yang ada tersebut dilakukan tanpa rasa malu. Kejadian jual beli ijazah misalnya, bukan kali ini saja terjadi, namun sudah terjadi sejak tahun 2000 lalu!

Dalam pada ini, rasanya, tambah terang bahwa pembajak pembangunan adalah orang-orang terdekat dari pembangunan itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang justru dianggap sebagai pihak paling otoritatif dalam menyelesaikan masalah pembangunan.

Karena itu, barangkali yang bisa kita tawarkan di akhir refleksi ini adalah soal kegigihan dan kejujuran dalam membangun. Fungsi pembangunan adalah melayani dan mengembangkan. Melayani masyarakat demi keadilan dan kesejahteraan. Mengembangkan masyarakat demi kebaikan dan kedamaian sosial. Artinya, pembangunan adalah soal kebaikan dalam kebersamaan, bukan hasrat pribadi yang seolah melakukan pembangunan.

Azhar Syahida
Azhar Syahida
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.