Pasal 43 B ayat (1) Draft RUU Antiterorisme menjelaskan, bahwa kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme. Kemudian, pada ayat (2) di jelaskan bahwa peran TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pelibatan unsur TNI di dalam pasal 43B RUU Antiterorisme itu kemudian mengundang pro dan kontra. Pihak pro menilai, unsur TNI perlu dilibatkan dalam RUU Antiterorisme, dan bersifat pelibatan langsung. Sementara, mereka yang kontra beranggapan pelibatan unsur TNI sudah cukup terakomodir didalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) pasal 7 ayat (2) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Serta berada dalam posisi Bawah Kendali Operasi (BKO) Polri.
Hal ini berakibat kepada tersendatnya pembahasan RUU tentang perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No.1 tahun 2002 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU (RUU Anti Terorisme).
Padahal, kebutuhan akan UU Antiterorisme sangat dibutuhkan. Mengingat semakin massifnya ancaman terorisme jaringan internasional, dan ranting-rantingnya di beberapa negara yang berdaulat. Indonesia menjadi salah satu negara yang tengah menghadapi ancaman terorisme, beberapa rentetan bom menjadi buktinya. Dari kasus bom Bali 1 dan 2, sampai kepada bom di halte transjakarta beberapa waktu lalu.
Ancaman Kedaulatan
Dalam kancah Indonesia, dekade awal tahun 2000-an, menjadi momok terorisme bagi Indonesia. Kasus bom Bali 1 tahun 2002, bom J.W Marriot tahun 2003, dan bom Bali 2 tahun 2005. Semenjak itu, wacana mengenai pemberantasan tindak terorisme di Indonesia semakin massif, dan Indonesia meratifikasi beberapa aturan internasional terkait dengan terorisme, misalnya International Convention for Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.
Menurut konsiderans huruf C UU No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No.1 tahun 2002 tentang pemberantasan Tindak pidana terorisme, terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang mempunyai jaringan luas yang dapat mengancam perdamaian nasional maupun internasional.
Jaringan teroris yang bersifat lintas negara, menggunakan persenjataan lengkap, pembunuhan massal, dan menyasar orang penting di suatu negara beserta objek vital nasional, menjadikan terorisme sebagai musuh bersama oleh negara-negara di dunia.
Upaya-upaya lain yang dilakukan kelompok teroris, juga mengarah kepada pemaksaan kepada negara untuk melakukan sesuatu yang diinginkan kelompok teroris tersebut. Hal-hal seperti ini tidak bisa dibiarkan. Negara tidak boleh kalah oleh sekelompok orang, ataupun sebuah organisasi internasional sekalipun. Karena negara ada untuk melindungi rakyatnya.
Kehadiran terorisme dalam suatu negara, dianggap mampu mengancam pemerintahan yang sah, dengan kata lain mengancam kedaulatan negara tersebut. Ketika kedaulatan negara menjadi taruhannya, wajar saja bersamaan dengan itu keterlibatan militer untuk menanganinya dibutuhkan.
Disisi lain, dengan melihat efek samping dari terorisme tersebut, tugas pokok TNI sebenarnya relevan dengan keikutsertaannya memberantas teroris. Bukan hanya sebatas perbantuan terhadap Polri, atau BKO. Tetapi keterlibatan langsung dalam upaya pemberantasannya. Pada pasal 7 ayat (1) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, dijelaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Perihal menegakkan kedaulatan negara, dijelaskan pada bagian penjelasan UU TNI sebagai upaya mempertahankan kekuasaan negara untuk melaksanakan pemerintahan sendiri yang bebas dari ancaman. Disamping itu, salah satu bentuk ancaman dan gangguan adalah aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh teroris internasional atau bekerja sama dengan teroris dalam negeri atau oleh teroris dalam negeri.
Selain relevansi dengan tugas pokok TNI tersebut, keikutsertaan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme juga menjadi salah satu Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yaitu mengatasi aksi terorisme pada pasal 7 ayat (2).
Perlu Terlibat
TNI merupakan alat negara, dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan keputusan politik negara. Dalam urusan pertahanan negara, TNI menjadi komponen utama sistem pertahanan negara. Dampak tindak pidana terorisme tidak selalu sebatas korban sipil, atau infrastruktur publik, tetapi bisa menyasar kepada keamanan nasional dan stabilitas negara.
TNI sebagai garda terdepan dalam upaya pertahanan negara, tentu akan merasa terpanggil ketika negara berada dalam kondisi terancam. Sejarah panjang perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan, juga menempatkan TNI berandil di dalamnya. Mempelajari sejarah, setidaknya bisa menjadi pertimbangan keterlibatan TNI. Hal ini tentu bukan berarti menabrak reformasi TNI dan supremasi sipil.
Terorisme menjadi salah satu bahaya nyata untuk negara (laten). Pelibatan TNI didalam upaya mengatasi terorisme perlu dipertegas di dalam RUU Antiterorisme ini. Tidak hanya dalam bentuk preventif, tetapi juga upaya pemulihan. Dalam artian keterlibatan langsung (bukan sekedar BKO). Penyamaan metode penanganan tindak pidana terorisme antara TNI-Polri perlu diselaraskan. Misalnya Polri dengan criminal justice system atau pendekatan keamanan dan TNI dengan pendekatan pertahanan negara. Pelibatan ini tentu bukan berarti terjadinya tumpang tindih antara TNI-Polri dalam penanganannya, tetapi yang perlu ditekankan adalah sinergitas.
Untuk lebih rinci, dibutuhkan penjelasan yang lebih rinci perihal taktis dan strateginya pelibatan TNI. Misalnya perihal dalam kondisi seperti apa TNI bisa terlibat, jumlah dan satuan TNI mana yang akan diturunkan, dan lainnya. Atau, bisa dengan cara mengidentifikasi ancaman terorisme kedalam beberapa strata bahaya. Pembagian strata ini nantinya yang akan menjadi dasar sinergitas dan pembagian peran TNI-Polri. Dengan adanya strata tersebut, jika sebelumnya yang menanganinya adalah Polri, maka bisa di serahkan kepada TNI jika sudah melewati strata yang ditetapkan. Begitu juga sebaliknya. Pertanggungjawaban atau pelaporan diberikan kepada pelaksana pertama.
Lebih lanjut, strata tersebut juga bisa diselaraskan dengan terminologi keamanan dan pertahanan, sesuai dengan ruang lingkup kerja TNI-Polri. Pembagian strata bahaya tersebut, bukan berarti mengukur kompetensi TNI-Polri, karena berindikasi mispersepsi. Tetapi diarahkan sesuai ruang lingkup tugas pertahanan dan keamanan.
Pelibatan unsur TNI kedalam RUU Antiterorisme kurang etis jika menjadi perdebatan, dan berefek kepada mandeknya pembahasan RUU tersebut. Karena maksudnya tentu baik, demi NKRI. Yang perlu dilakukan adalah pengakomodiran, karena terorisme itu sudah menjadi ancaman yang nyata untuk Indonesia, dan berindikasi mengganggu keamanan nasional.