Kamis, April 25, 2024

Memahami Kembali Pandemi Covid-19

Hieronimus Adiyoga
Hieronimus Adiyoga
Mahasiswa non aktivis tapi tidak mau apatis.

Wabah Covid-19 yang disebabkan virus corona jenis baru telah memasuki bulan ke-6 sejak ditetapkan sebagai pandemi oleh organisasi kesehatan dunia (WHO). Per tulisan ini dibuat (14/9), virus SARS-CoV-2 telah menginfeksi 29.272.462 orang dengan angka kematian sebesar 929.775 jiwa di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, ada tambahan 3.141 kasus infeksi, sehingga secara total Indonesia sudah mengonfirmasi 221.523 kasus, dengan 54.277 kasus berada dalam tahap perawatan, 158.405 kasus sembuh dan 8.841 kasus kematian.

Pengetahuan paling mutakhir mengenai penanganan wabah sampai saat ini masih terbatas pada cuci tangan, menggunakan masker, jaga jarak dan durasi kontak dengan orang banyak. Tidak heran, turunan dari pengetahuan ini menghasilkan kebijakan pembatasan sosial di hampir semua negara di dunia, yang menyebabkan terganggunya kegiatan ekonomi global, sehingga beberapa negara sudah dipastikan mengalami resesi, dan Indonesia akan segera menyusul.

Sementara, proses pengembangan vaksin yang dilakukan di seluruh dunia, hanya vaksin produksi Gamaleya dari Rusia yang sudah memasuki tahap regulatory approval pada bulan Agustus lalu, di mana studi uji klinik tahap 1/2 yang dilakukan sudah dipublikasikan di laman jurnal The Lancet. Calon vaksin lain yang diajukan oleh Sinovac Biotech, Oxford-Astrazeneca, Wuhan-Beijing-Sinopharm, dan BioNTech-Fosun-Pfizer sedang melakukan uji klinis fase III, untuk membuktikan efikasi vaksin dalam jangka waktu tertentu dengan protokol uji klinis yang ketat.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia melewati bulan Februari dengan meremehkan virus ini, di mana pemerintah terus percaya virus ini tidak akan sampai ke Indonesia. Ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama pada awal Maret, idealnya, pemerintah sudah harus bersiap-siap melakukan tes real time-PCR secara masif, di mana skema pembiayaan tampaknya lebih baik jika negara melakukan subsidi atau menggratiskan tes, melakukan pengaturan harga untuk tes secara mandiri, dan tentunya memperbanyak kapasitas laboratorium BSL untuk menunjang tes PCR seluas-luasnya.

Banyak yang mungkin bertanya, mengapa tes PCR harus dilakukan seluas-luasnya? Tidakkah itu akan memboroskan uang yang kita punya? Jawabannya adalah, sampai sekarang, hanya tes PCR yang dapat menjadi standar emas dalam melakukan diagnosis terhadap terduga pasien Covid-19.

Rapid test bisa jadi tidak berguna, karena pada prinsipnya, orang yang terinfeksi virus lain juga dapat mengalami positif palsu karena hanya mendeteksi antibodi yang dihasilkan orang pada keadaan infeksi. Selain itu, selama virus SARS-CoV-2 baru masuk beberapa hari, sistem imun yang sedang bekerja barulah innate immunity, di mana antibodi (termasuk adaptive immunity) masih belum terbentuk dan terjadi negatif palsu. Ya, sistem imun perlu waktu untuk mengenali agen infeksius sebelum mengerahkan tentara elitnya yang sesuai.

Di samping itu, tes PCR yang masif dilakukan akan mendukung terjadinya test, trace dan isolate. Dengan melakukan pengujian pada seorang terduga, ketika hasilnya positif, pasien dapat segera diisolasi sehingga tidak berkontak dengan orang lain, dan diharapkan dapat memutus rantai penularan.

Dengan memastikan pasien telah terinfeksi, kemudian dilakukan pelacakan, sampai sedikitnya melacak 30 orang yang pernah berkontak dengan pasien. Dites lagi, diisolasi, dilacak lagi. Demikianlah, idealnya wabah ini bisa dikendalikan. Sebagai informasi, di Wuhan yang pernah menjadi episentrum penularan virus, sudah dilakukan tes kepada hampir 10 juta penduduk.

Per tulisan ini dibuat, Provinsi DKI Jakarta juga sedang memasuki hari pertama PSBB-kembali, setelah beberapa bulan menjalani PSBB Transisi yang waktunya lebih lama dibandingkan PSBB musim pertama. Tentu bukan tanpa alasan, di mana kita ketahui Wisma Atlet Kemayoran telah penuh dan angka infeksi harian di Jakarta yang meningkat lagi, terutama setelah pembatasan sosial dilonggarkan.

Dalam pandangan penulis, PSBB di Jakarta adalah momentum. Tidak hanya bagi Jakarta, tetapi bagi Indonesia yang selama seminggu ini konsisten mencatatkan 3000+ infeksi hampir setiap harinya. Ini adalah momentum, untuk kita bisa meningkatkan kapasitas tes kita. Untuk negara dengan 270 juta penduduk dan luas daratan hampir 2 juta kilometer yang setengahnya terkonsentrasi di pulau Jawa, kita perlu melakukan tes yang masif. Sekurang-kurangnya, tes terhadap 100.000 – 300.000 orang per hari, bukan spesimen.

Mungkin akan banyak yang berpikir saya kurang waras, tidak paham ekonomi, terbatasnya ruang fiskal pemerintah, dan tuduhan lain sebagainya. Ya, saya memang orang kesehatan. Tetapi sekali lagi saya perlu mengingatkan, ekonomi tidak akan pernah bangkit jika wabah tidak bisa dikendalikan.

Wabah tidak akan bisa dikendalikan, jika jumlah tes masih sedikit. Ibaratnya berperang melawan warga yang membelot untuk agensi asing dan menghasut warga lain untuk ikut membelot, semakin banyak kita mengetahui warga yang membelot, semakin mudah kita menekuk musuh. Semakin banyak kita bisa melacak orang yang terinfeksi, semakin mudah bagi kita untuk mengisolasinya sampai sembuh, dan memulangkannya ketika sudah dipastikan sembuh.

Apa yang Bisa dilakukan Setiap Individu

Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, pengetahuan mengenai virus ini masih terbatas pada pakai masker, cuci tangan, jaga jarak dan durasi kontak dengan orang lain. Jika anda bekerja, bekerjalah dengan menerapkan protokol kesehatan. Ketika istirahat bekerja, berjaga jaraklah dengan rekan kerja anda.

Bawalah peralatan makan anda sendiri, dan jangan banyak berbicara. Selesai bekerja, pulanglah jika tidak ada hal penting yang harus dilakukan. Jika ingin makan di luar, manfaatkanlah teknologi pesan antar. Jika ingin belanja, belanjalah secara daring, atau belanja ketika toko belanja baru dibuka atau memang sedang sepi. Jangan pernah absen memakai masker dan mencuci tangan. Lebih baik memakai masker, daripada dipasangkan ventilator, bukan?

Membatasi diri dengan kegiatan sosial perlu kesadaran. Ini bukan dilakukan untuk menciptakan ketakutan, bukan dilakukan untuk menekan negara lemah, karena hanya orang yang berpikiran sempit yang mengatakan itu, melainkan ini dilakukan untuk meminimalisir segala risiko infeksi yang mungkin terjadi. Bukan tidak mungkin, keluarga yang anda sayangi, justru menjadi penyebar virus ini dan menciptakan cluster keluarga seperti yang sudah terjadi akhir-akhir ini.

Kita tidak tahu sampai kapan wabah ini berakhir. Bahkan ketika vaksin yang lolos approval sudah diberikan, perlu waktu untuk melakukan vaksinasi terhadap tujuh puluh persen populasi yang dipercaya akan memberikan kekebalan kawanan (herd immunity). Sampai ada titik terang wabah ini berakhir, maka yang dapat kita lakukan sebagai individu adalah tidak pernah absen memakai masker, rajin cuci tangan, menjaga jarak dan durasi kontak dengan orang lain. Kalau anda aktivis, manfaatkanlah jaringan yang anda punya untuk mendesak pemerintah melakukan tes semasif mungkin. That’s it and that’s all.

Hieronimus Adiyoga
Hieronimus Adiyoga
Mahasiswa non aktivis tapi tidak mau apatis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.