Kamis, Desember 5, 2024

Memahami Genosida Melalui Perspektif Hukum Indonesia

Abubakar Bin Hasan Alhady
Abubakar Bin Hasan Alhady
Mahasiswa aktif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah). Motto hidup "cukup resapi, sehingga engkau memahami”.
- Advertisement -

Selama Perang Dunia I (1914–1918), wilayah Palestina masih menjadi bagian dari Kekaisaran Utsmaniyah (1517–1917) dan diatur sebagai sebuah provinsi oleh pemerintahan mereka. Namun, pada tahun 1917, Inggris berhasil mematahkan dominasi Utsmaniyah, sehingga wilayah Palestina tidak lagi berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah, melainkan menjadi bagian dari sistem Mandat Inggris untuk Palestina sesuai dengan kesepakatan pasca-perang.

Pada tahun yang sama, muncul sebuah dokumen penting yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour (1917), dengan Inggris sebagai tokoh utama. Deklarasi ini menjadi pelopor terbentuknya gerakan Zionis dan Negara Israel, sekaligus menjadi saksi perubahan besar di kawasan Asia Barat Daya, yang oleh orang Eropa dikenal sebagai Timur Tengah. Dengan hanya 67 kata yang tertulis di selembar kertas, deklarasi ini memicu konflik berkepanjangan yang masih berlangsung hingga abad ke-21.

Isi dokumen Deklarasi Balfour, tertanggal 2 November 1917, menjelaskan bahwa pemerintah Inggris mendukung penuh pendirian “rumah nasional bagi orang-orang Yahudi” di wilayah Palestina. Deklarasi tersebut dikeluarkan dalam bentuk surat, yang dinamakan “Deklarasi Balfour” karena diambil dari nama Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu. Surat tersebut ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris.

https://pin.it/153d4UlF2

Deklarasi Balfour kemudian disetujui oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922 dan menjadi bagian dari Mandat Inggris atas Palestina. Hal ini membuka jalan bagi imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina dengan dorongan untuk menduduki “tanah leluhur” mereka. Setelah mandat Inggris berakhir pada tahun 1948, kelompok Yahudi mendeklarasikan berdirinya negara Israel. Proklamasi ini memicu konflik bersenjata yang melibatkan berbagai faksi Palestina, termasuk Fatah, Palestinian Liberation Organization (PLO), dan tokoh seperti Yasser Arafat. Upaya perdamaian seperti Perjanjian Oslo, yang menjanjikan kemerdekaan bagi Palestina, gagal diwujudkan, dan konflik terus berlanjut hingga saat ini tanpa kesepakatan yang jelas.

Setelah adanya Deklarasi Balfour, pemerintah Inggris secara aktif mendukung gerakan zionis, termasuk memberikan pelatihan kepada kelompok bersenjata zionis. Dukungan ini menjadi salah satu faktor utama terjadinya peristiwa Nakba pada tahun 1948, yaitu pembersihan etnis Palestina yang mengakibatkan lebih dari 750.000 warga Palestina diusir secara paksa dari tanah kelahiran mereka. Hingga kini, pemerintah Inggris masih menunjukkan dukungan terhadap Israel, yang sering disampaikan melalui pernyataan-pernyataan resmi para pejabatnya dalam berbagai acara internasional.

“Kami sepenuhnya mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri sesuai dengan hukum internasional, untuk memburu Hamas, mengambil kembali sandera, mencegah serangan lebih lanjut, dan memperkuat keamanan negara Anda untuk jangka panjang,” kata Rishi Sunak dalam konferensi pers bersama Benjamin Netanyahu di Yerusalem pada Kamis (19/10/2023).

Pernyataan seperti ini bisa dianggap sebagai bentuk merendahkan citra dan harkat bangsa. Seperti yang kita ketahui, beberapa bulan terakhir, mahasiswa dari kampus-kampus ternama di Inggris telah aktif menggelar kegiatan yang memberi dampak besar, baik melalui ucapan maupun tindakan, yang justru sangat berlawanan dengan sikap yang disampaikan oleh Rishi Sunak, Perdana Menteri Britania Raya tersebut.

Aksi demo Pro-Palestina telah menyebar ke berbagai kampus ternama di Inggris, seperti Sheffield, Bristol, Leeds, dan Newcastle. Ini menunjukkan adanya ‘kesenjangan pola pikir’ antara mahasiswa dan perwakilan rakyat dari negara tersebut. Kepedulian terhadap masalah ini jelas terlihat dari mahasiswa-mahasiswa yang mengerti esensi kemanusiaan.

- Advertisement -

Negara-negara sekutu Zionis Israel percaya bahwa serangan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina adalah bentuk perlindungan negara, juga sebagai respons terhadap serangan kelompok pejuang kemerdekaan Palestina, seperti Hamas dan kelompok lainnya. Terdapat upaya di mana penjajah mencoba memutarbalikkan fakta dan menggiring opini bahwa mereka bukan pelaku, melainkan korban atas serangan kelompok pejuang.

Pendudukan wilayah oleh rezim Zionis Israel terhadap Palestina memberikan catatan kelam terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia yang selalu digaungkan dan dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Masyarakat internasional sangat mafhum bahwa tidak ada implementasi atau realisasi nyata dari hak asasi manusia oleh PBB terhadap pendudukan yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

Di sisi lain Mahkamah Internasional telah mengeluarkan putusan mengenai kebijakan pemukiman dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang dilakukan oleh Zionis Israel terhadap wilayah Palestina telah melanggar hukum internasional, putusan tersebut mendapatkan pertentangan dari Israel sendiri dan negara-negara lainnya. Dengan landasan tersebut, maka sangat jelas kedudukan kita dalam mendukung pihak yang mana.

Pada prinsipnya, putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional sangat tegas, namun masyarakat dunia seakan menutup mata terhadap permasalahan tersebut. Hal ini terlihat dari kurangnya kepedulian untuk ikut melakukan aksi boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan Zionis Israel, bahkan pemberitaan tentang Palestina di media sosial dianggap sebagai berita basi yang tidak perlu dipublikasikan kembali.

Berdasarkan laporan terbaru yang dikeluarkan pada 19 September 2024 oleh Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), pasca-konflik 7 Oktober 2023, konflik Israel-Palestina menimbulkan korban jiwa yang sangat besar — tentunya menyayat nurani setiap manusia yang memiliki hati. Korban syuhada (yang meninggal) mencapai 44.630, sebagian besar adalah anak-anak yang tidak berdosa, sementara korban luka-luka mencapai 109.920.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan (Preambule) Alinea I menjelaskan sebagai berikut:

“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Alinea I dengan sangat jelas menyebutkan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Dengan demikian, penjajahan dapat disimpulkan sebagai tindakan yang menyimpang dan harus dihapuskan, karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Dengan kedudukan wilayah Palestina yang sah, serta seluruh hak fundamental yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, hak-hak tersebut telah dirampas begitu saja tanpa adanya nurani.

Kesadaran dan perhatian terhadap peristiwa yang terjadi di Palestina merupakan sedikit usaha dari generasi-generasi saat ini untuk menjalankan apa yang terkandung dalam UUD 1945. Harapan selanjutnya adalah munculnya gerakan-gerakan yang dapat menghapuskan tindakan biadab di dunia ini, yaitu penjajahan. Kita harus memberikan seluruh daya dan upaya yang kita miliki, walaupun sedikit, dengan semboyan: ‘Gabungkan aksi, tingkatkan kolaborasi.’

Abubakar Bin Hasan Alhady
Abubakar Bin Hasan Alhady
Mahasiswa aktif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah). Motto hidup "cukup resapi, sehingga engkau memahami”.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.