Hari ini, jaksa membacakan tuntutan hukuman 6 tahun atas Ratna Sarumpaet (RS), perempuan berusia 70 tahun itu atas kasus menyampaikan berita bohong yang menimbulkan keonaran.
Masih segar dalam ingatan, candaan publik menetapkan sebagai 3 Oktober sebagai hari hoaks nasional. Hiruk pikuk berantai panjang, dimulai dari celoteh seorang tokoh publik.
Celoteh sambung menyambung kepada tokoh-tokoh publik lain yang ikut sibuk menyebarkan berita bahwa tanggal 21 September, terjadi pemukulan RS beberapa laki-laki tak dikenal di sebuah lokasi di Bandung. Muncul lingkaran pembentukan persepsi bahwa pemukulan dilakukan oleh “rezim” pemerintah.
Ho ho!!! Gorengan gurih, renyah dan lezat.
Membaca situasi, muncul tulisan Tompi yang dokter ahli bedah plastik. Melihat pola lebam wajah RS, Tompi justru meragukan adanya pemukulan. Tompi membeberkan analisanya sebagai dokter bedah plastik, bahwa kemungkinan besar lebam seperti orang habis oplas. Kunciran, lebam dan adanya sayatan simetris.
Barangkali ada gerombolan yang memiliki prinsip hidup, “hoaks must go on”. Analisa Tompi diabaikan, yang terjadi malah sebuah konferensi pers keprihatinan atas pemukulan yang disampaikan secara resmi oleh Prabowo.
Episode berita bohong RS berakhir tanggal 4 Oktober 2018. RS membuat pengakuan dan minta maaf kepada publik, pada hari yang sama, polisi menangkap RS saat akan berangkat ke Chile.
Oplas Pembawa Masalah
Lazimnya manusia, berusaha menutupi kekurangan fisiknya agar senantiasa terlihat lebih baik. Pada kebanyakan perempuan, kekhawatiran usia yang dibareni bertambahnya kerut-kemerut disiasati dengan obat, krim, penanaman benang hingga operasi plastik untuk menarik kulit dan menanam bantalan untuk mengisi kulit.
Demikian juga, pada kebanyakan laki-laki yang khawatir dengan kemampuan seksual, ukuran vital hingga kebotakan. Banyak laki-laki yang menutupi kebotakan dengan potongan rambut palsu.
Siasat-siasat untuk menutupi kekurangan fisik pada diri manusia, tentu ingin disembunyikan. Tidak ingin diketahui publik.
Saat Sidang, RS Berusaha Jujur
Menurut saya, sepanjang sidang berlangsung, RS berusaha membeberkan kejadian sejujur-jujurnya. RS berusaha memberikan keterangan apa adanya. Tidak mengelak, tidak menyangkal untuk membela diri dan tidak mempersulit sidang.
Walaupun RS adalah seorang aktris pemain watak, namun matanya menampilkan sorot mata lepas tanpa beban. Menurut saya, RS hanya ingin menyampaikan bahwa bila kita di posisinya, mungkin akan melakukan hal yang sama.
Benar bahwa RS berbohong soal lebam, dan RS telah jujur mengakui kebohongannya. Kebohongannya hanya untuk menutupi siasatnya. Mestinya tidak menjadi kegaduhan pada apapun.
Saya menyadari, mungkin bila kita akan melakukan oplas, kita akan diam-diam. Kita tidak ingin orang lain mengetahui, termasuk keluarga sendiri. Lalu, jika ada yang mempertanyakan lebam karena oplas, kemungkinan mengaku lebam karena jatuh, karena alergi, karena habis dipukuli atau mengarang cerita lain supaya lain sesuai dengan kondisinya.
Saya menyayangkan telah terjadinya kebohongan RS menjadi bahan untuk menimbulkan kegaduhan oleh tokoh-tokoh publik di Indonesia.
Tokoh-tokoh publik yang kelihatan pintar, tetapi tanpa niat menelusuri informasi, tanpa niat membantu masalah pemukulannya, tanpa malu melakukan celotehan tak bertanggung jawab demi kepentingan pribadi.
Menggoreng informasi menjadi gorengan gurih, renyah dan lezat, lalu menyajikan kepada publik sehingga publik memiliki resiko penyakit jantung karena kebanyakan makan gorengan.
Para tokoh-tokoh publik yang terlibat dalam penyebaran kebohongan yang menimbulkan kegaduhan ini harus bertanggung jawab secara hukum.
Adil Katalino, Bacuramin Kasuraga, Basengat Kajubata…