Jangan kau seperti Iblis, hanya melihat air dan lumpur ketika memandang adam. Lihatlah di balik lumpur, Beratus-ratus ribu taman yang indah. Barangkali kata-kata Jalaluddin Rumi ini mampu menjadi autokritik bagi sekelompok orang yang mengolok-olok Islam nusantara tanpa adanya tabayun, usaha memahami bagaimana konsep ini. Karena kita tahu, sebuah toleransi tak lahir dari isi kepala yang kosong tanpa pemahaman, jika justifikasi, penyalahan, komentar miring dilontarkan tanpa adanya pemahaman yang terjadi hanyalah omong kosong yang akan menyulut api konflik.
Bagi kalangan tekstual banyak memaknai Islam nusantara sebagai usaha pengkotakan wilayah sehingga terjadi sebuah pemisahan dan menimbulkan perpecahan. Tentu ini adalah pemahaman yang salah, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menjabarkan tentang istilah Islam Nusantara. Menurutnya, kata Nusantara itu akan salah maksud jika dipahami dalam struktur na’at-man’ut (penyifatan) sehingga berarti,“Islam yang dinusantarakan.” Akan tetapi akan benar bila diletakkan dalam struktur idhafah (penunjukan tempat) sehingga berarti “Islam di Nusantara”.[1]
Jadi Islam nusantara bukan membedakan antara satu wilayah dengan wilayah lain dengan struktur dan kultur lainnya, melainkan untuk menunjukkan Islam yang ada di Nusantara. Konsekuensi dari kita yang berada di Nusantara adalah penghayatan budaya lokal. Agama dan budaya memang dua hal yang berbeda, Karena agama bernilai mutlak, tidak berubah mengikuti waktu dan tempat. Sementara budaya, sekalipun yang berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yakni agama berdasarkan budaya.[2]
Oleh karena itu, agama (wahyu) adalah primer dan budaya adalah sekunder. Namun, antara yang primer (wahyu) dan sekunder (budaya) saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, sebab wahyu telah turun dalam ruang dan waktu dalam kehidupan manusia yang sudah punya budaya. Hal ini berarti dapat dikatakan pula agama bersifat absolut, berlaku absolut dan budaya bersifat relatif (subordinat terhadap agama) yang terbatas dalam ruang dan waktu.
Yang menjadi masalah sekarang ini adalah banyak orang tak mampu membedakan mana ajaran agama Islam yang bersifat absolut, primer dan mana budaya Arab yang bersifat relatif dan terbatas. Maka ketidakmampuan membedakan keduanya menjadi sebuah kekacauan dalam berfikir dan memahami Islam. Pada akhirnya yang terjadi adalah anggapan budaya Arab adalah ajaran Islam. Seperti pemakaian gamis laki-laki adalah ajaran Islam, pakaian cadar adalah Islam. Padahal jika kita menengok sejarah pakaian seperti itu sudah ada sejak sebelum Islam.
Pakaian gamis bagi laki-laki jelas merupakan budaya Arab sejak dahulu, seperti cerita Prof Azra ketika di Mesir memakai batik dan sarung pada saat mau solat magrib yang ditegur oleh imam masjid Kairo yang memakai gamis, kemudian prof Azra menyampaikan kalau pakaian Anda ini (gamis) kalau di negeri saya adalah pakaian perempuan. Demikian juga pakaian cadar pada awalnya adalah pakaian Yahudi, sehingga parlemen Mesir melarang penggunaan niqob alias cadar.[3] Hal ini diperkuat dengan fatwa yang disampaikan Majelis Tarjih Muhammadiyah bahwa tidak ada perintah dalam Al-Qur’an dan Sunnah untuk menggunakan cadar.
Namun tetap adanya budaya memakai cadar dan gamis di Arab merupakan tanda bahwa Nabi Muhammad dalam mendakwahkan Islam tetap mempertahankan tradisi Arab yang tak bertentangan dengan prinsip Islam dan kemanusiaan. Adapun hubungan antara Islam dan budaya Arab menurut Ali Sodiqin memetakan menjadi tiga hal yaitu[4] :
Pertama Tahmil (adoptive-complement), sikap apresiatif al-Qur’an yang diberikan terhadap budaya Arab tersebut. Al-Qur’an menerima dan tidak merubah substansinya dan memberikan tambahan informasi mengenai moral dan etika. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah masalah perdagangan dan peghormatan bulan–bulan haram.
Kedua Tahrim (destructive), Tahrim merupakan penolakan 100% yang dilakukan oleh al-Qur’an terhadap budaya masyarakat yang berkembang. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap tradisi yang di maksud oleh al-Qur’an serta adanya ancaman bagi para pelakunya. Termasuk dalam kategori ini adalah kebiasaan berjudi, minum khamar, praktik riba, dan perbudakan.
Ketiga Taghyir (adoptive-reconstructive), menerima tradisi Arab namun memodifikasi karakternya sehingga sesuai dengan al-Qur’an. Di antara adat-istiadat Arab yang termasuk dalam kategori ini adalah: pakaian dan aurat perempuan, lembaga perkawinan, anak angkat, hukum waris, dan qishash-diyat.
Dari penjabaran diatas dapat dikatakan yang terpenting yang harus ditekankan adalah nilai moral dan semangat Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, bukan hanya Arab saja. Karena Islam diturunkan bukan hanya untuk orang Arab namun untuk seluruh alam, maka Islam harus senantiasa bisa mengakomodir setiap perubahan budaya dan tetap relevan disetiap zaman.
Tradisi-tradisi di Indonesia yang sudah mengakar kuat saat Islam masuk ke Indonesia telah direspon oleh ulama penyebar Islam ke Nusantara dalam tiga kerangka itu yaitu tahmil (mengadopsi budaya dan tradisi Indonesia yang tidak bertentangan dengan spirit Islam), tahrim (menghilangkan budaya dan tradisi yang tidak sesuai dengan spirit Islam seperti sistem kasta) dan taghyir (merekonstruksi budaya dan tradisi seperti sesajen untuk para dewa atau kekuatan ghaib direkonstruksi menjadi simbol-simbol yang bermakna untuk mengesakan Tuhan). Saat Islam telah masuk ke Indonesia dan sudah melewati tiga proses tersebut, maka itulah yang disebut Islam Nusantara.
Kemudian yang menjadi yang menjadi catatan sejarah bahwa Islam masuk di Indonesia khususnya pulau Jawa, masyarakatnya memeluk Islam dengan metode tasawuf dan percontohan perilaku kesufian. Sehingga Islam di Indonesia bersikap toleran, subtantif inklusif yang ramah dan yang tak kalah penting mengakomodir budaya lokal yang sesuai dengan Islam melalui tiga jalan diatas sehingga watak budaya Indonesia tak hilang hanya dimasukkan ruh keIslaman yang justru dengan ini Islam di Indonesia mampu menyatu secara penuh dengan masyarakat.
Hal yang berbeda terjadi di Afghanistan dengan gerakan Taliban memiliki ciri legal eksklusif yang berusaha menerapkan Islam dengan aksi gerakannya yang sangat puritan, fanatik, dan radikal. Faham seperti ini memandang dunia dengan kaca mata hitam putih (halal-haram) sehingga apa yang ada didalam benak mereka jika ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya akan bersikap eksklusif tanpa kompromi.
Tentu ini sangat berbeda dengan budaya Indonesia, jika menghadapi perbedaan tidak langsung mengambil tindakan namun berusaha mengingatkan terlebih dahulu.Tentu kita tidak menghendaki budaya toleran Indonesia luntur karena banyaknya pemikiran dari luar yang masuk. Maka guna menangkal hal itu Islam Nusantara adalah solusi tepat.
Tak hanya itu Islam Nusantara juga menjadi solusi bagi fundamentalisme dan terorisme, karena dengan Islam Nusantara yang religius, nasionalis, cinta budaya akan menjadi antitesis bagi faham ekstrimis. Dengan memahami Islam Nusantara orang Indonesia akan yakin mereka bisa menjadi 100% muslim dan 100% NKRI.