Masih ingatkah kita kapan dan usia berapa tahun pertama kali nimbrung ikut belajar tarawih, sahur, dan berpuasa di bulan ramadhan? Kita patut bersyukur atas kepedulian para orangtua kita yang begitu telaten dan sabar menggembleng pola ibadah kita sedari kecil. Saya masih ingat betul pengalaman belajar puasa saat masih ingusan, bagaimana rasanya belajar untuk menjauhi makan minum hingga adzan dhuhur sebagai ancang-ancang sebelum sanggup puasa full hingga dur-bedug magrib.
Saat kita masih kecil, belajar berpuasa detik demi detik seakan dijalani dengan begitu berat dan payah ditambah persepsi keliru yang menuntut kita tak boleh sama sekali menelan ludah, sehingga sedikit-sedikit coh meludah membuat tenggorokan kering. Kita pun kerap menjengkelkan kedua orangtua kita dengan pertanyaan yang selalu diulang-ulang “Berapa jam lagi mak, bah, ke buka? Masih lama ya?”
Itulah ramadhan yang memaksa kita untuk kembali merenungi pentingnya kesadaran akan ruang dan waktu. Jika di luar ramadhan kita bahkan tidak begitu peduli terhadap pergantian bulan, hari, jam demi jam, detik ke detik. Sebelum ramadhan nongol, bahkan pemerintah kita merasa perlu mengeluarkan teropong mencari hilal bersidang ishbat untuk mengetahui dan menetapkan permulaan tanggal satu ramadhan dengan biaya yang cukup mahal.
Rasanya hanya bulan ramadhanlah yang awal dan akhirnya begitu kita perhatikan. Disadari atau tidak ramadhan tanpa sadar membuat kita lebih peduli dan sadar waktu, sedikit sedikit menengok jam. Kita menjadi lebih peka terhadap putaran jam demi jam bahkan detik demi detik. Sementara di bulan lain, jangankan sadar akan perubahan jam dan detik, waktu sholat pun kadang tak begitu kita hiraukan. Kita baru sadar waktu hanya saat hendak mendekati tanggal gajian.
Di bulan ini kita “dipaksa” Allah untuk melakukan aneka amal kebajikan berpacu dengan durasi waktu. Anda jangan sinis dengan kata dipaksa atau terpaksa karena memang sejatinya kita nggak mau kok berpuasa. Tapi terpaksa jauh lebih baik ketimbang suka rela. Contoh jika ada dua orang tamu yang berkunjung ke rumah kita dan kita suguhi goreng pisang. Yang satu doyan yang satu tidak. Jika dua-duanya makan dalam rangka menghormati jamuan tuan rumah, mana yang lebih baik yang memang doyan atau tidak.
Singgungan mengenai terpaksa atau tidak hanya selingan, Kita kembali ke pembahasan semula mengenai kesadaran ruang dan waktu. Pentingnya kesadaran akan ruang dan waktu sampai Allah menyinggungnya dalam surat Al ‘Asr ayat satu sampai tiga; Demi masa (ruang dan waktu), sungguh manusia benar-benar diliputi kebangkrutan, kecuali yang beriman dan mengerjakan kebajikan, saling menasehati dalam menaati kebenaran, dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.
Kita bekerja setiap hari dari pagi hingga petang, peras keringat banting tulang, tiada lagi selain berburu keberuntungan atau kebahagiaan. Namun jika kita renungkan tak sedikit dari kita yang gagal fokus dan salah sasaran. Tak jarang yang kita kejar dan sangka sebagai simbol kesuksesan dan keberuntungan justru berujung petaka dan kemalangan.
Selama ini kita menyangka keberuntungan disimbolkan dengan pencapaian kepemilikan harta benda. Rumah mewah, kendaraan mentereng, gadget terupdate, dan sebagainya dan seterusnya. Tak jarang semua itu membuat kita menghalalkan segala cara sehingga tak lagi peduli dengan isyarat Tuhan dalam surat Al ‘Asr.
Keimanan kita gadaikan, keburukan kita rayakan, lebih memilih pembenaran ketimbang kebenaran, dan menganggap terbelakang dan kolot orangorang yang setia pada falsafah kesabaran di tengah dominasi budaya yang serba instan.
Dengan kehadiran ramadhan kita belajar manut pada settingan waktu Allah. Sedang enak lelap tidur dibuai mimpi, kata Allah bangun suruh makan sahur ya kita makan. Saat enak-enak melahap makanan kata Allah imsak, ya kita berhenti makan. Saat mata hendak ngeleuyep meneruskan tidur, kata Allah shalat shubuh dulu yang shalat dulu.
Pagi pagi biasanya ngopi sarapan, kata Allah tahan dulu nanti saja bedug magrib kita manut. Saat maghrib sedang nikmat berbuka melepas haus dan dahaga terdengar iqomah agar segera shalat magrib, kita pun nurut. Setelah shalat magrib selesai makan baru saja mau rebahan, azdan isya menyuruh kita tarawih.
Begitulah seterusnya hampir semua kegiatan kita di bulan ini disetting berdasarkan pola dan manajemen mencipta diri kita langsung Allah rabbul alamin.