Kamis, Maret 28, 2024

Melihat Bebuahan dari Mata Vandana Shiva (Hari Buah Sedunia)

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.

Bebuahan yang melangka

Pada 1 Juli 2019, tidak banyak yang merayakannya sebagai Hari Buah Sedunia. Padahal ia merupakan realitas paling dekat dengan manusia: pangan. Saya sempat merayakannya bersama sejumlah kawan dan lewat tulisan ini ingin saya ucapkan sekali lagi: Selamat Hari Buah Sedunia.

Sebagai negeri tropis yang subur, tanah Indonesia ramah bebuahan. Buah yang ditumbuhkan di Indonesia tidak seluruhnya ‘pribumi’—kebanyakan benih luar yang dikembangkan di Indonesia. Buah asli Indonesia hanya beberapa, dan beberapa di antaranya telah melangka. Seberapa banyak dari kita yang telinganya akrab dengan nama Kemayau, Keledang, Manau, dan Lai?

Bagaimanapun juga, melangkanya bebuahan tertentu bukanlah tanpa alasan. Mungkin faktor-faktor produksi dan distribusi merupakan penyebabnya, namun, menurut hemat saya, faktor terbesar adalah karena manusia melupakannya.

Ada relasi, antara manusia dan alam, yang tidak lagi erat dan sakral. Manusia adalah bagian alam; ia lahir dari alam, membesarkan diri dengan unsur-unsur alam, bergerak dengan menimbang tabiat alam, dan mati kembali ke alam. Alam sesungguhnya merupakan induk, dan manusia anak-anaknya.

Kesadaran itulah yang tercerabut. Terutama setelah revolusi industri pada abad ke-18, manusia mengembangkan kebudayaannya tidak dengan berinteraksi langsung dengan alam. Hampir seluruh kebutuhan didapatkan dari membeli sebagai konsumen. Sedangkan produsen menganggap alam sebagai sekadar ‘bahan baku’ untuk mengembangkan laba. Pada akhirnya, manusia memproduksi dan mengkonsumsi barang-barang. Manusia “melupakan” apa yang alami, yang bukan artifisial.

Dengan ketercerabutan, buah-buahan terlupakan. Ia lantas melangka karena tak disentuh.

Pangan itu sakral

Dr. Vandana Shiva menulis sebuah esai berjudul Fake Food, Fake Meat: Big Food’s Desperate Attempt to Further the Industrialisation of Food. Ia meluncurkan kritik terhadap industri makanan yang menyederhanakan dimensi alam yang sesungguhnya sakral, sebab alam dipenuhi dengan energi penciptaan, yang menumbuhkan dan merawat, yang saling utuh-mengutuhi. Alam bekerja dengan prinsip “berbagi”, “secukupnya”, “kualitas” dan “orisinalitas”.

Kebudayaan apapun yang dikembangkan manusia yang tidak bersandar pada prinsip-prinsip tersebut hanya akan mengantar kehidupan pada kerusakan. Atas dasar itulah, kritik kemudian dikembangkan: bahkan hal sesederhana pangan tidak boleh diperlakukan dengan “privatisasi”, “eksploitasi”, “kuantifikasi”, dan “artifisial”.

Sementara, Vandana Shiva memandang industri pangan bukan saja memproduksi pangan dengan mode produksi terlarang itu, melainkan mengubah cara pandang manusia pada pangan.

Sebagai seorang Hindu yang ekofeminis dan sekaligus pemikir lingkungan yang cukup disegani di dunia, Vandana Shiva merumuskan ontologi pangan. Menurutnya, pangan tidak boleh dianggap “barang”, dan pangan seharusnya bukan dianggap sebagai komoditi. Dengan demikian, hubungan manusia dan pangan bukanlah hubungan mekanikal di laboratorium pabrik-pabrik. Sebab, pangan adalah kehidupan.

Pangan punya posisi penting dalam urusan hidup menghidupkan. “Segala hal adalah makanan bagi yang lain,” tulis Vandana Shiva dengan mengutip Upanishad. Esensi dari pangan adalah energi, dan energi adalah kebutuhan mendasar untuk tumbuh, dan bergerak.

Dengan demikian, pangan adalah sokoguru kehidupan sekaligus kebudayaan. Pangan berperan menghadirkan kesehatan dan mengobati penyakit. Pangan memastikan jejaring kehidupan tidak bersifat sia-sia. Pangan adalah representasi dari keabadian dan kemurahan Tuhan.

Namun, agaknya, bukan industri pangan yang diserang oleh Vandana Shiva, melainkan paradigma industri yang mereduksi kesakralan. Persoalannya bukanlah ketiga pangan dijual, melainkan ketika pangan tidak dilihat kecuali disertai bayang-bayang akan lembar-lembar uang.

Paradigma itu tentu bisa dimiliki baik oleh industri kecil hingga raksasa atau tidak keduanya. Paradigma yang salah pada pangan akan mendorong kapitalisasi sebagai motif dan eksploitasi sebagai modus, yang akhirnya, memupus kesakralan.

Dunia hari ini mengalami 75% kerusakan tanah, air, dan udara sebab alih fungsi lahan tak terkontrol demi kapitalisasi. Akibatnya, biodiversitas yang bersemayam di alam menjadi rusak. Itu yang terjadi ketika hutan disulap menjadi lahan perkebunan sawit, atau ketika ruang terbuka hijau kota disulap menjadi mal.

Sebab, yang lebih berharga adalah kapital atau berlipatgandanya uang, sedangkan rumah besar bernama alam beserta seluruh anggotanya bukanlah pertimbangan utama.

Buah dalam konteks Indonesia

Sejak tahun 1993, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) melaporkan bahwa konsumsi sayuran mengalami kenaikan sebesar 0,62%, sedangkan konsumsi bebuahan turun hingga 0,40%.

Sesuatu yang dianggap mengherankan karena dalam pada itu Indonesia menunjukkan peningkatan mutu ekonomi dan kesejahteraan umumnya diikuti dengan konsumsi bahan pangan sehat. Artinya, konsumsi masyarakat teralihkan pada produk pangan lain, yang mungkin bersifat pabrikatif.

Tugas negara adalah merekacipta kebijakan untuk meninggikan bebuahan nasional di dunia internasional; tugas petani adalah memproduksi bebuahan berkualitas, dan tugas akademisi memastikan informasi ilmiah tentang manfaat bebuahan. Sedangkan pada peringatan Hari Buah Sedunia yang keduabelas, sebagai rakyat awam, kita bisa melakukan lebih dari sekadar berdoa: menumbuhkan lagi kesakralan pada pangan dengan menjadikan bebuahan sebagai batu loncatan.

Ke depan, kita harus terus mencoba kembali pada gaya pangan tradisioal―pangan yang diproduksi sendiri, dan didistribusikan tidak dengan nafsu kapital. Gaya pangan semacam ini akan menyelamatkan lingkungan sebab manusia akan mengolah tanah, menekan kemasan tidak ramah lingkungan, sekaligus menjinakkan hasrat dan imajinasi manusia akan kesejahteraan, dari yang serba uang menuju yang serba berkah.

Selamat Hari Buah Sedunia. Semoga pangan yang baik terus dicurahkan pada kita.

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.