RUU Cipta Kerja atau yang sering diplesetkan menjadi Cikar, sebagai suatu proyeksi tentang kebijakan yang sifatnya eksploitatif. Sebagaimana Cikar yang dikendalikan oleh penunggang, sapi-sapi itu dipaksa menarik gerobak tanpa sekalipun memikirkan, bagaimana nasib sapi tersebut, ia kelelahan atau tidak, tersiksa atau tidak.
Pengandaian tersebut melengkapi betapa banalnya RUU ini, yang mana akan banyak korban, khususnya buruh, petani dan lingkungan hidup. RUU yang secara ide merupakan formula untuk menyederhanakan regulasi agar koheren dengan investasi, menjadi momok menakutkan bagi keberlanjutan kehidupan rakyat itu sendiri.
Seperti dalam penentuannya tidak ada ruang-ruang deliberatif, artinya ada hal yang dipaksakan demi keuntungan segelintir elite. Merujuk pada pemikiran Habermas yang diterjemahkan dalam politik deliberatifnya Fahrul Muzaqqi (2019), di ruang ini ialah tempat berkumpulnya segala pemikiran untuk merumuskan hal-hal kolektif.
Sejalan dengan itu, Hatta dalam konsep republikanisme yang dijelaskan oleh Robertus Robert (2007) ada ruang di mana musayawarah sebagai presentasi dari res publica atau ruang umum.
Tetapi di dalam RUU Cikar menihilkan itu semua, di mana ruang-ruang musyawarah tertutup serta dibajak oleh kepentingan segelintir elite. Ini bisa dilihat dari terlibatnya Apindo dan segelintir pengusaha dalam penentuan RUU ini. Sehingga isi RUU ini lebih banyak menguntungkan sekelompok elite pemodal.
Misal, kita bicara penghilangan insentif haid, upah kerja berbasis Upah Minimum Provinsi, upah dihitung dari jam kerja, penghilangan sanksi pidana pada pengusaha dalam konteks ranah perburuhan hingga perluasan definisi outsourcing.
Tidak hanya itu saja RUU ini juga memfasilitasi dan mengekselerasi perampasan ruang hidup rakyat. Seperti penegasan pengalokasian ruang untuk kepentingan negara, melegitimasi praktik land banking dan mereduksi hak ulayat serta hak waris atas tanah.
Pada ranah ini, akan muncul persoalan perampasan ruang yang berakibat konflik. Karena sifat RUU ini dalam konteks agraria tidak menyelasaikan ketimpangan dan ketidakselarasan ruang, tetapi semakin memperparah pada konteks tersebut.
Selain itu demi menarik investor secara banal, preskripsi tentang lingkungan juga direduksi. Seperti dalam pasal 18 hingga 23 merevisi UU PPLH 32/2009, yakni terkait izin lingkungan yang tidak ketat, permudahan izin tambang hingga perluasan luas konsesi, wacana Amdal yang ditentukan oleh kriteria yang abstrak, sampai penghapusan sanksi pidana bagi perusak lingkungan. Ini menunjukan betapa mengerikannya RUU Cikar ini.
Jikalau RUU ini disahkan, maka ke depan akan ada ruang-ruang kehidupan yang terampas. Belum disahkan saja muncul banyak problem, yang terbaru saja buruh pabrik Es Krim Aice dipaksa bekerja sesuai ketentuan. Keselamatan kerja terabaikan, sehingga tidak kaget jika beberapa kali terjadi banyak pekerja mengalami celaka salah satunya keguguran.
Selain itu, jika disahkan maka akan terjadi de-demokratisasi, khususnya dalam ranah serikat buruh. Di mana ketika tanah-tanah beralih fungsi, konversi pekerjaan pun tak terelakan, di sini jumlah reserve labour army atau cadangan pekerja akan membeludak, ini artinya akan ada union busting hingga diskursus fleksibilitas tenaga kerja akan semakin terealisasi.
Pada konteks inilah sovereign power akan terlihat, melalui relasi kuasa hegemonik yang menundukan rakyat. Pada sektor pangan akan kolaps, karena tanah-tanah mudah beralih fungsi. Sehingga ketergantungan pada impor akan semakin tinggi.
Kelas-kelas marjinal akan semakin terekslusi, cita-cita demokrasi untuk kesejahteraan masif demi menuju keadilan sosial, akan tinggal kenangan bahkan hanya berupa ilusi. Maka dari itu, momentum ini harus menstimulasi rakyat agar bergerak dan melawan, sebagaimana reformasi dikorupsi lalu. RUU Cikar harus digagalkan demi keberlanjutan demokrasi Republik Indonesia.