“Teriakan minta tolong terakhir janda beranak tiga di Riau!” tulis salah satu media daring.
“Kisah Andhika Pratama yang tak disetujui nenikah dengan Ussy karena Janda!” tulis media daring lain di sebuah kesempatan.
Tiga judul berita itu hanyalah sebagian kecil dari banyaknya berita-berita di media massa di Indonesia yang substansinya menyudutkan dan mengobjektifikasi perempuan dengan status janda. Seolah itu adalah hal yang buruk dan memalukan, sumber informasi utama masyarakat ini seolah tak pernah berhenti menambahkan aneka macam bumbu ke dalam pemberitaan mengenai perempuan berstatus janda.
Tak berhenti sampai di situ. Perempuan berstatus janda yang memiliki anak, biasa disebut juga dengan sebutan ibu tunggal (single mother), juga kerap menjadi sasaran pemberitaan miring. Padahal, apapun keadaannya, ibu tetaplah seseorang yang berjasa karena telah melahirkan dan merawat anak-anaknya.
Ditambah lagi, penghargaan besar terhadap sosok ibu telah diakui dalam bentuk ditetapkannya Hari Ibu Nasional setiap tanggal 22 Desember. Lantas mengapa stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap ibu tunggal kerap mengarah pada hal buruk? Mengapa kelompok tersebut amat rentan menjadi bahan objektifikasi dan penyudutan dari media dan masyarakat sekitar?
Hal tersebut ternyata berkaitan dengan kegagalan media massa untuk merepresentasikan perempuan secara adil dan komperhensif. Hal tersebut disampaikan pakar media Ott dan Mack dalam teori analisis feminis.
Teori tersebut menekankan bagaimana media mengakomodir distribusi kekuasaan dan kekuatan yang tidak adil terhadap perempuan. Lambat laun, hal itu mendorong lahirnya objektifikasi terhadap perempuan sebagai turunan dari inferioritas yang media bangun ketika merepresentasikan sosok perempuan.
Sunarto dalam bukunya yang berjudul Televisi, Kekerasan, dan Perempuan mengatakan bahwa media massa merepresentasikan perempuan semata memiliki peran di rumah tangga, bergantung pada pria, tidak mampu membuat keputusan penting, berperan sebagai objek atau simbol seks, objek pelecehan dan kekerasan, dan lain-lain.
Sebenarnya, objektifikasi secara seksual dan emosional tidak hanya menimpa kelompok janda dan para ibu tunggal. Perempuan secara umum juga turut menjadi sasaran hal tersebut. Hanya saja, kaum janda dan ibu tunggal kerap dianggap sebagai perempuan pada posisi yang lemah, tidak berdaya, dan perlu dikasihani sehingga sering kali terjadi ketidakadilan terhadap mereka.
Media massa juga memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan stigma tersebut untuk mengobjektifikasi status janda dan ibu tunggal secara seksual. Hal itu diperkuat dengan pandangan Profesor Jurnalisme, Linda Steiner, dalam bukunya New Approaches and Reconsiderations Feminist Media Theory bahwa sesungguhnya media tidak bisa merepresentasikan perempuan secarara akurat. Tidak ada media yang tidak tergiur untuk mengobjektifikasi perempuan dengan memfokuskan visualisasi pada bagian-bagian tubuh seperti bibir, dada (payudara), dan kaki untuk kepuasan para penonton laki-lakinya.
Pemilihan judul-judul berita yang sensasional mengenai janda dan ibu tunggal dilakukan media untuk memprovokasi perhatian atau membangkitkan respons emosional tertentu pada khalayak. Media turut menyumbang aspek pendukung objektifikasi terhadap perempuan. Pilihan kata yang subjektif seperti “cantik”, “gadis”, atau “janda” yang dikontekstualisasikan dengan substansi cabul membuat masyarakat mengadopsi rape culture atau budaya yang menormalkan perkosaaan dalam sistem masyarakat yang patriarkis.
Hal itu berkaitan dengan pendapat Ahli Sejarah dan Filsafat dari Babes-Bolyai University Romania, Diana Damean, dalam Media and Gender: Constructing Feminine Identities in a Postmodern Culture bahwa media mengikuti tiga koordinat ketika menggambarkan sosok perempuan, yaitu gambar (jika dia menginginkan kecantikan), kehidupan pribadi (jika dia memiliki pasangan dan anak), dan karier (berbakat-tidaknya dia dalam pekerjaannya). Skema ini berpeluang memanipulasi sikap perempuan terhadap citra dan waktu luang. Hal ini yang membuat citra terhadap kehidupan pribadi peempuan dianggap lebih penting ketimbang aktivitasnya di ruang publik.
Bila ditelisik lebih jauh, sesungguhnya setiap perempuan memiliki banyak aspek lain dari dirinya yang lebih layak untuk diberitakan dan diketahui publik, seperti karir dan profesi, hobi, pengalaman hidup, dan sebagainya. Tapi, media malah memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek kehidupan pribadi perempuan, khususnya janda dan ibu tunggal. Padahal, sesungguhnya hal tersebut tak lagi relevan dengan perkembangan zaman yang seharusnya mengakomodasi kesetaraan gender.
Dalam hal ini, media tidak berperan sendirian. Teori dependensi media membahas bahwa media merepresentasikan sekaligus mengikuti sistem realitas sosial di masyarakat sekitar. Media juga berperan mengekspresikan konstruksi realitas sosial tertentu. Sementara, sistem sosial di sebagian besar masyarakat di dunia, termasuk Indonesia, masih menganut patriarkisme, sebuah sistem yang melestarikan subordinasi perempuan.
Terdapat beberapa tradisi dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang turut menyumbang pembentukan dan pelestarian stigma buruk ini. Salah satunya adalah perempuan yang bercerai di usia muda, atau dikenal dengan sebutan janda kembang, lebih diinginkan secara seksual ketimbang janda yang umurnya lebih tua. Hal itu menunjukkan bahwa stigmatisasi seksual juga berkaitan dengan umur perempuan.
Stigmatisasi terekstrem terjadi pada “janda komunis”, atau para istri anggota Partai Komunis Indonesia yang terbunuh pada kisaran tahun 1965. Di sekitar mereka, masyarakat melontarkan berbagai mitos aneh yang membuat terminologi janda memiliki konotasi berbahaya dan kelainan seksual.
Penelitian I Nyoman Darma Putra dan Helen Creese yang berjudul Negotiating cultural constraints: strategic decision-making by widows and divorcees (janda) in contemporary Bali juga menguatkan pendapat bahwa identitas sebagai ibu yang baik memiliki jarak dengan perempuan yang berstatus sebagai janda.
Untuk menebus “dosa” tersebut, perempuan memiliki beban untuk mengabdi pada agama dan berhubungan kembali dengan keluarga. Ketakutan akan rasa malu dan anggapan buruk masyarakat bahkan membuat banyak perempuan mempertahankan pernikahan yang tidak bahagia dan menyiksa alih-alih berpisah.
Hal itu salah satunya disebabkan oleh representasi buruk mengenai status janda di berbagai tayangan televisi, khususnya sinetron. Stigma buruk terhadap janda dan ibu tunggal telah menyerang identitas moral dan nilai diri mereka sehingga membuatnya sulit membangun reputasi sebagai perempuan terhormat yang memiliki moral baik dalam kehidupan.
Media massa sebagai sumber informasi masyarakat seharusnya bisa merealisasikan fungsi edukasinya pada ranah isu-isu yang relevan. Salah satunya adalah isu kesetaraan gender. Objektifikasi status janda dan ibu tunggal bukanlah hal yang seharusnya dilestarikan.
Ibu tunggal atau bukan ibu tunggal tak seharusnya menghentikan tiap anak untuk menghargai ibunya. Justru, ketika dunia terasa begitu melelahkan, di situlah ibu bisa mengandalkan anak-anaknya untuk memberi kekuatan yang menyelamatkan dia.