Jumat, Maret 29, 2024

Melawan Ketakutan terhadap Dominasi Kecerdasan Buatan (AI)

Khafidlotun Muslikhah
Khafidlotun Muslikhah
Alumni Sistem Informasi Universitas Indonesia, Mahasiswa Magister Desain Institut Teknologi Bandung

Tulisan ini dibuat karena merasa terpelatuk dengan pernyataan Presiden Jokowi di suatu artikel yang memperingatkan bahwa robotik yang akan menggantikan peran manusia. “Penerjemah sudah banyak sekali, ke depan akan hilang karena aplikasi translation. Insinyur-insinyur hati-hati bisa digantikan advance robotics,” jelasnya.

Hal itu membuat saya bertanya-tanya, benarkan kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI) sudah berkembang sejauh itu? Apakah memang akan mampu menggantikan peran manusia seutuhnya?

Pertanyaan itu sedikit terjawab oleh seorang teman yang menjadi peneliti AI khususnya NLP. Dia menyatakan bahwa saat ini mesin terjemahan sudah semakin canggih namun belum bisa menangani beberapa kasus seperti sarkasme, lelucon dan bahasa daerah.

Namun saya masih penasaran, apakah AI memang akan mencapai level seperti yang diungkapkan Pak Presiden? AI melakukan pekerjaannya karena dia diatur untuk belajar dari data yang sudah dikumpulkan. AI disusun dari algoritma yang mengatur bagaimana si mesin bisa belajar. Contoh yang mudah ditemui adalah konten yang disajikan dalam halaman beranda YouTube.

Hasil rekomendasinya didasarkan pada riwayat tontonan kita. Mesin mempelajari tipe dan selera tontonan sehingga bisa memberi rekomendasi yang sesuai. Sistem spam di email juga memanfaatkan hal ini agar bisa memfilter spam secara otomatis.

Contoh lain yang mulai mendominasi ranah aplikasi AI adalah mesin terjemahan dan chat bot. Tentu kita menyadari bahwa kuliatas mesin terjemahan dan chat bot semakin meningkat dari awal kemunculannya. AI juga mulai diimplementasikan dalam mesin lain seperti munculnya self driving cars meski belum digunakan oleh secara luas. Namun, apakah itu cukup mengimbangi kemampuan manusia?

Ada banyak atribut manusia yang tidak mudah begitu saja ditiru oleh AI, misalnya intuisi, standar etika, dan emosi. Ketiga hal itu dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tertentu seperti terjemahan dan komunikasi chat bot. Misalnya saat ini kata ‘anjing’ tidak hanya berarti hewan, namun juga umpatan. Maknanya tergantung dari konteks yang dideteksi lewat perasaan manusia. Mesin belum bisa mendeteksi itu karena fitur ‘merasakan sesuatu’ tidak bisa dengan mudahnya dibuat algoritma.

Gembar-gembor bahwa AI menggantikan manusia sepenuhnya kemungkinan dipengaruhi oleh munculnya konsep Singularity. Singularity adalah suatu hipotesis  yang memperkirakan bahwa perkembangan teknologi bisa tidak terkontrol dan menghasilkan kecerdasan yang melampaui kecerdasan manusia.

Konsep ini dipopulerkan pada tahun 1993 oleh Vernor Vinge dalam essainya yang menyebutkan bahwa Singularity akan mengakhiri era manusia karena adanya superintelligence yang semakin upgrade (dengan belajar melalui data). Beberapa tokoh seperti Stephen Hawking juga memberi peringatan bahwa jika tidak terkontrol, manusia bisa mendekati kepunahan. Hal tersebutlah yang mungkin mulai dipercaya masyarakat, termasuk politisi dan presiden.

Pendapat tentang Singularity yang akan menjadi kenyataan juga mendapat kritik dari filsuf seperti Steven Pinker pada 2008 yang mengatakan bahwa imajinasi dan prediksi tentang Singularity tidak bisa menjadi bukti bahwa itu mungkin terjadi di dunia nyata. Beberapa film fiksi ilmiah yang membuat imajinasi itu seperti nyata juga tidak bisa menjadi justifikasi bahwa Singularity pasti akan terwujud.

Kemampuan AI yang diyakini bisa menyamai manusia (seperti prediksi di atas) lama-kelamaan mungkin bisa membuat manusia menganggap kalau kemampuan AI suatu hari akan setara dengan manusia, padahal masih punya banyak keterbatasan. Seperti halnya orang-orang yang percaya dengan berita hoax. Bisa dibayangkan jika hal ini terjadi?

Daripada menyuarakan prediksi yang belum tentu terjadi dan masih belum jelas, lebih baik pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah berhenti menciptakan imajinasi AI yang akan menggantikan manusia sepenuhnya. Namun, mereka perlu mulai menyusun kejelasan bagaimana teknologi membentuk masa depan yang lebih baik untuk manusia.

Seperti pendapat Stephen Omuhondro (2008), kita tidak boleh hanya berkutat dengan pemahaman logis dari canggihnya teknologi, tetapi juga harus memahami secara mendalam tentang nilai atau budaya yang perlu kita bangun di masa depan. Kombinasi dari logika dan pemahaman nilai perlu dikembangkan untuk memberdayakan semangat manusia, bukan untuk meniadakannya.

Khafidlotun Muslikhah
Khafidlotun Muslikhah
Alumni Sistem Informasi Universitas Indonesia, Mahasiswa Magister Desain Institut Teknologi Bandung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.