No matter what they said to you, idea and words can change the world
Dead Poets Society
Waktu itu, ketika menulis resolusi 2016, saya tahu itu tidak akan berarti apa-apa sepanjang 2016 nanti. Maka pada akhir tahun itu saya tidak melakukannya lagi untuk 2017. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya. Semua hal yang ditulis sebagai resolusi seringkali 98%-nya meleset.
Tapi penulisan rencana (resolusi) ternyata bisa sangat menggoda. Lucu sekali jika melihat bagaimana cara manusia berpikir dan memandang apa yang penting dan tidak. Mana perencanaan, dan mana yang sekadar lamunan.
Hal itu juga terjadi di readinglist 2017 dan 2016 di akun goodreadsku. Ada 6 buku yang aku terakan di laman readinglist tersebut. Tadi saya cek, ternyata hanya satu yang tamat. Dua lainnya masih saya cicil. Tiga sisanya bahkan menyentuh pun tidak. Tapi anehnya tahun 2016-2017 adalah tahun di mana aku membaca lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hampir 40-an, dan belum buku elektroniknya.
Yang unik 80% dari buku itu adalah buku-buku yang paling menggetarkan dalam perjalanan membacaku. Terutama terjemahan dari buku-buku yang masuk dalam fenomena sastra dunia: El Boom dan selalu mendapat perhatian yang menggairahkan dalam jurnal baca Novelis Eka Kurniawan dalam portalnya.
El-Boom merupakan trend sastra Amerika Latin dalam peta sastra internasional yang terjadi pada rentang 1960-1970. Trend yang melambungkan nama-nama Pablo Neruda, Juan Rulfo, Gabriel Garcia Márquez, Mario Vargas Llosa, bahkan Jorge Luis Borges. Beberapa bahkan mendapatkan Nobel Sastra Dunia.
Tapi ada yang lebih menarik dari el-boom ini. Adalah Carmen Ballcels, sebuah nama dan petunjuk serius bagi para pegiat sastra, khususnya yang selalu kebingungan seperti saya.
Ballcels sebagai “ibu” bagi para sastrawan latin menemukan potensi sastra(wan) Amerika Latin yang saat itu luput dari radar sastra dunia. Kemudian mengadopsi dan mengasuhnya seperti anak kandung sendiri. Membangunkan rumah, menjamin menu makan yang sehat, perlindungan, dan semua hal yang biasa dilakukan seorang ibu. Ia menghubungkan semua potensi tersebut dan melakukan penerjemahan-penerjemahan ke bahasa-bahasa utama (bahasa Inggris terutama). Kerja-kerja penerbitan dan penerjemahan tersebut mengubah wajah jagat sastra dunia.
Setidaknya ada beberapa hal yang dilakukan Ballcels sebelum El Boom meledak. Pertama ia membangun sebuah ruang penerbitan yang nyaman bagi para penulisnya. Mati-matian menentang sistem kontrak seumur hidup yang merugikan pengarang. Dan gigih menjembatani potensi luar biasa sastra(wan) Amerika Latin ke jagat sastra dunia.
Pertanyaan kemudian naik, mungkinkah hal serupa terjadi di kita—Asia Tenggara? Ujar Ikhsan Abdul Hakim dalam esainya “Menakar Potensi Boom Sastra Asia Tenggara Macam El Boom Sastra Amerika Latin”. Ia pesimis hal itu dapat terjadi dalam skup sebesar Asia Tenggara. Ada banyak sebabnya, tapi yang paling mencolok adalah karena “selama ini kita saling asing, dan saling tidak membaca.”
(Btw, apakah kamu membaca karya sastra negara-negara Asia Tenggara selain Indonesia? Atau jangan-jangan kau baru saja terpikir bahwa di tempat seperti Laos dan Kamboja ternyata ada yang menulis puisi.)
Sekarang mari kita tarik kegelisahan Ikhsan Abdul Hakim ke dalam cakupan daerah yang dua kali lebih kecil dari Asia Tengggara, yakni Purwakarta. Sebuah kabupaten kecil di Jawa Barat yang namanya kerap disangkakan orang sebagai suatu daerah di Jawa tengah, Purwokerto.
Dari Kuantitas ke Kualitas
Untuk membantu menentukan ke mana arah pembicaraan ini izinkan saya memberikan pertanyaan berikut sebagai pegangan: ketika sastra menjadi gerakan, harus seperti apakah gerakan itu?
Masalahnya semua hal yang sudah dibicarakan kerap berhenti di sana. Begitu bubar obrolan, bubar pula apa-apa yang tadinya masuk dalam buku agenda. Melihat itu semua membuat saya agak frustasi. Karena buku agenda itu, adalah buku tempat saya menulis resolusi tahun baru saya pribadi. Nasib rencana-rencana kerja tersebut nyatanya tak jauh bedaa dengan resolusi-resolusian seperti yang kusinggung tadi.
Jika musti jujur, kegiataan kesastraan kami mentok pada hal-hal yang itu-itu saja, sehingga pelan-pelan menyebabkan orang-orang yang ada dalam lingkaran pergaulan ini tampak jenuh. Banyak yang berpikir mustinya ada hal lain. Hal yang memang seharusnya dilakukan sejak awal sekali. Sebuah tradisi paling mendasar dalam gerakan-gerakan sastra yang pernah ada di dunia manapun: penerbitan.
Lalu masuklah persoalan ini dalam resolusi 2016, tahun lalu. Ketika aku ceritakan pada seorang teman terkait ini, ia merasa bahwa ia juga telah memikirkan ide tersebut sejak lama. Pembicaraan itu sudah terjadi sekitar setahun yang lalu. Ketika aku cerita pada yang lainnya lagi, ia malah khawatir: kita belum siap, kualitasnya masih rendah.
Bagaimana mungkin kita berharap menemukan satu karya yang punya kualitas lumayan, jika kuantitasnya saja kita belum siap. Coba kita hitung, dari 100 buku yang terbit di Indonesia dalam satu dekade terakhir ada berapa buku yang menarik perhatian dunia? Satu? Tiga?
Apakah di dalam satu atau tiga saja itu ada kita, orang Purwakarta?
Kalau pertanyaan itu ternyata terlalu kasar, bagaimana jika pertanyaannya begini: dalam satu tahun terakhir ini, ada berapa buku yang terbit dari tangan orang Purwakarta? Pasti ada. Berapakah? Silakan anda taksir sendiri jumlahnya.
Btw, adakah akan tiba masanya kita bisa bedakan, perencanaan dan lamunan?