Jumat, November 8, 2024

Melampaui Hasrat dan Filsafat

Fadhel Yafie
Fadhel Yafiehttp://fadelisme.wordpress.com
Pemikir bebas, penulis lepas.
- Advertisement -

Banyak orang yang alergi mendengar kata: filsafat. Kita alergi pada sesuatu yang belum kita ketahui. Filsafat adalah sebuah kata yang sulit dipahami. Setiap filsuf memiliki definisinya masing-masing tentang apa itu filsafat. Secara etimologis, filsafat diambil dari dua kata Yunani, phylo yang artinya cinta dan sophie yang artinya kebijaksanaan. Bagi saya, filsafat adalah cara untuk mencapai kebijaksanaan. Ya, subjektif sekali memang.

Tetapi, filsafat itu berbicara tentang sesuatu yang subjektif. Baik itu intra-subjektif maupun inter-subjektif. Sebab, jika filsafat memasuki ranah objektif, maka ia harus bertekuk lutut di hadapan sains yang bersenjatakan fakta-fakta. Filsafat hanya berbicara tentang realitas subjektif, sesuatu yang hanya ada di imajinasi, mimpi dan khayalan. Terdengar rumit dan menyeramkan, tapi manusia tidak akan pernah bisa menghindarinya.

Lagipula, bukankah kita hidup untuk mewujudkan mimpi? Menjadikan sesuatu yang belum ada menjadi ada. Lantas, untuk apa menghindar dari bayangan mimpi?

Pernahkan kalian mempertanyakan sesuatu yang sepertinya taken for granted? Seperti pertanyaan: Mengapa saya dilahirkan di dunia? Apa yang membuat diri ini sadar? Siapa yang memerintahkan otak untuk berpikir? Apa tujuan Tuhan menciptakan manusia? Benarkah agama itu? Bagaimana sistem yang betul-betul adil? Tapi, keadilan yang seperti apa? Atau yang lebih ekstrem lagi; Apakah Tuhan itu benar-benar ada? Masih banyak lagi daftar pertanyaan-pertanyaan aneh semacam ini. Pertanyaan-pertanyaan aneh ini saya sebut sebagai pertanyaan filosofis.

Entah mengapa saya yakin pasti manusia pernah melontarkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu, setidaknya ketika masih kecil dulu. Ini adalah konsekuensi logis dari otak manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mampu berpikir abstrak. Jika dalam batok kepala kalian tidak pernah terbesit pertanyaan filosofis semacam itu, maka kalian perlu mempertanyakan kesehatan otak kalian.

Nah, melontarkan pertanyaan filosofis yang membingungkan seperti di atas adalah sebuah proses berfilsafat! Kalau boleh mendefinisikan sesuatu, saya mendefinisikan filsafat sebagai ilmu tentang bertanya. Mempertanyakan segala sesuatu yang terlihat rasional dan i-rasional, bukan a-rasional.

Irasional artinya tidak rasional tetapi masih dalam koridor yang sama. Gampangnya begini, dingin dan panas adalah dua kutub yang bertolak belakang. Dingin adalah kondisi ketiadaan panas, ia bukan sesuatu yang berbeda dengan panas. Panas itu positif, dingin itu negatif. Dingin dan panas bisa diukur menggunakan satu alat ukur yang sama, misalnya termometer. Boleh dibilang, dingin adalah i-panas.

Kalau a-rasional adalah sesuatu yang tidak berhubungan dengan rasional. Contoh gampangnya adalah imajinasi. Imajinasi adalah sesuatu yang a-rasional, sebab itu tidak mengharuskan kausalitas atau sebab akibat. Seperti kata Einstein, logika akan membawamu dari A ke B, sedangkan imajinasi bisa membawamu kemana saja. Logika adalah anak kandung dari rasionalitas. Sesuatu yang rasional harus berhubungan dari A ke B ke C ke D dan seterusnya. Harus ada sebab akibat. Tidak boleh lompat-lompat.

Jadi, mempertanyakan sesuatu yang i-rasional adalah upaya untuk mencari pola kausalitas. Membuat sesuatu yang tadinya tampak tidak teratur menjadi berkesinambungan. Berusaha untuk selalu mencari garis kausalitas agar dapat dipahami akal. Inilah ranah filsafat.

Lautan Kegelisahan

- Advertisement -

Pertanyaan filosofis selalu menggelisahkan. Teman saya pernah mengatakan “Lama-lama gila lu mempertanyakan yang begitu,” ucapnya dengan tatapan mata penuh keheranan. “Apa untungnya mikir begitu? Mending mikir gimana caranya nyari duit, bikin bisnis, dan lain sebagainya. Ngapain mikir yang ga guna?” lanjutnya cerewet tanpa henti.

Percayalah teman, saya juga berusaha keras untuk mengabaikan pertanyaan filosofis yang membingungkan itu. Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan itu terus datang memberondong kepala. Menghindari pertanyaan filosofis itu sama saja seperti menghindar dari diri sendiri. Tidak, saya tidak mau seperti itu. Saya mau sedikit berupaya mengenal diri ini, paling tidak mau jujur menghadapinya.

Saya juga sering mempertanyakan tentang kegunaan dari proses berfilsafat. Lalu, ketika sudah mendapat jawaban dari pertanyaan filosofis, mau ngapain? Proses berfilsafat juga tidak mudah. Membutuhkan banyak tenaga untuk berpikir keras. Waktu juga tidak sedikit yang terbuang dari proses berfilsafat. Daripada menghabiskan tenaga dan waktu untuk hal yang sia-sial, lebih baik memikirkan hal yang jelas-jelas berguna. Pragmatis.

Pragmatisme ini yang membuat banyak orang alergi terhadap filsafat. Harap dimaklumi. Tidak semua orang memiliki tenaga dan waktu ekstra. Banyak dari mereka yang menghabiskan semua itu untuk menghidupi orang-orang yang dicintainya. Ini sama sekali tidak salah. Malah, mungkin jauh lebih mulia daripada orang-orang seperti saya yang sering larut dalam pikiran sendiri tanpa berbuat apa-apa.

Daripada terus tenggelam dalam lautan pertanyaan filosofis yang membingungkan, saya memilih untuk belajar berenang agar tak tenggelam dalam lautannya. Kita sering melihat teman yang sering berpikir dalam-dalam, hingga tanpa sadar mereka tenggelam di dalamnya. Mereka sibuk berpikir tanpa menghasilkan apa-apa. Alhasil, tidak sedikit juga yang menjadi gila karenanya. Terombang ambing dalam lautan kegelisahan filsafat. Terdengar cukup menyeramkan?

Bagi saya, kegelisahan itu lahir dari hasrat yang tidak terpenuhi. Filsafat merupakan salah satu cara untuk menyalurkan hasrat penasaran atau hasrat untuk menemukan pola. Di dalam lautan hasrat tersebut, masih banyak hasrat-hasrat lain seperti hasrat berkuasa, memiliki, diakui, dipandang, dan lain sebagainya.

Melampaui Hasrat

Saya merekomendasikan pada siapapun yang suka berpikir dalam atau siapapun yang mengenal orang-orang yang berpikir dalam untuk melakukan sesuatu, yaitu belajar berenang di lautan kegelisahan tersebut. Kemampuan berenang ini membuat kita mampu melampaui filsafat. Karena, sia-sia sekali berpikir dalam-dalam ketika masih ada orang yang diinjak kemanusiaannya? Saya yakin, mereka yang biasa berpikir dalam-dalam menganggap kegelisahan sosial adalah masalah sepele, tidak menarik perhatian rasionalitasnya yang tinggi.

Kita harus menyadari bahwa rasa penasaran merupakan hasrat manusia untuk menemukan pola. Akal itu dikonstruk sedemikian rupa untuk menemukan pola. Ketika kita menyadari bahwa semua yang kita pertanyakan hanya hasrat kita, maka tak ada lagi kegelisahan. Hasrat hanya akan melahirkan kegelisahan. Mengejar hasrat adalah sesuatu yang sia-sia. Karena, begitu hal yang memenuhi hasrat hilang, kita akan berusaha lebih keras untuk mendapatkannya lagi.

Nah, ketika kita memahami bahwa rasa penasaran adalah usaha untuk memenuhi hasrat yang “super-halus”, dengan mudah kita bisa memahami hasrat-hasrat lain yang tidak begitu halus. Seperti hasrat untuk memiliki, hasrat untuk diakui, dan hasrat-hasrat lainnya. Apalagi sekedar hasrat untuk pemenuhan kebutuhan praktis.

Saya kira, jika kita sudah mengenali betul hasrat-hasrat dalam diri, maka kita bisa lebih mengenal diri ini. Orang bijak mengatakan siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Mari kita belajar mengenali diri sendiri dengan mula-mula belajar berenang di lautan hasrat. Orang yang senang berpikir dalam-dalam tinggal selangkah lagi untuk melampaui hasrat. Dan menjadi manusia yang benar-benar merdeka. Bahkan, merdeka dari hasrat sendiri! Kemerdekaan yang hakiki, bukan? Wallahu A’lam.

 

Fadhel Yafie
Fadhel Yafiehttp://fadelisme.wordpress.com
Pemikir bebas, penulis lepas.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.