Jumat, April 19, 2024

Melampaui Debat Pilpres Tentang Pendidikan

rereyakbar
rereyakbar
Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam debat pilpres tentang pendidikan, kedua paslon mendasari argumentasinya pada persoalan tingginya angka pengangguran berpendidikan (educated unemployement) di Indonesia.

Memang, selama lima tahun (2014-2018), data BPS menunjukan bahwa presentase penganggur muda yang berpendidikan SMA ke atas meningkat dari 60% menjadi 74%. Lebih detil lagi, angka tersebut disumbang dari peningkatan penganggur muda dengan pendidikan SMK dari sekitar 23% menjadi 33%, dan juga diploma dan sarjana dari 4,4% menjadi 10%.

Atas dasar permasalahan inilah, Ma’ruf Amin memandang bahwa perlu adanya revitalisasi SMK dan menghadrikan upaya pelatihan gratis lewat balai latihan kerja. Sementara itu, Sandiaga Uno memandang perlu adanya link and match antara dunia pendidikan dengan industri. Ia juga mencanangkan program ‘Rumah Siap Kerja’, yakni kegiatan pelatihan bagi pengangguran muda. Pada prinsipnya, kedua paslon ingin agar para lulusan sekolah memiliki skill yang dapat diserap industri kerja.

Namun, jika ditelaah lebih lanjut, peroalannya tidak sesempit tentang ketiadaan skill penganggur berpendidikan untuk diserap industri kerja. Tapi boleh jadi persoalannya ada pada paradigma pendidikan itu sendiri.

Jika kita berkaca pada data pengangguran antara desa dan kota, data BPS menunjukan bahwa presentase pengangguran perkotaan pada 2018 sebesar 6,45% atau tercatat lebih tinggi dibandingkan di pedesaan 4,04%. Itu artinya migrasi desa-kota bisa dikatakan mempengaruhi presentase pengangguran. Berdasarkan data tersebut, adalah penting untuk mengetahui laju urbanisasi yang terjadi di Indonesia untuk menghadirkan konteks.

Tercatat bahwa laju urbanisasi di Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia, yakni 4% per tahun. Dengan laju urbanisasi tersebut, akan terjadi ledakan penduduk di daerah perkotaan. Pada 2025, diperkirakan porsi penduduk perkotaan mencapai 67,7% dan meledak menjadi 85% atau 320 juta jiwa pada 2050 ketimbang di pedesaan yang semakin turun atau diperkirakan hanya tinggal 50 juta jiwa. Daya tarik perkotaan menjadi pemicu urbanisasi penduduk desa.

Di titik inilah muncul pertanyaan, mengapa para murid di pedesaan ingin hijrah ke kota? Pendidikan seperti apa yang memicu murid desa hijrah ke kota? Pertanyaan ini cukup beralasan mengingat setiap peningkatan tingkat pendidikan sebesar 1% maka akan berdampak pada peningkatan urbanisasi sebesar 0,8%. Itu artinya meskipun tingkat pendidikan di desa semakin meningkat, mereka toh justru akan meninggalkan desanya dan memilih untuk bekerja di kota.

Pendidikan Bias Kota

Salah satu penyebab tingginya laju urbanisasi adalah sistem pendidikan di Indonesia yang masih bias kota. Selama ini asupan pendidikan yang diberikan oleh murid selalu menggunakan paradigma kota. Murid kemudian mengkonseptualisasikan kesuksesan dari kaca mata kota, bahwa kesuksesan hanya dapat diraih jika mereka hijrah ke kota.

Ada semacam doktrinasi yang terjadi di sekolah tentang profesi yang ideal. Orang-orang berdasi yang kerja di kota dianggap sebagai ukuran profesi yang sukses. Sebaliknya, menjadi petani adalah profesi yang terbelakang, misalnya. Karena mindset tersebut, tujuan murid sekolah adalah untuk menjadi sukses versi orang-orang kota.

Selain itu, banyak buku-buku yang dibaca oleh murid di desa bercerita tentang kehidupan kota yang sama sekali tidak ada relasi dengan lingkungan mereka. Guru tidak pernah merancang murid untuk dapat mengkontekstualisasikan pelajaran yang ia terima di sekolah dengan kebutuhan yang ada di daerah mereka.

Misalnya ketika guru mengajar ilmu pengetahuan alam, kebanyakan guru hanya mensyaratkan murid untuk hafal nama-nama latin dari tumbuhan. Guru, misalnya, seharusnya mendorong murid untuk menelusuri problema dampak dari bahan limbah pabrik terhadap lingkungan pertanian dan perkebunan di wilayah mereka. Pada prinsipnya, pendidikan di Indonesia membuat murid tercerabut dari relasi ekonomi, sosial, budaya yang ada di daerah mereka.

Alih-alih memperbaiki kualitas guru, kebijakan yang diambil pemerintah selama ini hanya berkutat pada peningkatan kesejahteraan para guru ketimbang kualitas mereka mengajar. Research in Improving System of Education (RISE) memperlihatkan bahwa kurang dari 10% dari total sekitar 500 kabupaten dan kota di Indonesia yang teridentifikasi memiliki kebijakan atau program terkait perbaikan kualitas guru.

Meskipun pemerintah memiliki program sertifikasi guru – yakni sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru –, namun data World Bank menunjukan bahwa 0 (nol) korelasi antara guru yang tersertifikasi dengan hasil belajar murid. Hal ini menunjukan bahwa guru yang tersertifikasi – itu artinya guru yang berkualitas – tidak menjamin kualitas murid sehingga kita membutuhkan paradigma baru dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Pendidikan Kontekstual sebagai Tawaran

Kritik Paulo Friere (1966), seorang pendidik asal Brazil, tentang pendidikan nampaknya masih relevan hingga saat ini. Ia menganggap pendidikan kita sebagai “pendidikan gaya bank”, dimana hubungan antara guru dan murid diletakan sebagai subjek dan objek. Guru sebagai subjek yang bercerita, murid sebagai objek yang patuh mendengarkan. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak mengetahui apa-apa. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid – tanpa dimintai pendapatnya – menyesuikan diri dari pelajaran itu.

Pendidikan gaya bank tersebut membuat murid tidak lagi berfikir kritis tentang kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di masyarakat. Dalam bahasa Friere, pendidikan justru membentuk “budaya diam”. Oleh karena itu, pendidikan ini harus dimulai dengan pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan murid. Posisi guru dan murid adalah setara untuk sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi.

Guru hanya sebagai koordinator untuk memperlancar percakapan dialogis. Materi pelajaran tidak melulu diambil dari rumusan-rumusan baku dari buku-buku sekolah, tapi dari permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh murid dalam konteksnya sehari-hari. Friere menyebutnya sebagai metode “pendidikan hadap masalah” (problem posing education).

Pendidikan kontekstual ini dirasa perlu diterapkan di Indonesia mengingat laju migrasi desa-kota semakin tahun semakin tinggi dan menyumbangkan presentase pengangguran. Atas dasar itu, pendidikan kontekstual menemukan titik urgensinya. Sistem pendidikan di Indonesia seharusnya tidak lagi bias kota. Sekolah di pedesaan bukan lagi untuk mencetak tenaga kerja ke kota, melainkan bagaiamana bisa mencetak murid-murid yang kritis untuk menyelesaikan problema masyarakat yang ada di desanya.

Persoalan pendidikan dan ketenagakerjaan yang menjadi tema debat pilpres kemarin, tidak sesempit persoalan ketiadaan skill pelajar yang tidak dapat diserap industri. Lebih jauh lagi, ada peranan pendidikan yang selama ini bias kota sehingga kedepan diperlukan perubahan radikal terhadap sistem pendidikan Indonesia, tidak melulu berkutat pada peningkatan skill pengangguran berpendidikan, kesejahteraan guru, sertifikasi guru, dan hal teknis lainnya. Oleh karena itu, kita perlu melampaui diskusi tersebut untuk mempertanyakan kembali bahwa ada yang salah dengan paradigma pendidikan kita selama ini.

rereyakbar
rereyakbar
Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.