Senin, Mei 6, 2024

Melacak Inferioritas Rasial Bangsa Kita dari Orientalisme

Zufi Misbahus Surur
Zufi Misbahus Surur
Peminat Kajian Humanisme dan Postkolonialisme.

Masih segar di ingatan kita bahwa media-media arus utama beberapa waktu lalu “membombardir” linimasa  masyarakat digital dengan komodifikasi pernikahan lintas-ras antara surfer asal Magelang bernama Nur Khamid dan “bule” berkewarganegaraan Inggris Raya bernama Polly Alenxandria Robinson. Kisah roman percintaan yang berakhir manis dalam semesta pernikahan anak manusia yang paling subtil dan tentu menye-menye.

Komodifikasi lebay ala media-media mainstream kita menyisakan persoalan serius yang –menurut saya– musti ada penjelasan dan pertanggungjawaban lebih lanjut alih-alih meraih pembaca dan mendulang klik sebanyak jumlah ikan di lautan digital. Mengapa hal semacam itu bisa kita anggap sebagai sesuatu yang musti aneh dan kadang to good to be true dalam kehidupan nyata kita? Apa sebenarnya yang membuat kita merasa minder, illogic, dan tentu inferior terhadap orang-orang ras kaukasian yang super-duper-wow itu?

Pertama, mari kita bicara soal sejarah, karena belajar jujur itu mensyaratkan persoalan masalalu. Siapa yang tidak kenal dengan VOC dan kroni-kroni kolonialismenya yang parkir di Hindia-Belanda dalam catatan sejarah legal di Indonesia kurang-lebih 3,5 abad? Dalam sejarah hegemoni kultural, ekonomi cum politik di Hindia-Belanda, VOC adalah kepanjangan tangan tuhan dan izroil semesta kebudayaan manusia dalam konsepsi (t) kecil.

Walaupun pada akhirnya babak-belur karena ulah kaumnya sendiri yang korup dan serakah. Tanpa menyebut istilah imperialisme sebagai gerobak represi politik-ekonomi dalam sejarah kemanusiaan yang paling destruktif.

Dalam sejarah peradaban manusia, dikotomi adalah sebuah keniscayaan. Apa yang anda terima dan bayangkan tentang sesuatu yang baik adalah juga apa yang anda bayangkan dan tolak tentang yang buruk dalam waktu yang sama.

Logika simpelnya seperti ini, ada malam tentu ada bahasa lain yang menjelaskan tentang fenomena keadaan terang benderang, mari kita sepakati saja dengan istilah siang. Begitupun dengan persoalan sikap, ada manusia dan sekelompok manusia yang memiliki sikap percaya diri, pun tidak kalah banyaknya manusia dan sekelompok manusia yang bersikap sebaliknya, merasa rendah diri, merasa bodoh dan sebagainya.

Pertanyaan mendasar dari persoalan komodifikasi, historiografi Indonesia, dan dikotomi terminologis tersebut apakah timbul karena secara biologis kita berbeda bentuk fisik, gaya romantisme, tradisi intelektual, dan ataukah ada hal lain yang secara tidak sadar turut membangun konstruksi kesadaran rasio-intuitif kita atas sikap yang dikotomis tersebut? Mari kita bahas bersama sebagai suatu bentuk usaha pemberadaban yang humanis dan kosmopolitan.

Dalam cakrawala intelektualitas manusia, persoalan dikotomis tesis-antitesis adalah warisan berharga dalam proses rasionalisme realitas. Adanya anti-tesis dari tesis awal yang dianggap benar oleh manusia adalah proses penemuan objektivitas paripurna dari kebenaran atau lagi-lagi yang kita anggap sebagai “kebenaran” yang jamak kita sebut sebagai sintesis yang masuk dalam kerangka konsepsi dialektika Hegelian.

Lantas apakah wajar ketika kita, masyarakat bagian Timur, Indonesia merasa inferior ketika mengetahui realitas yang begitu terbalik dan paradoksal? Kita berkulit coklat sedangkan mereka berkulit putih, kita tidak mampu mengatur negara sedangkan wilayah persemakmuan mereka ada dimana-mana?

Edward Wadie Said, sebagai salah seorang diaspora penggagas resistensi diskursus kolonialisme par-excellence banyak berbicara tentang persoalan ini. Sebagai seorang Gramscian dan Foucauldian, Said berusaha melacak asal-usul pergulatan dikotomis Barat-Timur, Superior-Inferior, dan bahkan Orientalisme dan Oksidentalisme.

Dalam terminologi teori posklonolisme Saidian, Barat adalah satu hal dan Timur adalah hal lain. Saya tidak bisa memastikan apakah Said adalah proyeksi simbolik dari golongan lefty atau sebaliknya. Tapi, dia mengaku sebagai seorang humanis yang menganggap bahwa persoalan terpenting di dunia adalah kebebasan manusia atas ketertindasan yang diciptakan sendiri oleh sekelompok manusia lain . Hal ini memberi pengertian bahwa sebetulnya kita pernah dan sedang dijajah oleh kesadaran semu tentang definisi kehidupan yang kita ciptakan sendiri.

Lewat buku tebal Orientalism, Said berusaha mendedah struktur yang sangat membingungkan ini. Sebagai seorang intelektual yang dipengaruhi banyak oleh tradisi Postmedernisme ini, Said mencoba melacak hal apakah yang sebetulnya mempunyai pengaruh besar terhadap sikap inferior bangsa Timur secara umum –dan Indonesia secara khusus– terhadap Barat dengan mengesampingkan eksotisme individual dan komunal khas masyarakat Timur.

Dengan menggunakan pisau bedah hegemoni Gramscian dan discourse Faucauldian, Said menemukan banyak sekali kesalahan-kesalahan fatal sarjana Barat dalam menghadirkan kembali realitas objektif Timur. Walaupun Said tidak sepakat dengan epigram Marx tentang Timur yang berbunyi “They cannot represent themselves, they must be represented” dalam The Eighteent  Brumarie of Louis Bonaparte dalam salah satu sesi analisis tektualnya . Namun, secara keseluruhan Said menghargai betul usaha intelektual Marx bagi kebebasan manusia atas ketertindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis.

Lewat berbagai pertempuran analisis dan benturan teori. Sebetulnya yang menjadikan bangsa Timur secara umum –dan Indonesia secara khusus– terkungkung dalam persepsi inferior tidak lain adalah usaha reproduksi intelektual para sarjana Barat dalam merepresentasikan Timur secara tekstual-deskriptif lewat medium Orientalisme. Timur tidak hadir secara an sich dalam imajinasi Barat. Dengan begitu, logika Barat dan Timur beserta hubungan biner yang hirarkis, secara kultural dan intelektual merupakan wacana yang dibangun untuk mengukuhkan kekuasaan dan dominasi

Dengan menggunakan sumber kekuatan dan represi politik-kultural-ekonomi dalam kolonialisme dan imperialisme, Orientalisme mengukuhkan posisi sebagai penentu lajur legitimasi praksis hegemoni dan dominasi imperial.

Kabbani Rana mengatakan bahwa The ideology of Empire was Hardly ever a brute jingoism, rather, it made subtle use of reason, and recruited science and history to serve its ends . Karenanya imperialisme dan kolonialisme merekrut sains dan sejarah hanya sebatas untuk memenuhi tujuannya, alih-alih membebaskan dan membahagiakan manusia dari keterkungkungan dan ketertindasan.

Oleh sebab itu, sikap inferior yang kita afirmasi sebagai sebuah keniscayaan hidup sebenarnya adalah konstruksi ideologi yang diciptakan secara sistematis oleh devil triangle Orientalisme, Kolonialisme, dan Imperialisme. Lantas apakah kemudian kita sebagai animal rasionale menerima hal ini sebagai kebetulan belaka? Dan apakah kajian-kajian pasca-kolonialisme sudah pantas kita anggap sebagai gerakan resistensi terhadap ketertindasan intelktual yang mengakibatkan kita memiliki mentalitas budak? Mari kita renungkan kembali.

Sumber :Said, Edward. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka PelajarSetiawan, R. 2018. Pascakolonial, Wacana, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Gambang Buku Budaya.Kabbani, Rana. 1986. Imperial Fiction Europes Myth of Orient. New York: Mcmillan Hlm.

Zufi Misbahus Surur
Zufi Misbahus Surur
Peminat Kajian Humanisme dan Postkolonialisme.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.