Minggu, April 28, 2024

Mehamami Ghaflah dari Penjelasan Prof. Nasaruddin Umar

Aiman Yusuf
Aiman Yusuf
Pegiat salah satu rumah baca di Makassar

“Telah semakin dekat kepada manusia hari perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai dan berpaling”. (QS. Al-Anbiya: 3)

Selain tauhid, pembahasan yang belakangan ini sering diulang oleh Prof. Nasaruddin Umar dalam kajian teosofinya adalah kata ghaflah. Menurut beliau, kata lalai tidak bisa merepresentasikan ghaflah sepenuhnya. Memang bisa digunakan, tapi kita bisa melewatkan beberapa hal yang seharusnya bisa lebih dimaknai.

Dalam KBBI, lalai bisa berarti lengah, kurang hati-hati, atau tidak mengindahkan. Tapi menurut Prof. Nasaruddin, ghaflah juga berkaitan dengan keterhijaban. Beliau mencontohkannya dengan cara seperti ini:

“Kita diundang ke sebuah perjamuan. Di sana, kita bertemu kembali dengan teman-teman Sekolah Menengah Atas (SMA). Di ruangan itu hadir juga guru SMA kita. Namun, karena kita sibuk berbincang dengan teman-teman lama, kita tidak menyadari keberadaan guru kita sampai dia sendiri yang datang menghampiri. Kita yang tidak menyangka kehadiran beliau jadi kaget dan salah tingkah.”

“Oh, ternyata Ibu ada di sini. Maaf, tadi saya tidak memperhatikan.”

Kondisi sebelum kita menyadari kehadiran guru kita itulah yang disebut ghaflah. Sesuatu itu selalu ada di sana, dan suatu saat nanti pasti akan kita temui, tapi karena kita sibuk mengurusi hal lain, kita jadi tidak menyadari dan gagal mengantisipasi pertemuan dengannya.

Penjelasan Prof. Nasaruddin tersebut, kurang lebih sama dengan penjelasan al-Quran dalam surah Qaf ayat 22. Ada banyak orang yang ghaflah terhadap hari kiamat sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Ketika hari kiamat terjadi secara tiba-tiba, barulah hijab yang menghalangi pandangan mereka tersingkap. Mereka yang awalnya meragukan peringatan tentang hari kiamat lantas menjadi yakin sepenuhnya setelah menyaksikannya secara langsung.

Lalai dalam konsep ghaflah terjadi bukan hanya karena kita lupa atau tidak hati-hati, tapi karena kita memang terhijab dari menyaksikan sesuatu tersebut. Kita ghaflah terhadap guru kita di perjamuan sebelumnya karena kita memang tidak menyaksikan kehadirannya. Dan kita ghaflah terhadap hari kiamat bukan karena kita tidak tahu apapun tentangnya, tapi karena kita memang terhijab dari menyaksikannya secara batiniah.

Konsep keterhijaban ini penting sebab itu berarti, kita harus menyingkap keterhijaban kita terlebih dahulu sebelum mampu mengantisipasi kehidupan akhirat dengan sungguh-sungguh. Kesembronoan kita mengantisipasi datangnya hari kemudian bisa jadi disebabkan oleh terhijabnya kita dari menyaksikan kebenaran tentangnya.

Selama ini, kita mungkin telah diberitahu tentang kedatangan hari kiamat dan hari perhitungan amal. Tapi itu tidak berarti penutup mata kita telah tersingkap. Kita misalnya diberitahu kalau perjamuan nanti malam akan dihadiri oleh tokoh karismatik yang dikagumi banyak orang. Tapi karena kita gagal menyaksikan karisma atau kerupawanannya, kita tidak jadi kagum terhadapnya. Kita pun tidak menjadi seperti orang lain yang bergegas meminta tanda tangan, foto bersama, ataupun ingin berjabat tangan dengannya.

Penyebab dan Ciri-Ciri Perilaku Ghaflah

Al-Quran umumnya menggunakan kata ghaflah untuk peristiwa-peristiwa setelah kematian (QS. Ar-Rum: 7). Mulai dari hari perhitungan amal (QS. Al-Anbiya: 3), hari kiamat (QS. Qaf: 22), sampai pada hari perjumpaan dengan Allah (QS. Yunus: 7). Ghaflah terhadap hari akhirat lantas dibandingkan dengan banyaknya pengetahuan manusia terhadap hal-hal lahiriah. Perbandingan tersebut seolah menunjukkan bahwa ghaflah lebih menyangkut persoalan keterhijaban terhadap sesuatu yang tidak dapat disaksikan dengan mata kepala ketimbang sesuatu yang hanya bisa disaksikan secara lahiriah.

Kata ghaflah juga digunakan dalam konteks ayat-ayat al-Quran (Yunus: 7). Namun, ini bukan hal yang mengejutkan mengingat ayat-ayat Allah memang hanya bisa disentuh oleh orang-orang Muthahharun (Al-Waqiah: 79). Sehingga, bisa jadi ada orang yang bisa membaca al-Quran dengan mata kepala tapi mata batinnya masih terhijab dari memahami makna-maknanya.

Salah satu tanda dari orang yang ghaflah adalah jika mereka membaca atau mendengar ayat-ayat Allah, mereka tidak akan beriman padanya. Atau jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka justru menempuh jalan lain. Namun jika mereka melihat kesesatan, mereka justru terus mengikutinya.

Semua ciri-ciri yang disebutkan dalam al-Quran surah Al-A’raf ayat 146 tersebut terasa masuk akal. Orang-orang yang akal dan qalbnya tersentuh oleh keindahan, kebenaran, dan keagungan al-Quran tentu saja akan sulit untuk mengimani ayat-ayatnya. Sementara orang-orang yang terhijab dari melihat jalan lurus, cenderung akan mengambil jalan memutar atau berbelok-belok. Sebagai ganti dari Allah dan ayat-ayatnya, mereka lebih memiliki untuk mengikuti hawa nafsu dan syahwatnya sebagai penuntun jalan.

Lantas, mengapa kita bisa masuk dalam kondisi ghaflah? Jawabannya adalah karena kita terlalu sibuk mengurusi dan tenggelam dalam hal-hal lahirah semata. Kita ghaflah terhadap hari kiamat karena kita terlanjur merasa tentram dan puas dengan kehidupan dunia (Yunus: 7). Akibatnya, kita tidak mampu melihat kemungkinan lain akan adanya kehidupan di hari kemudian. Kenyamanan dan kepuasan terhadap kehidupan duniawi itulah yang menjadi hijab yang menutupi pandangan qalb kita.

Orang yang memiliki banyak kesulitan hidup tapi tidak percaya dengan pertemuan di hari kemudian juga bisa masuk dalam situasi ghaflah (Yunus: 7). Penyebab keterhijaban ini bisa beragam. Dua di antaranya adalah karena mereka memang tidak pernah diberi peringatan terkait hari akhirat (Yasin: 6) atau kerena mereka memang suka mengabaikan ayat-ayat atau tanda-tanda dari-Nya.

Sebagai penutup, ghaflah tentunya merupakan sesuatu yang harus dihindari. Dalam kajian keislaman, langkah pertama untuk memperbaiki diri selalu dimulai dengan taubat. Jika ghaflah termasuk salah satu alasan mengapa kita semakin jauh dari Allah, maka jalan pertobatan bisa menjadi langkah awal bagi kita untuk menyingkap berbagai hijab yang menutupi pandangan kita.

Selain itu, Allah SWT menyandingkan larangan menjadi orang ghaflah dengan perintah zikir. Penyandingan tersebut bisa jadi penanda bahwa banyak-banyak menyebut nama Allah di waktu pagi dan petang bisa membantu kita lepas dari perilaku ghaflah. Allah SWT menyampaikan firmannya tersebut dengan kalimat yang indah dengan terjemahan yang kurang lebih sebagai berikut:

“Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang. Dan janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang ghaflah.” (QS Qaf: 22)

Aiman Yusuf
Aiman Yusuf
Pegiat salah satu rumah baca di Makassar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.