Di tengah keterbukaan informasi seperti sekarang, kita agaknya kerepotan untuk menemukan mana yang benar dan keliru. Era ini disebut-sebut sebagai masa ‘post-truth’ atau pascakebenaran. Era yang mencerminkan keadaan ketika batas-batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan kecurangan, serta fiksi dan nonfiksi menjadi kabur. Kondisi itu dapat dimanfaatkan, antara lain, oleh pihak yang memiliki tujuan pribadi.
Saya kira, post-truth ini muncul sejak media komunikasi seperti internet sudah digunakan banyak orang. Setidaknya, dari data 2016 saja sudah 7,4 miliar jiwa yang menggunakan internet, angka tersebut adalah hampir separuh masyarakat dunia . Hingga di detik saya mengetik tulisan ini, internet terus mendapat kunjungan orang baru. Artinya, akan sebanyak itu pula lalu lintas informasi yang berlalu-lalang di internet di masa kini dan nanti.
Media sosial menjadi kanal yang banyak digandrungi warganet. Konon, penggunanya terus tumbuh hingga lebih dari 280 juta mulai dari tahun 2015 hingga 2016. Tak ada batasan golongan tertentu untuk bisa mendapat akun di media sosial, sehingga layaknya WC umum, media sosial bisa diakses semua orang, termasuk kelompok terorisme. Lewat kanal inilah, kelompok teroris dapat mengail banyak pengikut lintas negara, menyebar propaganda, menebar teror siber, dan aktivitas berbau teror lainnya.
Menurut Nafi Muthohirin, Pemanfaatan media sosial menjadi cara baru bagi kelompok radikal untuk menyebarkan benih-benih ideologi ekstrimis. Menurutnya, di era digital seperti sekarang, dunia maya telah menjadi kekuatan nyata yang menghubungkan soliditas dan militansi kelompok radikal hingga ke lintas negara. Keberadaannya menawarkan kemudahan dalam berinteraksi dan pengorganisasian. Karena itu, kemunculan mereka di jejaring virtual turut mengubah strategi dan pola teror.
Artinya, di tengah maraknya aktivitas di media sosial, golongan teroris tersebut berhasil memanfaat ‘anugerah’ yang tersemat dalam media tersebut. Mereka mampu menyebar teror, yang bertujuan untuk memperkuat legitimasi kelompok terkait, mengintimidasi masyarakat dan pemerintahan, serta memperluas pengaruh di masyarakat. Sehingga selain senjata macam senapan, bom, dan bahan peledak lainnya, media sosial telah jadi amunisi baru bagi teroris yang disimpannya di luar gudang senjata.
Pemblokiran sebagi penangkal?
Hal ini mungkin sudah membuat gatal tangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia, sehingga punya rencana untuk memblokir beberapa media sosial. Upaya Kominfo ini menjadi bukti tersendiri kalau aktivitas terorisme sudah masuk ke media sosial, terlepas keliru atau tidaknya tindakan pemblokiran tersebut.
Namun, apakah pemblokiran itu bisa menyembuhkan rasa ‘gatal’ Kominfo? Saya ragu. Karena tindakan ini terkesan berpola seperti teror lagi. Ingin memusnahkan terorisme alih-alih memberangus aktivitas demokrasi, dan berbagai geliat positif lainnya. Apa bedanya tindakan tersebut dengan para penyebar teror, yang ingin memusnahkan si ‘kafir’ dengan mengebom satu gedung tertentu; padahal tak semua ‘kafir’ yang ada di gedung tersebut. Artinya, langkah pemblokiran ini justru tindakan menumpas teror, dengan teror lagi.
Sehingga, saya kira ada cara lain yang lebih berdampak jangka panjang. Tentunya, dengan langkah yang tidak ‘asal’ gebuk, karena yang namanya ‘asal’, kuatir hanya tindakan serampangan, terbawa tensi yang lagi tinggi-tingginya, dan menafikan pertimbangan rasio yang lebih matang.
Media Massa sebagai Pengkonter
Saat media informasi sudah milik semua individu, semua bisa menjadi pewarta. Namun hanya sebagai pewarta, bukan wartawan. Karena pewarta hanya (mungkin) menang cepat dalam mengabarkan, dan kalah di taraf kompetensi disiplin verifikasi yang biasa dilakukan wartawan. Posisi saya di sini, bukan untuk menihilkan berita cepat, karena untuk kasus-kasus tertentu seperti bencana alam, sangat dibutuhkan berita dengan tingkat penyebarannya yang kilat. Hanya saja, kalau kanal berita sekarang hanya bertumpu pada ‘cepat’ saja, agaknya sudah terkejar jaman.
Seiring internet dan gawai dapat dengan mudah diakses publik, ‘berita’ itu justru dibuat dari publik dan oleh publik sendiri. Istilah aktivitas itu dikenal sebagai ‘jurnalisme warga’. Dunia memang sudah jadi apa yang dikatakan Marshall McLuhan, “Global Village”. Sehingga di sinilah persaingan antara publik dan wartawan itu terjadi. Maka dari itu, ruang redaksi media online sudah harus menuju reformasi. Di tengah dunia yang sudah begitu terbuka, kerja wartawan tidak hanya memburu informasi cepat saja, tapi juga harus menjadi penyaring informasi yang serba ‘cepat’ itu. Hal ini sebagaimana diakui juga oleh redaksi Detik.com, sebagai penyedia media berita cepat ia mengakui peran masyarakat dalam meramaikan khazanah berita ‘cepat’. Demikian dalam postingannya pada 3 April 2017:
“….. Dalam perkembangan seperti itu, ketika setiap individu memproduksi informasi dan bahkan menjadi “media” dengan akun-akun socmed berpengikut ribuan bahkan jutaan, gelombang terbaru kemunculan media online memperlihatkan kecenderungan yang berbeda lagi. Media online menggeser konsepnya dari sekedar menyajikan “berita cepat”, menjadi media-media berbasis riset yang kuat, dan memadukan antara konsep “online” dan media lama, dengan menyerap insight dari trending media sosial.”
Sehingga dari sini, saya mulai ragu untuk mengandalkan Kominfo dalam menangani persoalan terorisme yang beraktivitas di media sosial. Saya justru lebih tertarik menyorot media massa sebagai pengkonter aktivitas informasi di era ini. Sebagaimana fungsi pers yang termaktub dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers; menyebutkan bahwa pers memiliki fungsi memberi informasi, mendidik, menghibur, dan kontrol sosial. Fungsi tersebut jangan sampai luntur sejak dari pikiran. Seperti makna ‘to inform’ yang berakar dari Bahasa Latin itu bukan sekadar menyuguhkan fakta-fakta semata, tetapi juga bagaimana media massa bisa ‘membentuk pemikiran’ (forming the mind).
Pada jaman orang serba bisa mengirim informasi ini, bagaimana pun, pers; yang di dalamnya adalah media massa, tidak akan kalah pamor dengan akun Instragram Raisa. Media massa memiliki peran sebagai “Cermin” berbagai peristiwa di masyarakat, sebagai filter yang menentukan layak tidaknya suatu hal menjadi viral, juga sebagai interpreter yang bisa menerjemahkan persoalan publik dengan jernih.
Dalam peliputan kasus terorisme sendiri, seringkali media massa gagal dalam membingkai berita secara apik. Contohnya saat media menggiring opini publik pada ‘kebalnya’ terorisme. Media tak memberitakan juga kelemahan terorisme itu, sehingga ini akan berdampak pada penggiringan opini publik yang ‘pesismistis’ untuk melawan terorisme tersebut. Selain itu, media justru termakan rumor ‘gaib’ seperti yang terjadi pada saat teror ledakan bom di MH Thamrin, 14 Januari 2016 lalu. Setelah meliput ledakan bom di jalan MH Thamrin, Sudirman, TV One dalam “Breaking News” mengabarkan bahwa ada ledakan susulan di Slipi, Kuningan, dan Cikini. Informasi tersebut kemudian terbukti tidak benar . Sehingga saat itu media menggambarkan Jakarta seolah sudah dikepung berbagai teror.
Nah, contoh di atas bisa jadi preseden sendiri untuk seluruh ruang redaksi media. Selain harus berdisiplin verifikasi tingkat dewa, juga dapat membangun narasi terorisme yang anti teror. Jangan malah menjadi ‘media partner’ gratisan bagi para teroris. Di sinilah media harus memerlihatkan perannya sebagai kontrol sosial dan penentu opini publik. Kebiasaan lain yang saya lihat pada media massa kita adalah memanfaatkan hal viral untuk konsumsi berita publik. Memang, yang bisa jadi bahan berita itu ‘hal yang lagi rame diperbincangkan’. Namun indikator tersebut harus punya turunan lagi. Karena isi media sosial hanyalah tumpukan obrolan publik dengan pembicara yang campur aduk lagi anonim.
Kembali pada era yang disebut “post-truth” tadi. Era pascakebenaran inilah yang mencerminkan betapa keruhnya opini publik di suatu masyarakat, sehingga mereka kelimpungan dalam mencari kebenaran. Media massa mesti masuk dan bergumul ke dalamnya. Bukan untuk memperkeruh lagi keadaan, tapi untuk mengangkat sumber kekeruhan itu sebagai bahan opini publik nantinya.
pustaka buku:
Asa Briggs & Peter Burke. (2000). A History Social Media. New York: Polity Press. Hal. 230.