Kamis, Maret 28, 2024

Media dan Reshuffle Kabinet

Doddy Salman
Doddy Salman
Mahasiswa Program S3 Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada yogyakarta

Setelah kata blusukan yang belakangan jarang digunakan lagi, maka kata reshuffle mungkin menjadi kata yang identik dengan Presiden Jokowi. Presiden ketujuh Indonesia itu sudah jauh-jauh hari diberitakan akan melakukan pergantian kabinet. Siapa lagi kalau bukan media yang gandrung mengangkat soal reshuffle.

Media cetak, elektronik hingga media siber seperti tak bosan meyakinkan publik bahwa reshuffle adalah keniscayaan. Tak tanggung-tanggung berita reshuffle sudah tampil sejak awal tahun 2017. Hingga tulisan ini dibuat 13 Agustus 2017 reshuffle berhenti di kolom berita dan belum ada peristiwanya.

Situs Tempo.co tertanggal 3 Januari 2017 memuat judul Jokowi Bakal Mereshuffle Kabinet, 4 Menteri Rawan Diganti. Bermodal wawancara dengan ketua dewan pimpinan pusat perekonomian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hendrawan Supratikno maka sejumlah nama menteri disebut bakal kena “reshuffle”. Nama-nama itu antara lain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendi, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir serta Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin.

Situs Tempo.co 12 Juli 2017 memuat judul: Reshuffle Kabinet, Tiga Menteri Jokowi Terancam Diganti. Disebutkan menteri negara BUMN Rini Soemarno akan diganti karena hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai kerjasama PT Pelindo 2 (persero) dengan Hutchison Port Holdings ditenggarai merugikan negara Rp 4,08 trilyun.Menteri Keuangan Sri mulyani tak luput dari ramalan reshuffle. Ia akan digeser menjadi Menko Perekonomian. Sementara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan  digeser menjadi menteri koperasi. Saking selalu dikaitkan dengan reshuffle Susi Pudjiastuti pun punya komentar sendiri.“Setiap tahun ada pihak yang maunya menteri susi diganti,”ujar Susi.

Perkara reshuffle tak hanya gencar di media massa.Media sosial seperti facebook juga melontarkan ide reshuffle dengan tak kalah gencarnya. Akun facebook Lambe Turah, yang punya kalimat sakti “gosip adalah fakta yang tertunda” mengunggah status tertanggal 12 Juli 2017 dengan kalimat di antaranya.. bisa jadi pakde lagi siap2 pengumuman resafel,ntar jangan pada kaget lohhh...Gosip yang dilontarkan Lambe Turah ternyata sampai hari ini masih tertunda dan masih awet sebagai gosip.

Pada 25 Juli 2017 Kompas.com memuat judul berita:Teguran Jokowi untuk Menteri, Apakah Berujung “Reshuffle” Kabinet? Menteri yang ditegur dalah menteri ESDM Ignatius jonan dan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya karena mengeluarkan peratuan menteri yang dinilai presiden Jokowi tidak ramah investasi.Ignatius Jonan sebelumnya sudah pernah “mencicipi” reshuffle dengan diberhentikan sebagai menteri perhubungan. Namun Oktober 2016 Jonan kembali dipercaya Jokowi masuk dalam kabinet Kerja dengan menjabat sebagai menteri ESDM. Jabatan ini sebelumnya sempat lowong setelah Arcandra Tahar yang ditunjuk menjadi menteri ESDM diberhentikan setelah menjabat selama kurang dari satu bulan. Pemberhentian Archandra diperkirakan karena masalah kewarganegaraan. Archandra kembali ke kemtrian ESDM setelah diangkat menjadi wakil menteri.

Berita terbaru perihal reshuffle dimuat detik.com tertanggal 11 Agustus 2017. Situs detik.com menyebut pemerintahan Jokowi telah 3 kali reshuffle. Reshuffle pertama tanggal 12 Agustus 2015 mengganti 5 menteri. Reshuffle  kedua tanggal 27 Juli 2016 mengganti 12 menteri . Tanggal 15 Agustus 2016 memberhentikan menteri esdm Archandra (yang dilantik menjadi wakil menteri ESDM 14 Oktober 2016) detik.com juga memuat judul tulisan: Amir Syamsuddin: AHY Cocok Jadi Menteri. Amir Syamsudin adalah Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, tempat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bernaung. Pernyataan Amir dapat ditafsirkan Partai Demokrat membuka peluang kadernya untuk masuk kabinet kerja Joko Widodo. Berita ini mencuat menyusul pertemuan AHY dengan Presiden Joko Widodo dan putranya Gibran Rakabuming.

Gencarnya media melemparkan isu reshuffle ini menjadi menarik ditelaah. Dalam alur komunikasi sepertinya hal ini dapat dipahami karena mazhab komunikasi meyakini media selalu bertindak objektif, non partisan dan membela kepentingan publik. Namun mazhab kajian media alias media studies meyakini media pada dasarnya tidak pernah objektif. Media selalu subyektif.Media adalah pengkonstruksi realitas. Konstruksi realitas yang dibuat media didasari nilai dan kepentingan media tersebut. Setidaknya kepentingan untuk selalu dibaca, ditonton, didengar atau diklik oleh audiensnya. Atau tegasnya kepentingan ekonomi media tersebut.

Dengan pemahaman media adalah subyektif maka dapat dipahami bahwa berita reshuffle adalah berita yang menarik untuk audiens. Reshuffle kabinet berakibat besar pada kehidupan masyarakat. Dalam perspektif politik reshuffle menjadi sorotan kebijakan yang digagas Joko Widodo. Dengan pemahaman media studies maka muncul pertanyaan siapakah/pihak manakah yang sebetulnya menghendaki reshuffle? Pertanyaan ini memang bernada kritis. Namun layak dilontarkan mengingat persoalan reshuffle sudah lebih dari 7 bulan dilontarkan namun reshuffle tak kunjung datang.

Gencarnya pemberitaan reshuffle juga seperti mengajak publik untuk sepakat perlunya reshuffle dilakukan. Meminjam opini tokoh partai atau jajak pendapat misalnya, alasan logis rasional pun dibangun agar publik percaya bahwa reshuffle adalah keniscayaan.

Reshuffle kabinet di era Joko Widodo memang terjadi setiap tahun dalam masa kerjanya.Setelah dilantik Oktober 2014 maka setahun kemudian tahun 2015 reshuffle dilakukan. Reshuffle kembali terjadi setahun kemudian di tahun 2016. Karena perulangan setiap tahun maka perombakan kabinet, ini bahasa Indonesianya yang benar, seperti menjadi pakem, menjadi sebuah sistem yang mau tidak mau harus terjadi. Padahal sesungguhnya tidak.

Poin penting dari perombakan kabinet adalah bahwa presiden Joko Widodo selalu mengevaluasi para menteri yang diangkatnya. Evaluasi penting karena pemerintahan Joko Widodo mempunyai target yang harus dikerjakan selama 5 tahun menjadi presiden RI. Target itu secara makro disebut Nawa Cita.Para menteri diwajibkan melaksanakan Nawa Cita dalam bentuk implementasi yang paling real.

Tentu saja implementasi Nawa Cita yang menjadi patokan anggota kabinet tidak sesederhana dalam pelaksanaannya. Para menteri yang masuk kabinet tak hanya dilihat keprofesionalannya saja namun juga sebagai simbol mengikat partai politik pendukung Joko Widodo. [easy-tweet tweet=”Inilah “seni” yang harus dimainkan Jokowi, tarik ulur antara keprofesionalan dengan simbol kehadiran partai politik di kabinet.”]Persoalan simbol politik dalam kabinet ini menjadi kepentingan kedua yang mungkin dimiliki media dalam konteks reshuffle kabinet. Kepentingan politik jelasnya.

Media, politik, dan publik sesungguhnya saling berkaitan. Dalam dunia yang termediasi, narasi yang dikonstruksikan media menjadi penting karena publik tak pernah sering langsung berhadapan dengan realitas. Narasi berita yang muncul adalah olahan para jurnalis yang dikoreksi para editor dan muncul dengan framing yang paling menarik publik.

Adalah penting bagi publik untuk selalu kritis dengan narasi berita yang muncul, bahkan untuk media yang sudah terbangun kredibilitasnya. Konteks dan kesejarahan peristiwa perlu diperhatikan agar agenda media terbaca dan arah narasi berita diketahui. Di dunia yang banjir informasi dan gampang klik bersikap kritis adalah tameng utama memahami peristiwa yang dirangkai dalam berita.

 

 

 

.

Doddy Salman
Doddy Salman
Mahasiswa Program S3 Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.