Kamis, Mei 1, 2025

May Day 2025: Suara Buruh, Isyarat Krisis, dan Tuntutan Transformasi

Fortunatus Hamsah Manah
Fortunatus Hamsah Manah
Nama saya, Fortunatus Hamsah Manah. Saya aktif menulis dalam bidang pengawasan pemilu, penulisan opini publik, dan advokasi demokrasi di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). ​ Latar Belakang dan Karier Saya adalah Wartawan Harian Umum Fajar Bali 2008 sampai 2017. Kini menjadi penulis lepas di banyak media Nasional maupun lokal. Dan juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Manggarai, NTT periode 2023-2028. Dalam kapasitas ini, saya memimpin pengawasan terhadap proses pemilihan kepala daerah, termasuk memberikan imbauan kepada Bupati Manggarai untuk menjaga netralitas selama masa tenang menjelang Pilkada 2024 .​ Pada tahun 2022, saya terpilih sebagai salah satu dari enam calon anggota Bawaslu Provinsi NTT yang lolos seleksi tahap lanjutan, menunjukkan pengakuan atas kompetensinya dalam bidang pengawasan pemilu dan pada akhirnya tidak lolos di tahap akhir.​ Aktivitas Penulisan dan Pemikiran Selain peran saya di Bawaslu, saya dikenal sebagai penulis opini yang produktif. Saya telah menulis berbagai artikel yang membahas isu-isu seperti toleransi dalam demokrasi, partisipasi masyarakat adat dalam politik, dan perlindungan hak pilih penyandang disabilitas. Tulisan-tulisannya telah dimuat di media nasional seperti Media Indonesia, VIVA.co.id dan Kompas.com.​ Fokus dan Kepedulian Saya menunjukkan kepedulian terhadap penguatan demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Saya juga menyoroti pentingnya toleransi dalam demokrasi dan perlunya kehadiran negara dalam mendukung partisipasi politik masyarakat adat Dengan latar belakang sebagai pengawas pemilu dan penulis opini, saya berkontribusi dalam memperkuat demokrasi di Indonesia melalui pengawasan yang ketat dan pemikiran yang mendalam.
- Advertisement -

Di tengah hiruk-pikuk kota, dalam denting sepatu yang menyentuh aspal, ada satu suara dari kaum tak bersuara yang terus menggema meski kerap diabaikan: suara mereka yang bekerja saat fajar menyingsing dan pulang saat malam memeluk. Buruh. Mereka bukan sekadar statistik ekonomi atau angka dalam grafik pembangunan. Mereka adalah nadi bangsa—bergerak, berdetak, namun kerap terabaikan.

May Day bukan sekadar seremoni. Ia adalah ritual luka dan harapan. Dalam setiap spanduk yang dibentangkan, ada cerita yang tak selesai dituliskan dalam undang-undang. Dalam setiap pekikan tuntutan, ada tangis yang tak terdengar di ruang-ruang istana. Tahun 2025 membuka babak baru perjuangan itu—dan kali ini, dengan gema yang lebih nyaring dari sebelumnya.

Hari Buruh Internasional atau May Day bukan sekadar perayaan tahunan bagi kelas pekerja. Ia adalah panggung historis yang terus menyuarakan luka-luka struktural dalam sistem ketenagakerjaan. Pada 1 Mei 2025 ini, lebih dari satu juta buruh turun ke jalan di sedikitnya 15 kota besar di Indonesia—dari Surabaya hingga Jakarta, dari Medan hingga Makassar, dari Balikpapan hingga Bekasi dan berbagai kota lainnya. Di tengah sorotan panas politik nasional dan ancaman resesi global, suara mereka tak bisa dianggap angin lalu. Ada enam tuntutan utama yang digaungkan, dan semuanya menandai kebutuhan mendesak untuk transformasi kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia.

1. Hapus Outsourcing: Lawan Fleksibilisasi yang Menindas

Salah satu tuntutan paling keras tahun ini adalah penghapusan sistem outsourcing. Dalam laporan tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tercatat hampir 40% dari total pekerja sektor formal dipekerjakan melalui skema kontrak atau outsourcing, banyak di antaranya tidak mendapat jaminan pensiun, kesehatan, maupun kepastian kerja.

Model kerja ini, meskipun efisien bagi korporasi, menciptakan kelas pekerja sekali pakai. Mereka mudah direkrut, mudah dibuang. Tidak ada loyalitas timbal balik. Tidak ada perlindungan hak normatif. UU Cipta Kerja justru memperlonggar praktik ini.

2. Bentuk Satgas PHK: Negara Harus Turun Tangan

Gelombang PHK besar-besaran pasca-pandemi dan resesi ringan 2023 membuat buruh semakin terjepit. Sepanjang 2023, tercatat lebih dari 1,2 juta kasus PHK, mayoritas tanpa mediasi. Banyak yang tidak menerima pesangon yang layak.

Tuntutan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) menjadi simbol harapan bahwa negara hadir, bukan hanya mengawasi, tetapi membela. Bahwa negara bukan tangan pasar, melainkan pelindung rakyatnya.

3. Wujudkan Upah Layak: Melampaui Angka Minimum

- Advertisement -

Tuntutan buruh untuk menghitung upah berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terus bergaung. Di DKI Jakarta, UMP 2024 sebesar Rp 5,06 juta jelas tak cukup untuk hidup layak. LIPI mencatat kebutuhan riil keluarga kecil bisa mencapai Rp 7–8 juta per bulan.

Upah bukan sekadar angka, ia adalah cermin dari nilai kita terhadap kerja manusia. Bila pekerja tak bisa hidup dari hasil kerjanya, maka pembangunan kehilangan moralnya.

4. Sahkan RUU Ketenagakerjaan Baru: Koreksi atas Cipta Kerja

UU Cipta Kerja telah memukul mundur banyak capaian perjuangan buruh. Jam kerja fleksibel tanpa batas, pengurangan pesangon, dan lemahnya sanksi pada pelanggaran membuat perlindungan pekerja kian semu.

Kini, buruh menuntut partisipasi aktif dalam perumusan RUU Ketenagakerjaan versi baru—regulasi yang tak hanya “ramah investasi” tetapi adil dan manusiawi.

5. Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)

Sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia bekerja dalam bayang-bayang hukum. Tanpa kontrak, tanpa jaminan, tanpa perlindungan. Sebagian besar adalah perempuan yang terpinggirkan.

RUU PPRT telah 19 tahun terkatung. Sudah waktunya negara menyelamatkan mereka dari kekerasan sistemik dan memberi tempat terhormat bagi kerja domestik sebagai kerja nyata.

6. Sahkan RUU Perampasan Aset: Korupsi Membunuh Keadilan Sosial

Buruh tidak hanya menuntut haknya. Mereka menantang akar korupsi. RUU Perampasan Aset memungkinkan negara menyita kekayaan hasil korupsi tanpa harus menunggu vonis pidana. Ini penting: karena uang yang dirampok koruptor adalah dana pensiun, dana jaminan kesehatan, dana pendidikan anak-anak buruh.

Buruh Bersuara, Negara Harus Mendengar

Ketua KSPI, Said Iqbal, menyebut May Day sebagai “panggung keadilan sosial dan demokrasi pekerja.” Suara buruh bukan sekadar jeritan kesakitan, tapi tanda bahwa masyarakat masih berdenyut, masih menuntut, masih berharap.

Di tengah erosi demokrasi dan pergeseran negara menjadi pelayan modal, suara buruh adalah pengingat: bahwa keadilan sosial bukan aksesori, tetapi fondasi. Bahwa manusia bukan hanya “sumber daya” melainkan subjek kehidupan.

Di Balik Spanduk, Ada Doa Ibu dan Asa Anak

Jika kita membuka lembar-lembar sejarah, selalu ada buruh di sana: dalam pembangunan, dalam perlawanan, dalam perubahan. Tapi juga dalam penderitaan. Di balik suara lantang di jalanan, ada ibu yang menanti kepastian gaji. Ada anak yang menulis cita-cita di buku lusuh, berharap ayahnya tak di-PHK besok pagi.

May Day 2025 bukan sekadar protes, tapi peringatan: bahwa kita sedang menuju batas-batas kemanusiaan dalam dunia kerja. Apakah negara akan berpihak pada keadilan, atau terus menjual kebijakan kepada pasar?

Karena buruh bukan musuh pembangunan. Mereka adalah penopangnya. Dan dalam diam mereka, dalam peluh dan sabar mereka, Indonesia berdiri.

Fortunatus Hamsah Manah
Fortunatus Hamsah Manah
Nama saya, Fortunatus Hamsah Manah. Saya aktif menulis dalam bidang pengawasan pemilu, penulisan opini publik, dan advokasi demokrasi di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). ​ Latar Belakang dan Karier Saya adalah Wartawan Harian Umum Fajar Bali 2008 sampai 2017. Kini menjadi penulis lepas di banyak media Nasional maupun lokal. Dan juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Manggarai, NTT periode 2023-2028. Dalam kapasitas ini, saya memimpin pengawasan terhadap proses pemilihan kepala daerah, termasuk memberikan imbauan kepada Bupati Manggarai untuk menjaga netralitas selama masa tenang menjelang Pilkada 2024 .​ Pada tahun 2022, saya terpilih sebagai salah satu dari enam calon anggota Bawaslu Provinsi NTT yang lolos seleksi tahap lanjutan, menunjukkan pengakuan atas kompetensinya dalam bidang pengawasan pemilu dan pada akhirnya tidak lolos di tahap akhir.​ Aktivitas Penulisan dan Pemikiran Selain peran saya di Bawaslu, saya dikenal sebagai penulis opini yang produktif. Saya telah menulis berbagai artikel yang membahas isu-isu seperti toleransi dalam demokrasi, partisipasi masyarakat adat dalam politik, dan perlindungan hak pilih penyandang disabilitas. Tulisan-tulisannya telah dimuat di media nasional seperti Media Indonesia, VIVA.co.id dan Kompas.com.​ Fokus dan Kepedulian Saya menunjukkan kepedulian terhadap penguatan demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Saya juga menyoroti pentingnya toleransi dalam demokrasi dan perlunya kehadiran negara dalam mendukung partisipasi politik masyarakat adat Dengan latar belakang sebagai pengawas pemilu dan penulis opini, saya berkontribusi dalam memperkuat demokrasi di Indonesia melalui pengawasan yang ketat dan pemikiran yang mendalam.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.