Kamis, April 25, 2024

Maudy Ayunda dan Problematika Pendidikan Indonesia

N.M Dian N Luthfi
N.M Dian N Luthfi
Mahasiswi Fakultas Hukum UII, bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas. Tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, budaya, pendidikan, gender dan HAM.

Menyoal pendidikan Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Maudy Ayunda, seorang aktris dan penyanyi multitalenta lulusan Oxford University dan Stanford University. Mulai dari surat kabar, hastag Twitter hingga grup WhatApps keluarga, semua ramai membicarakan kesuksesan seorang Maudy Ayunda.

Ya, orangtua mana yang tidak ingin memiliki anak seperti dia?

Kepulangan Maudy ke Indonesia disambut dengan ribuan pujian dari masyarakat Indonesia. Seolah menjadi kebanggaan tersendiri bagi Indonesia memiliki anak muda seperti Maudy Ayunda. Tidak berhenti di situ, kepulangan Maudy juga disambut oleh Youtuber Indonesia, salah satuya Jerome Polline Sijabat. Tidak jauh beda dengan Maudy, Jerome juga menjadi sosok anak muda Indonesia yang dikagumi berkat kecerdasannya, terutama dalam matematika.

Dalam acara tersebut Jerome dan Maudy melakukan QnA, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh netizen, salah satunya terkait kritik mereka terhadap pendidikan di Indonesia. Maudy menyampaikan, “Kurangnya budaya cinta belajar. Budaya yang bener-bener melihat finding knowledge itu sepenting itu dan menyenangkan gitu sebenernya, dan bisa menyenangan.”

Begitu pula dengan Jerome, keduanya sama-sama sepakat bahwa “budaya cinta belajar” adalah hal yang harus dibangun untuk keberlangsungan kemajuan pendidikan di Indonesia. Mungkin tidak salah jika para orangtua mulai membicarakan Maudy Ayunda untuk anak-anaknya, tidak salah juga masyarakat memberikan pujian kepada sang aktris, pun, tidak salah juga jika Maudy berpendapat “kurangnya budaya cinta belajar” dalam pendidikan di Indonesia. Namun apakah kemudian solusinya adalah “jangan lupa belajar!”, “cintailah belajar karena belajar itu menyenangkan” atau “jangan lupa membaca dan menyisihkan uang untuk membeli buku?”

Adakah problem mendasar yang lebih dulu diselesaikan sebelum menciptakan “budaya cinta belajar” ? Tulisan ini akan memberikan gambaran yang sedikit berbeda dari sekedar “kesuksesan Maudy Ayunda”

Hal-hal yang tidak dipertimbangkan dalam “kesuksesan Maudy”

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk tidak hanya melihat seorang Maudy dan kesuksesannya di dunia entertainment hingga pendidikan. Saya mencoba menelusuri hal-hal yang mungkin sering kita lewatkan terutama dalam membahas pencapaian seorang Maudy.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Maudy, lahir dari keluarga berada. Sekolah internasional, ibu seorang direktur bank dan bapak yang rela jauh-jauh ke Singapore untuk membelikan buku-buku bagi anaknya, belum lagi pergi ke toko buku setiap akhir pekan. Terbayang bagaimana kondisi finansial keluarga Maudy?

Dengan kondisi finansial yang tidak perlu dicemaskan, tentu Maudy memiliki banyak akses yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang, khususnya berkaitan dengan dunia pendidikan. Maudy kecil mungkin tidak perlu repot-repot nangis karena nunggak bayar SPP, membeli buku repro karena yang ori mahal, dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu membayar uang gedung atau takut pergi ke sekolah karena trauma kekerasan aparat..

Namun apakah kemudian salah menjadi seorang Maudy Ayunda yang lahir dari keluarga berada? Tulisan ini dibuat bukan untuk mengkritisi harta kekayaan keluarga Maudy, namun mencoba untuk memberikan perspektif yang lebih luas untuk memahami kompleksnya problem pendidikan di Indonesia.

Saya juga tidak sedang memposisikan sebagai seseorang yang iri dengan pencapaian Maudy lalu melarang Maudy —atau semua orang yang memiliki nasib tidak jauh berbeda dengannya—untuk memberikan kritik pada sistem pendidikan kita. Let’s make it’s fair, saya yang sedang menulis tentang pendidikan di sini —walaupun mungkin tidak mendapatkan akses selengkap Maudy—memiliki banyak akses yang mungkin tidak dimiliki oleh anak-anak di luar sana. Saya punya laptop untuk mengetik, buku untuk dibaca dan internet untuk mengakses banyak informasi.

Ketimpangan dan Kemiskinan Struktural

Situasi Sekolah Dasar di Pelosok NTT. Sumber: Dokumentasi Trivosa Eviria D Manek

Saya menghimpun kabar dari dua teman saya asal Wadas, Purworejo dan NTT yang berkenan untuk menceritakan kondisi pendidikan di wilayah mereka. Yang harapannya dapat memberikan ulasan dan informasi yang lebih luas terkait pendidikan di Indonesia dan bagaimana solusi konkrit yang harus diupayakan.

Pertama, diawali dari kisah seorang kawan bernama Muti, remaja asal Desa Wadas, Bener, Purworejo. Muti akan menceritakan bagaimana dampak konflik tambang di Desa Wadas terhadap keberlangsungan pendidikan anak-anak, yang mengalihkan fokus belajarnya untuk stay di lapangan, berjuang dengan warga lainnya untuk mempertahankan ruang hidupnya.

“Proses belajar anak-anak akan terganggu aktivitas penambangan, mereka tidak akan fokus pada pendidikannya, tapi apa yg terjadi di sekitarnya. Seperti yang sudah terjadi, akibat peristiwa aparat beberapa hari di Wadas kemaren, banyak kejadian-kejadian yang mengorbankan anak-anak sekolah, teruatama anak sekolah dasar (SD). Dari itu anak-anak bukannya berfikir untuk belajar, malah berfikir bagaimana cara melawan penambangan agar mereka bisa belajar dengan tenang kedepannya.”

Kedua, sebuah kisah dari seorang pegiat seni dan literasi dari NTT, Trifosa Eviria D Manek yang mengunjungi sekolah di pelosok kampung NTT. Dalam wawancara yang kami lakukan, Fosa menyampaikan, “Sebenarnya banyak sekolah yang lengkap, mulai dari fasilitas, guru, murid dan jurusannya ada tapi hanya sekolah-sekolah swasta, tentu dengan biaya yang tidak murah. Saya pikir sekolah negeri itu benar-benar dibiayai oleh negara, tetapi saya salah. Di kampung-kampung NTT kita akan menemukan sekolah-sekolah yang ada nama sekolahnya, ada gurunya, ada siswanya, tetapi tidak punya bangunan sekolah. Kalaupun punya bangunan sekolah, tidak layak untuk anak-anak itu pakai untuk belajar. Atapnya masih langit dan lantainya masih tanah.“

Fosa juga menyampaikan bahwa anak-anak di pelosok NTT punya antuisias yang begitu tinggi untuk belajar, tetapi tidak ada fasilitas yang mendukung. Tidak punya gedung sekolah yang layak, perpustakaan, sepatu, tidak mengenal lagu anak-anak, dan bahkan guru-guru yang mengajarnya pun tidak tamat SD. Akses yang harus dilalui untuk sampai ke sekolah pun sulit, ada sungai tetapi tidak ada jembatannya, berjalan dengan kaki kosong, masuk kelas pun dalam keadaan kotor, kaki berlumpur dan ada juga anak-anak yang justru memilih bekerja (terpaksa bekerja) daripada sekolah, untuk menopang ekonomi keluarga.

Kasus di Wadas dan NTT di atas, adalah secuil contoh dari kompleksnya pendidikan di Indonesia. Jangankan untuk mencintai belajar atau menjadi kutu buku seperti Maudy Ayunda, masih bisa bertahan hidup berdampingan dengan kemiskinan, kesenjangan dan kekerasan otoritatif negara saja sudah bersyukur. Anak-anak ini bukan tidak memiliki keinginan untuk sekolah, tetapi waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar, tersita untuk berjuang melawan kemiskinan struktural yang didukung oleh pemerintah dan dilegalkan Undang-undang. Maka, “Mencerdaskan kehidupan bangsa” hanyalah cita-cita.

Pada intinya, kritik terkait sistem pendidikan atau yang lainnnya bahkan, bukan tentang boleh atau tidaknya seseorang memberikan kritik —hanya karena derajat atau level ekonomi yang dimiliki— tetapi tentang bagaimana pendekatan yang kita gunakan untuk menganalisis problem pendidikan di Indonesia serta kepada siapa kita berpihak.

N.M Dian N Luthfi
N.M Dian N Luthfi
Mahasiswi Fakultas Hukum UII, bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas. Tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, budaya, pendidikan, gender dan HAM.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.