Konflik internal berkepanjangan antar politisi di kubu PKS dan PAN semakin meruncing jelang pendaftaran capres dan cawapres, Agustus 2019 mendatang. Tingginya perbedaan arah politik dua kelompok elit politik Gerindra yaitu antara yang mendukung Jokowi dengan yang mengusung Prabowo, juga semakin meresahkan para pengikut setia parpol berlambang kepala burung garuda ini.
Wacana pembentukan Poros Ketiga (kalau jadi terbentuk) oleh Gerindra, PKS, PAN plus Demokrat menjadi salah satu bentuk pelarian politik yang bertujuan untuk memperkuat posisi tawar politik masing-masing parpol.
Sejumlah politisi dan para pendukung keempat parpol di atas, disinyalir juga telah melakukan ‘bedol desa’ dan membelot ke parpol koalisi pendukung Jokowi yang non partisan.
Rebutan Jabatan
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang sudah dipecat dari PKS, pernah mengatakan bahwa dia akan melaporkan sejumlah tindak pidana yang diklaimnya telah dilakukan Presiden PKS, Sohibul Iman. Kabarnya, Fahri memiliki bukti-bukti sejumlah kasus, antara lain pencemaran nama baiknya dan pemufakatan jahat yang dilakukan Sohibul.
Sebelumnya, Sohibul Iman di media sosial telah menuding Fahri membangkang dan berbohong terkait statusnya di PKS. Di sisi lain, Fahri sudah menang melawan PKS di Pengadilan Tata Usaha Negara, baik di tingkat pertama maupun banding. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid pun semakin bingung atas konflik kedua pentolan PKS ini.
Jauh hari sebelumnya, PKS yang telah memecat Fahri, pernah memilih Ledia Hanifa untuk menggantikan posisi Fahri sebagai Wakil Ketua DPR. Fahri menolak. Sampai hari ini, PKS gagal melengserkan Fahri dari DPR RI. Bahkan, di ujung konflik, Fahri berharap agar Sohibul segera mundur dari jabatannya. Akibat buruk dari konflik yang tak jelas ujung pangkalnya ini ialah para pendukung PKS mulai meragukan kejujuran kedua tokoh ini dan PKS pun mulai ditinggalkan para pengikutnya.
Dilema Capres
Sama halnya dengan PKS, Partai Amanat Nasional (PAN) juga mengalami perpecahan internal antar elit politiknya. Konflik internal inilah yang pada akhirnya membuat PAN sulit menentukan sikap politiknya menjelang pilpres 2019. Konflik internal diduga terjadi antara kubu yang mendukung Jokowi dengan kubu yang ingin mengusung Prabowo.
Sebagian kelompok politisi PAN yang dikomandoi Amien Rais tampaknya memang cenderung mendukung Prabowo. Sedangkan, Ketum PAN Zulkifli Hasan lebih tertarik untuk mengusung Jokowi. Saling tarik-menarik antara Amien Rais dan Zulkifli Hasan ini, mengakibatkan dampak yang cukup keras ke massa pendukung PAN di akar rumput. Mereka tidak lagi percaya kepada Amien Rais dan Zulkifli Hasan. Massa PAN pun mulai membelot ke parpol lain.
Dominasi Amien Rais di PAN masih cukup kuat dibandingkan Zulkifli Hasan. Sebenarnya, sejumlah elit politik PAN yang pro Zulkifli berharap agar Zulkifli Hasan segera menentukan sikap politiknya. Tujuannya ialah untuk mengantisipasi ‘kaburnya’ para simpatisan PAN dan meredam sikap politik Amien Rais.
Galau Elektabilitas
Dilain pihak, partai Gerindra yang menjadi salah satu parpol oposisi dan Poros Ketiga, saat ini eksistensinya semakin terpuruk. Kabarnya, Ketum Gerindra, Prabowo Subianto galau untuk nyapres karena elektabilitasnya tak sisgnifikan.
Namun, para kader Gerindra tetap ngotot agar Prabowo nyapres. Mereka tidak peduli dengan anjlognya elektabilitas Prabowo. Sesungguhnya, Prabowo sangat menyadari bahwa mesin politik Gerindra gagal untuk mengatrol elektablitasnya. Prabowo khawatir dirinya akan kalah saat bertarung dengan Jokowi (kalah dua kali 2014 dan mungkin 2019, ini sangat memalukan).
Selain itu, tampaknya Prabowo juga sudah bisa memprediksi bahwa sebagian besar para pendukungnya secara perlahan tetapi pasti, mulai meninggalkan Gerindra. Oleh karena itulah, hingga saat ini Prabowo, masih belum berani mendeklarasikan dirinya untuk nyapres sesuai amanat kader Gerindra. Rencana untuk membentuk Poros Ketiga dengan PKS, PAN dan Demokrat juga, tampaknya masih mengalami kesulitan, karena masing-masing parpol membawa kepentingan politiknya sendiri-sendiri. Keadaan ini tentu saja akan menguntungkan parpol koalisi pendukung Jokowi.
Egoisme SBY
Sementara itu, parpol Demokrat juga belum memutuskan sikap politiknya dalam pilpres 2019 mendatang. Demokrat tetap berambisi mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai capres. Egoisme dan dominasi SBY masih terlihat kental di Demokrat. Sejumlah pihak meyakini, tampaknya SBY sangat ngotot untuk menjadikan AHY capres dan menolak jabatan cawapres.
Kemungkinan besar, posisi tawar politik yang disampaikan Demokrat ke PKS, PAN dan Gerindra ialah SBY bersedia membentuk Poros Ketiga dengan satu syarat mutlak yaitu mengusung AHY sebagai capres. Sedangkan Prabowo (Gerindra), Zulkifli Hasan (PAN), Sohibul Imam (PKS) mungkin merupakan tiga nama yang diusulkan SBY untuk menjadi cawapres AHY.
Sikap egoisme SBY inilah yang pada akhirnya membuat Poros Ketiga sulit terbentuk. Demokrat bersedia menjadikan AHY sebagai cawapres, apabila SBY berkoalisi dengan parpol koalisi pendukung Jokowi.
Dinamika dan polemik politik di tubuh keempat parpol ini, masih akan terus berlanjut hingga menjelang pendaftaran capres dan cawapres 2019, Agustus mendatang. Dorongan kuat untuk melakukan konsolidasi politik diantara keempat parpol ini masih sangat tinggi. Semuanya nafsu untuk menjagokan kadernya menjadi capres. Kisruh politik yang muncul akibat aspirasi politik keempat parpol yang ambisius ini ialah cuma melahirkan ‘masturbasi’ politik ala Poros Ketiga (kalau jadi terbentuk lho).
Kalkulasi politik nasional jelang pilpres 2019 akan menjadi sangat kontras, apabila dua dari empat parpol yang berencana membuat Poros Ketiga, secara tegas mengubah haluan politiknya yaitu dengan menyeberang ke kubu Jokowi.