Sejak pemilu 1999, fusi partai politik telah pecah dan bermunculan berbagai partai politik dengan platform yang beragam, termasuk partai politik islam. Dari 48 partai politik peserta pemilu tahun 1999 terdapat 20 parpol Islam.
Hal ini tentunya menunjukkan bahwa politik Islam Indonesia tidak monolitik tetapi beragam bagaimana mereka menginterpretasi Islam termasuk din wa daulah (Islam dan politik). Melihat munculnya kembali berbagai macam aliran politik dalam representasi parpol, beberapa ahli menyatakan bahwa politik aliran tahun 1955 telah muncul kembali pada pemilu tahun 1999 kecuali golongan komunis.
Melihat tren perolehan suara parpol Islam sejak pemilu tahun 1999 cenderung turun. Apabila kita bandingkan dengan perolehan suara parpol Islam pada pemilu tahun 1955, parpol Islam mampu mendulang suara sebesar 40.32% tetapi perolehan suara pada pemilu tahun 1999 adalah 33.7%.
Selanjutnya pada pemilu berikutnya mulai tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019 setidaknya terdapat 5 parpol Islam yang bertahan dan memiliki basis massa yaitu PKB, PPP, PAN, PKS dan PBB yang berkompetisi dengan partai politik yang berplatform nasionalis-sekuler.
Tren perolehan suara parpol Islam sejak pemilu tahun 2004 sebesar 36,12%, pemilu tahun 2009 sebesar 24,15%, pemilu tahun 2014 sebesar 31.41%, dan terbaru pemilu tahun 2019 sebesar 29.95%.
Berdasarkan perolehan suara pemilu tahun 2019, PKB memimpin perolehan suara parpol Islam dengan 9.72% dan disusul oleh PKS dengan 8.19%. Berdasarkan data diatas, jika dibandingkan dengan hasil pemilu tahun 1955, perolehan suara parpol Islam di pemilu era reformasi trennya cenderung turun. Apakah dari indikator perolehan suara parpol dapat kita simpulkan penurunan politik Islam Indonesia?
Tentu saja tidak, beberapa argumen yang hendak saya ajukan bahwa ekspresi politik Islam bukan hanya melalui partai politik terutama melalui saluran parpol Islam. Beberapa hasil riset menyatakan infiltrasi politik Islam tidak hanya lewat parpol Islam tapi juga melalui parpol nasionalis sekuler.
Aspirasi berbagai isu yang terkait dengan politik Islam juga disuarakan oleh parpol nasionalis sekuler, terutama mengenai pendidikan agama pada UU Sisdiknas tahun 2003. Partai Golkar juga terisi oleh politisi Muslim yang membuat Golkar semakin “hijau”. Selain itu afiliasi dari parpol nasionalis sekuler pada aras politik lokal yang produktif menghasilkan perda-perda syariah.
Pengertian politik Islam dalam hal ini merujuk dari Esposito (2013) dipahami sebagai upaya dari Muslim baik individu maupun kelompok untuk merekonstruksi masyarakarat baik politis, ekonomi, sosial dan budaya yang sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam.
Tentu apabila kita melihat dinamika politik Islam Indonesia kontemporer yang kian menguat, tentunya salah satu indikator saluran politik dengan perolehan suara parpol Islam baik tidak bisa cukup mumpuni untuk menganalisis signifikansi politik Islam karena dalam konteks Indonesia, manifestasi politik Islam bukan hanya melalui parpol tetapi berbagai dimensi dan lini kehidupan dimana ruang-ruang kultural dan sosial memegang peranan yang strategis.
Tentu, dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, politik Islam tidak bisa dipandang sebelah mata dalam kontestasi sekulerisme-nasionalisme.