Selasa, 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi RI mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dkk. dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016 terkait status kolom agama di KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga) bagi Penghayat Kepercayaan.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Putusan MK ini berarti bahwa, Penghayat Kepercayaan memiliki hak yang sama –sama seperti para penganut “enam agama besar” yang ada di Indonesia- dalam hal pencatatan status keagamaannya di Kartu Tanda Penduduk.
Beberapa koalisi masyarakat sipil beserta kelompok penghayat kepercayaan bergembira dengan adanya putusan MK ini, karena membuka jalan baru bagi para penghayat kepercayaan lokal. Ini memperlebar kesempatan para penghayat kepercayaan untuk mengakses hak-haknya sebagai warga negara, seperti hak atas pengakuan perkawinan, pendidikan, pekerjaan, jaminan sosial dan kesehatan, dan hak-hak lainnya.
Namun ada beberapa tokoh masyarakat juga yang risih dengan adanya Putusan MK ini. Misalnya Yunahar Ilyas dan Din Syamsyudin dari Muhammadiyah, menyebutkan bahwa Aliran Kepercayaan bukanlah “agama”, yang karenanya tak perlu dicantumkan di kolom agama KTP. Selain itu menurut Din Syamsuddin, Aliran Kepercayaan tidak memenuhi “syarat agama secara ilmiah”, karena tidak ada konsepsi tentang wahyu, nabi, hingga kitab suci.
Argumen dari dua tokoh Muhammadiyah tersebut sebenarnya dapat dipatahkan, karena pada dasarnya apa pun suatu mode spiritualisme, ia bisa dikatakan semacam agama. Apalagi argumen yang diucapkan oleh Din Syamsuddin, bahwa ada “suatu pengertian agama secara ilmiah”, pada dasarnya tak ada dasar satu pun secara ilmiah bahwa agama harus ada nabi, wahyu, dan kitab suci. Pengertian tersebut hanya ada pada klaim agama-agama yang datang dari timur tengah.
Bila merujuk pada fenomena keagamaan lokal yang muncul selama ribuan tahun di Afrika, Eropa, Australia, Asia Timur dan Tenggara, hingga daratan Amerika, banyak sekali agama-agama yang muncul justru dari pengalaman spiritual individu masyarakat disana. Tanpa mesti ada wahyu, nabi, ataupun kitab suci. Ini bisa dilihat dari agama masyarakat suku aborigin, suku indian, kelompok buddha, dsb., dimana agama mereka didasarkan pada ekstase spiritualitas individu, yang menekankan pada penghayatan nilai-nilai dan pengalaman batin religius.
Lagi pula, semenjak kapan “agama” per-definitif mesti “diilmiahkan”? Bukankah semenjak semula, agama itu sendiri sudah selalu “tidak ilmiah” –dalam pengertian rasionalitas modern- dan tak bisa dinalar secara logis? Bagaimana mungkin bisa mengklaim “sesuatu” itu agama atau bukan secara ilmiah –bila pada dasarnya, agama itu sendiri “tidaklah ilmiah” –dalam pengertian rasionalitas modern-?
Kesalahan berpikir seperti ini pada dasarnya tidaklah terjadi natural, tapi terkonstruksi semenjak politik pengakuan agama di Indonesia pada sekitar tahun 1950-1960’an. Pada waktu itu, kelompok islamis berkepentingan kuat dalam mempengaruhi produk hukum di Indonesia, untuk memasukkan syariat/ajaran islam ke dalamnya. Tidak cukup disitu, kelompok islamis ini berupaya menaruh posisi agama islam sebagai satu hal yang superior.
Tidak cukup dengan mengkonfrontasi pertentangan “Islam” dengan “Pancasila” dalam rancangan konstitusi Indonesia di tahun 1950’an, kelompok ini juga turut menyebarkan opini publik terkait “agama yang berhak diakui di Indonesia”. Hasilnya, UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan dan Penistaan Agama –yang memuat klausul enam agama besar yang diakui di Indonesia- dikeluarkan oleh rezim Soekarno, atas alasan menjaga stabilitas rezim dan memperlancar agenda revolusi Indonesia yang belum selesai.
Hal ini yang juga terus dilanjutkan oleh rezim Soeharto lewat TAP MPR/IV/MPR 1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, pada Naskah Garis-garis Besar Haluan Negara Bab IV Pola Umum Pelita Ketiga, pada sub-bab Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang menyatakan bahwa Aliran Kepercayaan (Tuhan Yang Maha Esa) bukanlah agama. Distingsi-pembedaan antara “Agama” dengan “(Aliran) Kepercayaan)” justru dibentuk dan dijustifikasi oleh politik; oleh rezim dan kelompok status-quo/superior.
Naasnya, meski seolah-olah ada pembedaan antara “agama” dan “aliran kepercayaan”, hingga kini secara legal, Indonesia justru sama sekali tidak memiliki definisi apa itu “agama” sendiri. Ini tentu suatu paradoks, bagaimana eksklusi antara “agama” dan “kepercayaan” bisa terjadi di masyarakat –bahkan lewat instrumen hukum-, tapi definisi legal atas apa itu “agama” sendiri tidaklah ada. Pada titik ini, daripada mengikuti definisi negara, saya lebih suka menyebut “Aliran Kepercayaan” sebagai “Agama” tersendiri.
Masih Menyisakan Problem
Bagi saya, dikabulkannya permohonan judicial review terkait kolom agama bagi penghayat kepercayaan adalah satu hal yang patut disyukuri dan diapresiasi. Namun walau begitu, upaya ini belum merangsek pada akar masalah sesungguhnya, dimana pada dasarnya Negara masih bersikap diskriminatif dalam hal pengakuan agama-agama yang ada di Indonesia.
Ini bisa dilihat dari kelompok agama Baha’i, Sikh, Yahudi, Saksi Jehova, Eden, Zoroaster, Milla Abraham, dan agama lainnya yang tidak memiliki ruang dalam produk legal di Indonesia, termasuk hasil putusan MK diatas. Aliran kepercayaan yang diakui secara definitif baik pada UU No. 24 tahun 2013 jo. UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan –dan peraturan turunannya-, hingga Peraturan Bersama Menbudpar dan Mendagri No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hanyalah aliran kepercayaan yang berasal dari tradisi lokal Indonesia –atau bahkan berasal dari tradisi adat suku yang ada di Indonesia-.
Selain itu, pengakuan aliran kepercayaan di Indonesia sendiri terbatas hanya pada kelompok yang mendaftarkan dirinya sebagai ormas –minimal di tiga kota/kabupaten-, dan terdaftar di Dirjen Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa Kemendikbud, sebagaimana yang diatur di Peraturan Bersama Menbudpar dan Mendagri diatas. Padahal kenyataan di lapangan menunjukkan, banyak aliran kepercayaan (agama lokal) yang sporadis, dan tak mengenal strukturasi model organisasi modern.
Ini menunjukkan, meskipun sudah ada putusan MK yang memberi angin segar kepada kelompok aliran kepercayaan untuk mencantumkan status agamanya di KTP, namun terbatas hanya pada kelompok aliran kepercayaan yang menjadi ormas, mendaftarkan diri ke Kemendikbud, dan diakui Negara. Walhasil, kelompok aliran kepercayaan yang tidak diakui secara administratif oleh negara tetap tidak dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara secara penuh –seperti hak pencatatan perkawinan, hak administrasi penduduk, dsb.-. Pada akhirnya, Negara masih tidak memberikan pengakuan atas kebebasan beragama di Indonesia selama Peraturan Bersama Menbudpar dan Mendagri diatas masih ada -atau belum batal demi hukum karena bertentangan dengan putusan Majelis Mahkamah Konstitusi RI tersebut-. []