Terdapat persepsi liar dikalangan Muslim yang sebetulnya tidak seluruhnya tepat yaitu sebuah pemahaman tentang konsep syariah yang final dan pasti. Artinya ketentuan syariah historis yang terdapat dalam al-Qur’an ataupun Sunnah tidak boleh disentuh atau dikritik sama sekali.
Pada umumnya orang-orang membedakan antara fikih dan syariah hanya berdasarkan kepada sifatnya yang statis dan dinamis. Fikih adalah sesuatu yang dinamis sedangkan syariah adalah ketentuan hukum yang statis dan final. Fikih adalah konstruksi pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh kondisi tertentu sedangkan syariat adalah hukum tuhan tanpa intervensi dari manusia dan tanpa pengaruh kondisi tertentu.
Seorang cendikiawan Muslim yang mempunyai perhatian khusus terhadap masa depan hukum Islam dalam menghadapi tantangannya di dalam negara sekuler adalah Abdullah Ahmed An-Naim. Pemikir kontemporer yang juga seorang pembaharu dan aktivis Hak Asasi Manusia asal Sudan ini lahir pada 6 April 1946 M didaerah Mawaqier, 200 km dari utara Khartoum.
Bagi An-Naim syariah tidaklah sakral atau bersifat ilahiyah dalam arti seluruh rinciannya diwahyukan langsung oleh Allah tanpa pengaruh kondisi-kondisi tertentu, sebab apabila syariah historis ini diterapkan dalam negara modern maka akan menimbulkan kesulitan-kesulitan yang luar biasa.
Gagasan An-Naim bermula dari sebuah anggapannya bahwa hukum publik syariah sudah tidak relevan dalam negara modern ataupun budaya modern saat ini. banyak hukum-hukum syariah yang diskriminasi dan tak sesuai dengan hak asasi manusia apabila diterapkan apa adanya.
Pada masa awal islam dimana ketentuan hukum yang dipraktekan saat itu mendapatkan legetimasi dari Allah sebetulnya juga dipengaruhi oleh kondisi tertentu. Dalam hal ini kaidah hukum yang berbunyi “hukum akan selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi” menurut saya berlaku baik dalam ketentuan hukum syariah ataupun dalam fikih.
Hanya saja yang perbedannya adalah mengenai tathbiq (implementasi) dalam Syariah dan formalitas dalam fikih. Syariah meskipun tidak berubah dalam formalitas atau bentuk hukumnya tetapi akan berubah dalam implememntasi atau penerapannya sesuai dengan kondisi-kondidi yang mempengaruhinya.
Hukuman mati bagi pelaku apostasy atau pindah agama pada waktu itu jelas sekali dipengaruhi oleh kondisi politik saat itu. Dakwah nabi untuk menyeru orang-orang muslim tidak sedikit menuai penolakan dan juga persetujuan. Dalam hal ini ketentuan hukuman mati bagi seorang yang murtad (keluar dari Islam) sudah tepat dan sesuai kondisi saat itu.
Ketentuan hukum yang berbeda diterapkan oleh Umar bin Khattab pasca kematian nabi. Jika pada zaman nabi orang-orang yang baru masuk islam (muallaf) mendapatkan bagian dari zakat fitrah, maka pada zaman Umar bin Khattab orang-orang yang baru masuk islam ini tidak mendapatkan bagian zakat fitrah.
Umar menganggap bahwa pemberian zakat fitrah pada masa nabi hanya sebatas pemantik agar orang-orang masuk islam, akan tetapi pada masa Umar orang islam sudah banyak sehingga tidak perlu diiming-imingi dengan zakat fitah. Artinya orang-orang yang baru masuk islam pada masa umar tidak mendapatkan bagian dari zakat fitrah.
Itu semua menunjukan bahwa meskipun syariah historis tidak berubah status hukumnya, akan tetapi implementasinya dapat berubah.
An-Naim meyakini bahwa apabila kententuan syariah dalam bidang hukum publik ini diterapkan dalam negara modern ataupun budaya modern saat ini pasti akan mengalami sebuah kesulitan-kesulitan. Namun, meskipun begitu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah syariah ini bukanlah sekularisme yaitu pemisahan antara hukum negara dan hukum islam.
An-Naim sebagai seorang yang peduli terhadap nasib syariah menawarkan sebuah alternatif lain selain sekularisme yaitu penafsiran ulang terhadap al-Qur’an dan Sunnah melalui dekonstruksi syariah. dekonstruksi syariah dimaksudkan oleh An-Naim untuk mengkaji dan menatafsirkan ulang teks-teks agama yang selaras dengan perkembangan zaman saat ini. sehingga basis utama dalam penerapan hukum saat ini tetap adalah al-Qur’an dan sunnah.
Dekonstruksi syariah yang digagas oleh An-Naim diharapkan melahirkan konsep syariah modern sebagai sebuah cara pandang untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan syariah historis diatas. Semua ketentuan hukum hasil konstruksi para pemikir islam abad 1 s.d 3 H dalam bidang hukum publik seperti konstitusi, hukum pidana, Hak Asasai Manusi mengharuskan tinjuan kembali atau sekedar penafsiran ulang. Sehingga pada akhirnya seluruh ketentuan hukum yang berkembang dan berlaku saat ini mendapatkan legitimasi dari al-Qur’an dan Sunnah.
Terkait dengan pemikiran dan ketentuan hukum yang telah dibuat oleh para pendiri mazhab, kita tidak meski harus persis dan mutlak menerimanya. Zaman kita dengan zaman mereka tidaklah sama, sehingga jika hal itu sudah tidak relevan dengan saat ini, kita bisa untuk tidak menerimanya. Ini bukan berarti kita tidak bermzahab. Dalam hal ini kita tetap bermazhab akan tetapi kita bermazhab manhaji atau metodologi.
Perkembangan zaman sudah sangat pesat dan kondisi-kondisi saat ini sudah tidaklah sama dengan awal-awal Islam, apostasy yang pada awal islam dianggap sebagai sebuah tindak pidana dengan konsekuensi hukman mati pada saat ini sudah tidak relevan. Kebabasan beragama dan bentuk negara yang tak sama meniscayakan semua itu.
Ketentuan hukum yang berlaku saat ini adalah produk hukum terbaik yang dihasilkan oleh dunia modern saat ini, sehingga syariah modern dapat menjadikan semuanya itu sebagai sebuah acuan dan contoh ideal dalam menentukan sebuah hukum artinya semua ketentuan hukum yang berlaku saat ini dapat dilegitimasi oleh syariah yaitu al-Qur’an dan Sunnah.