Sabtu, April 27, 2024

Masa Depan Sawit Indonesia di Uni Eropa

Muthmainnah Muthi
Muthmainnah Muthi
Mahasiswa S2 jurusan Labor Policies and Globalization di University of Kassel dan Berlin School of Economics and Law, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Tidak bisa dimungkiri bahwa Pemerintah Indonesia bergantung pada industri minyak sawit untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan devisa negara semenjak Indonesia menghadapi tren deindustrialisasi karena menurunnya industri manufaktur.

Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah dan tata ruang yang luas untuk perkebunan yang memberikan peluang bagi negeri ini untuk terus mengembangkan industri kelapa sawit mengingat permintaan minyak sawit dunia yang terus meningkat.

Namun, perjalanan pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan potensi sawit menemui berbagai kendala. Komitmen pemerintah dalam mewujudkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan pun dipertanyakan.

Hal ini ditandai salah satunya dengan sikap parlemen Uni Eropa yang baru saja sempat menolak produk sawit Indonesia dengan berbagai alasan seperti kontribusi terhadap deforestasi dan perusakan lingkungan. Pemerintah Indonesia pun sempat protes dan menilai bahwa sikap Uni Eropa tersebut merupakan bentuk proteksionisme terhadap biji bunga matahari.

Pemerintah Indonesia pun tetap melakukan berbagai upaya diplomasi untuk meyakinkan Uni Eropa untuk melakukan perpanjangan penggunaan produksi sawit yang akhirnya menghasilkan keputusan perpanjangan penggunaan sawit hingga 2030 yang baru diputuskan pada bulan Juni tahun ini.

Isu Sawit dari Perspektif Perlindungan Pekerja

Perpanjangan penggunaan sawit oleh Uni Eropa seperti memberikan nafas baru bagi pemerintah Indonesia. Namun, sepertinya pemerintah tidak bisa begitu saja bernafas lega terhadap keberlangsungan masa depan sawit. Penolakan isu sawit sejatinya tidak hanya datang dari pihak yang peduli dengan isu lingkungan.

Pro dan kontra terhadap isu ini datang dari berbagai pihak terutama pihak yang peduli dengan kesejahteraan pekerja sawit. Hal ini dikarenakan terjadi suatu ironi ditengah negara mendapatkan devisa yang besar dari sektor sawit, pekerja sawit justru mengalami berbagai pelanggaran hak dan juga eksploitasi yang tak jarang berakhir pada kematian. Terdapat setidaknya tiga pelanggaran hak utama pekerja sawit yang terjadi di Indonesia.

Pelanggaran pertama adalah kebijakan upah yang tidak manusiawi.  Salah satu masalah utama yang ditemukan dalam industri minyak sawit Indonesia adalah masalah upah. Tingkat upah untuk pekerja di perkebunan sangat rendah yang biasanya di bawah 100 Euro (1,6 juta Rupiah) per bulan. Selain itu, kebijakan upah yang diterapkan bergantung pada status pekerja mereka.

Di industri sawit Indonesia, mayoritas buruh adalah buruh harian (Stiftung Asienhaus, 2016)  yang buruh harian tersebut dibayar sesuai dengan jumlah berapa banyak produk yang mereka hasilkan per hari tanpa adanya kepastian hukum mengenai jangka waktu kerja (Suhib Nuridho, 2015). Sistem buruh harian ini memberikan konsekuensi gaji yang sangat rendah dan buruh dapat diberhentikan kapan saja.

Hal yang memperburuk adalah meskipun para pekerja sudah dibayar dengan upah yang rendah, mereka juga dapat menghadapi penurunan upah karena sanksi yang dikenakan oleh majikan dalam hal melakukan kesalahan atau target tidak terpenuhi.

Pelanggaran kedua adalah ketidaksetaraan upah dan beban kerja antara pekerja laki-laki dan perempuan.   Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan, terdapat ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki di industri sawit yang berkaitan dengan upah dan beban kerja. Hal ini terjadi karena mayoritas status pekerja adalah buruh harian.

Target untuk pekerja laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan jumlah upah tertentu adalah sama, sedangkan di Indonesia pekerja perempuan memiliki peran ganda di mana mereka harus melakukan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerja yang tidak dibayar. Sebagai konsekuensi, pekerja perempuan lebih tidak dapat memenuhi target dan dibayar dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja laki-laki. (Achmad Surambo, 2010).

Pelanggaran ketiga adalah keterlibatan pekerja anak secara masif di sektor sawit.  Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa eksploitasi terhadap anak-anak sedang terjadi di perkebunan sawit dimana anak-anak berusia 8-9 tahun bekerja tujuh hari dalam seminggu dengan kondisi yang berbahaya (Corey Hill, 2014).

Terdapat beberapa perusahaan di Indonesia yang masih melibatkan pekerja anak dalam menjalankan bisnisnya. Temuan Amnesty International menunjukkan bahwa salah satu perusahaan terbesar yang menyebabkan pelanggaran terhadap anak-anak adalah Wilmar International Ltd di mana Wilmar mendistribusikan minyak sawitnya ke perusahaan multinasional seperti Unilever, Nestle, Kellogg, dan Procter & Gamble.

Berdasarkan wawancara terhadap 120 pekerja anak, Amnesty International telah menemukan bahwa sebagian besar pekerja anak menderita karena upah murah dan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang tidak memadai (Amnesty International, 2016). Meskipun perusahaan-perusahaan ini telah berjanji kepada konsumen bahwa rantai pasokan mereka bebas dari eksploitasi buruh, faktanya perusahaan masih melakukannya.

Momentum Perbaikan Pemenuhan Hak Pekerja

Penolakan sawit Indonesia yang pernah bergulir di Uni Eropa sejatinya dapat menjadi momen refleksi bagi pemerintah terhadap bagaimana industri sawit dijalankan. Alih-alih berkutat melayangkan protes terhadap kebijakan Uni Eropa yang dianggap melakukan proteksionisme terhadap produk lokal biji bunga matahari, pemerintah seharusnya tidak menutup mata bahwa permasalahan yang terjadi di industri sawit ada dari hulu hingga ke hilir yaitu salah satunya ditandai dengan fakta bahwa terjadi rantai eksploitasi pekerja yang masif di industri sawit.

Nafas sementara perpanjangan penggunaan sawit hingga 2030 oleh Uni Eropa sejatinya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memperbaiki pemenuhan hak pekerja yang lebih bermartabat mengingat penolakan ekspor sawit Indonesia tidak hanya datang dari pihak yang peduli dengan isu lingkungan saja, namun juga mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan terutama dalam pemenuhan hak pekerja yang bermartabat.

Memperbaiki nasib pekerja dapat memberikan ‘bargaining position’ baru bagi pemerintah jika tetap ingin melakukan ekpansi dan ekspor sawit salah satunya di Uni Eropa. Oleh karena itu, menggunakan momentum perpanjangan penggunaan sawit untuk perbaikan pemenuhan hak pekerja adalah sikap yang bijak bagi pemerintah Indonesia.

Muthmainnah Muthi
Muthmainnah Muthi
Mahasiswa S2 jurusan Labor Policies and Globalization di University of Kassel dan Berlin School of Economics and Law, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.